Laporkan Masalah

GOING POLITICS, GOING CONFLICT : PROBLEMATIKA TRANSFORMASI MASYARAKAT SIPIL KE MASYARAKAT POLITIK (Studi Kasus : Gerakan Pancur Kasih, Kalimantan Barat Periode 1980 – 2008)

PARAMITA ISWARI, Prof. Dr. Pratikno, M, Soc. Sc.

2015 | Tesis | S2 Politik dan Pemerintahan

Studi ini berangkat dari realita bahwa demokrasi di Indonesia saat ini mengalami defisit, dimana salah satunya adalah karena masyarakat sipil tidak mampu memberi dampak nyata bagi perubahan yang diharapkan. Sehingga, paska masa Orde Baru, ornop sebagai organisasi masyarakat sipil mengalami euphoria melakukan transformasi untuk masuk ke politik praktis dan menjadi bagian dari negara (going politics). Tidak terkecuali Pancur Kasih, organisasi masyarakat sipil terbesar dan tertua di Kalimantan Barat. Organisasi ini pada awalnya muncul sebagai organisasi karikatif berkerangka kultural dengan titik berat pada pendidikan formal dan ekonomi kerakyatan. Memasuki reformasi 1998, GPK memutuskan untuk melakukan transformasi menjadi masyarakat politik. Namun, keseluruhan eksperimen ketika menjadi masyarakat politik yang dilakukan berturut-turut tanpa jeda dan memakan energi, waktu serta sumberdaya yang tidak sedikit ini, menemui kegagalan. Hal ini berimplikasi pada meledaknya konflik (going conflict) yang memang sejak lama terpupuk, baik internal GPK maupun dengan konstituennya yang lebih luas. Dengan kata lain merusak apa yang telah dibangun selama kurang lebih puluhan tahun sebelumnya. Setidaknya, terdapat pelajaran penting yang dapat ditarik dari studi yang dilakukan melalui pendekatan kajian pustaka, wawancara mendalam (in-depth interview) dan FGD ini. Pertama, bahwa sesungguhnya sebuah formasi organisasi masyarakat sipil dipengaruhi oleh konteksnya termasuk kondisi sosiologis yang berkembang. Kedua, bahwa organisasi masyarakat sipil di Indonesia heterogen, dan mayoritas memiliki ketiadaan basis untuk bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik. Ketiga, tidak selamanya organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan demokrasi memiliki perangkat demokratis di dalam ‘tubuhnya’. Keempat, bahwa ornop selaku organisasi masyarakat sipil mau tidak mau harus bersedia kehilangan karakternya ketika bertransformasi menjadi masyarakat politik. Dan kelima, xiii ketika melihat demokrasi sebagai sebuah ‘tujuan’, sudah seharusnya kita menghindari keterjebakan dengan ‘cara’. Dari pelajaran ini, setidaknya studi ini diharapkan dapat berkontribusi baik untuk memperkaya studi mengenai masyarakat sipil dalam iklim demokrasi kekinian di Indonesia secara khusus maupun studi lain terkait dengan ilmu sosial dan politik secara umum. Sehingga, secara bersama dapat dibangun demokrasi yang bermakna, dengan pondasi yang kuat yang tentunya tidak berada di atas pasir.

This study start from the reality that democracy in Indonesia is currently experiencing what it call a ‘deficit democracy’, which one of the reason is that civil society can not afford to give real impact to the expected reform. Thus, post-New Order era, NGOs as civil society organizations experiencing euphoria to transform into practical politics and become part of the state (going-politics). It also happen with Pancur Kasih, the largest and oldest civil society organization in West Kalimantan. This organization emerge as a charity organization with cultural framed and focusing the works on formal education and economy alternative for poor people. Entering the year 1998 (reformation era), like others NGOs, GPK decides transform to be political society. However, the whole experiment as a political society, which is implemented with huge energy, time and resources, had failed. This has implications for trigerring the conflict (going conflict), that it has long nurtured in internal GPK or with GPK’s constituent. In other words, the trasnformation destroy what has been built for about the previous decades. At least, there are some important lessons to be drawn from this studies, that conducted through a literature review, in-depth interviews and focus group discussion. First, that in fact a formation of civil society organizations are influenced by the context, including a sociological conditions. Second, that civil society organizations in Indonesia, heterogeneous, and the majority have a lack of base to transform into a political movement. Third, civil society organizations which struggle for democracy, is not always has democratic tools in its 'body'. Fourth, that the NGOs as civil society organizations inevitably have to be willing to lose its character when it transformed into a political society. And fifth, when we saw democracy as a 'aims', we should avoid trapped with 'tools'. From this lesson, at least in particular this study are expected to contribute to enrich the study of civil society in democratic climate in Indonesia and other studies related to social and political sciences in general. Thus, collectively, we can build a meaningful democracy, with a strong based which certainly was not build on the sand.

Kata Kunci : -


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.