Laporkan Masalah

KRIMINALISASI TERHADAP GRATIFIKASI SEKSUAL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

LENY FARIKA MANURUNG, Prof. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum.

2015 | Tesis | S2 HUKUM LITIGASI

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Perkembangan modus operandi tindak pidana gratifikasi saat ini tidak hanya berupa barang, uang akan tetapi berupa layanan seksual. Secara eksplisit layanan seksual tidak terdapat dalam pengertian gratifikasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengakaji tentang gratifikasi seksual dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat ini, serta untuk mengetahui dan menyarankan formulasi pengaturan gratifikasi seksual dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi di Indonesia yang akan datang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Serta data hasil wawancara sebagai data pendukung dan pelengkap untuk mendapatkan informasi tentang gratifikasi seksual. Analisi data dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa berdasarkan formulasi gratifikasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ada sekarang memang tidak menyatakan secara eksplisit bahwa layanan seksual termasuk kategori/bentuk dari gratifikasi, akan tetapi dengan metode penafsiran layanan seksual dapat termasuk kategori/ bentuk dari gratifikasi, sehingga layanan seksual merupakan tindak pidana gratifikasi dan para pelaku (pemberi dan penerima) tindak pidana gratifikasi dapat dikenakan pidana walaupun dengan penjatuhan pasal yang berbeda. Terdapat kelemahan dalam formulasi gratifikasi saat ini yaitu; pertama, terdapat kekurangan dalam subjek delik dimana hanya mengatur penerima gratifikasi dan perbuatan delik yang hanya berupa penerimaan; kedua, dalam gratifikasi tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai layanan seksual dan batasan layanan seksual yang termasuk gratifikasi; ketiga, gratifikasi seksual tidak dapat ditentukan milik negara atau milik penerima gratifikasi sebagaimana dalam Pasal 12C bahwasanya penerimaan gratifikasi wajib dilaporkan dan ditentukan oleh KPK sebagai milik negara atau milik penerima. Berdasarkan kelemahan tersebut serta untuk mencegah perbedaan penafsiran dan demi kepastian hukum, oleh karena itu, pemerintah dan DPR dapat melakukan reformulasi kebijakan formulasi dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi yang terkait gratifikasi seksual kedepannya.

Gratification is, in a broad sense, the act of giving including giving an amount of money, things (goods of possessions), discount, commission, loan without interest, travel ticket, accommodation facility, tour packet, free medical treatment, and many other facilities given. The growth of modus operandi within gratification-criminal practice, nowadays, does not only include giving things or money, but also sexual services. It is not explicitly included in the meaning of gratification. This research is, therefore, aimed to know and observe sexual gratification that can currently be convicted under the Corruption Eradication Act; and also to know and suggest the following formulation of regulation concerning on sexual gratification in Indonesia’s legislations toward corruption practice. This research is normative-law research which used secondary data consisting of primary law material, secondary, and tertiary. In addition, data taken from interviewees helped to support and complete information obtained about sexual gratification. The data were then analyzed by using descriptive qualitative method. The discussion and result of this research showed that gratification, based on the current legislations of the Corruption Eradication, does not explicitly state that sexual services can be categorized as a form of gratification; but by using the interpretation method, sexual services are categorized as the form of gratification. Therefore, gratification practice and the convicts (both the giver and recipient) can be sentenced even though under different articles. There are some weaknesses in the current gratification formulation, firstly, subject delict who only organized the recipient of gratification and acts only a receipt; secondly, the gratification is not explained explicitly about sexual services and limit sexual services including gratuities; thirdly, sexual gratification cannot be determined state or the recipient of gratification as in Article 12C gratification that must be reported and determined by KPK (Corruption Eradication Commission) as belonging to the state or the recipient. Based on those weaknesses, and in order to prevent the differences in interpreting and for the sake of law’s conviction. Thus, government and DPR can reformulate policies about the formulation of legislations toward corruption criminal act which is in accordance with sexual gratification.

Kata Kunci : Kriminalisasi, Gratifikasi, Gratifikasi Seksual, Tindak Pidana Korupsi


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.