Laporkan Masalah

EKRANISASI AWAL: BRINGING NOVELS TO THE SILVER SCREEN IN THE DUTCH EAST INDIES

CHRISTOPHER ALLEN WOODRICH, Prof. Dr. Faruk, S.U.

2014 | Tesis | S2 Sastra

Penelitian ini mengangkat ekranisasi, tindakan sosial membuat film berdasarkan novel, sebagaimana ditemukan di Hindia Belanda. Fenomena ini mulai di Hindia Belanda pada tahun 1927 dengan difilmkannya Eulis Atjih oleh G. Krugers dan berakhir pada tahun 1942—sebelum Jepang menduduki Nusantara—dengan difilmkannya Siti Noerbaja oleh Lie Tek Swie. Proses ekranisasi pada periode ini kurang dipahami, tetapi sangat penting untuk memahami sejarah ekranisasi, sebuah tindakan sosial yang sekarang kerap menghasilkan film-film Indonesia yang paling laku. Dengan demikian, penelitian ini dilaksanakan agar asal-usul fenomena ini serta pertimbangan-pertimbangan awal dalam proses ekranisasi dapat dipahami secara baik. Penelitian ini menggunakan konsep Weber mengenai tindakan sosial, sebuah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan tujuan berinteraksi dengan masyarakat dan mencapai tujuan tertentu. Sumber primer yang digunakan termasuk koran kontemporer serta novel yang difilmkan (mengingat bahwa filmnya sendiri sudah hilang semua), sementara sumber sekunder termasuk jurnal, artikel, buku, dan internet. Sebanyak sebelas film dibuat berdasarkan novel di Hindia Belanda. Ada delapan novel yang difilmkan (dua di antaranya difilmkan lebih dari satu kali). Sembilan produser dan sutradara yang terlibat dalam proses ekranisasi berasal dari etnisitas yang berbeda-beda. Sementara, karya yang diangkat cenderung sudah dikenal luas dalam masyarakat—meskipun biasanya dikenal melalui pertunjukan panggung. Dalam periode yang dibahas, Hindia Belanda merupakan koloni yang banyak mengalami perubahan. Pendidikan yang lebih terbuka meningkatkan tingkat kemelekan huruf, yang memungkinkan kaum elit untuk banyak membaca dan, karena itu, pertumbuhan kesastraan cukup pesat. Sementara itu, kelas bawah sangat menikmati pertunjukan panggung—sastra lisan untuk mereka yang tidak bisa membaca. Industri film sendiri berusaha menemukan formula yang tepat, dan pada tahun-tahun awal menghadapi banyak persaingan dari dunia panggung. Perempuanperempuan terdidik menuntut hak sosial yang sama dengan laki-laki serta perlindungan kesejahteraan perempuan, perubahan-perubahan yang mulai terimplementasi pada tahun 1940-an. Akibat Malaise, ekonomi Hindia mulai mengalih dari ekonomi berdasarkan sektor primer menjadi ekonomi berdasarkan sektor sekunder. Proses rasionalisasi yang melatarbelakangi tindakan ekranisasi merupakan proses yang sangat praktis, yang memusatkan bukan alih wahana karya sastra secara kreatif, tetapi eksploitasi karya popular untuk memperoleh penonton yang paling banyak, melalui karya yang diubah berdasarkan medium yang digunakan serta perubahan dalam masyarakat. Para sineas sudah menyadari bahwa penonton mempunyai latar belakang oralitas yang sangat kuat, dan dengan demikian terus mengangkat karya yang sudah pernah dijadikan drama panggung – dengan demikian, mereka bisa mendapatkan jumlah penonton yang lebih banyak daripada novel aslinya. Kriteria seleksi lain termasuk terkenalnya suatu karya, posisi karya dalam hubungannya dengan ras di Hindia Belanda – terutama ras para penonton – dan tema intrinsik. Pada akhirnya, ekranisasi merupakan tindakan sosial yang instrumental, yang lebih dipengaruhi oleh perlunya memperoleh keuntungan finansial daripada kepentingan kreatif para sineas. Namun, pada akhir masa Hindia Belanda, film yang diangkat dari novel tidak dapat dibedakan dari karya-karya yang berdasarkan cerita asli, baik secara finansial maupun secara kritikal.

This study discusses the social act of adapting films from novels, as found in the Dutch East Indies, where this phenomenon began in 1927 with the adaptation of Eulis Atjih by G. Krugers and ended in 1942—before the Japanese occupation—with the adaptation of Siti Noerbaja by Lie Tek Swie. The adaptation process from this period is little understood, yet important for understanding the history of screen adaptations, which are quickly becoming the most lucrative type of film in Indonesia. As such, this research was conducted in order to better understand the origins of this phenomenon and the earliest considerations in making the social act. This study uses Weber’s concept of the social act, a rational action conducted by an individual in order to interact with society and reach a certain goal. Data used is predominantly from primary and secondary sources. Primary sources used include contemporary newspapers and novels that were adapted to film (keeping in mind that the films themselves are lost), whereas secondary sources used include journals, articles, books, and the internet. A total of eleven films were adapted from eight novels in the Indies. Only one author had multiple works adapted, and two novels were adapted more than once. The nine producers and directors involved in adapting novels came from a variety of ethnicities. The works adapted, meanwhile, were generally popular in wide society— though often best known through stage performances and adaptations. During the period covered, the Indies was a colony in flux. Greater access to education meant that the financial elite were increasingly literate, leading to a growth in the literary industry. The lower class, meanwhile, was highly fond of stage performances—oral literature for the illiterate which often loosely adapted famous novels. The film industry itself was attempting to find a successful formula, and in its early years faced heavy competition from the theatre. Educated women called for greater women’s rights and protection of women’s welfare, changes which began to be implemented in the 1940s. Meanwhile, after the Great Depression the economy began to transform from one based on the production of raw goods to one based in manufacturing. The rationalization process behind ekranisasi was a highly practical one, oriented not towards the creative adaptation of a creative work, but the exploitation of popular works to reach wider audiences, with modifications to take advantage of the medium and shifts in societal mores. Filmmakers were familiar with the predominantly oral nature of their audience, and thus consistently drew on works which had previously been adapted to the stage – and thus reaching wider audiences than the original novels. Further selection criteria included the popularity of a work, its position in relation to the different races in the Indies – particularly the target audience – and themes. Ultimately, ekranisasi was an instrumental act, influenced more by the need to achieve a profit than individual creative concerns by filmmakers. However, in later years works adapted from novels were, financially and critically, indistinct from works based on original stories.

Kata Kunci : Hindia Belanda, sejarah perfilman, sinema Indonesia, sastra Indonesia


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.