POLITIK KEAMANAN JEPANG DYNAMIC DEFENSE FORCE DAN PENERAPANNYA UNTUK MERESPON KONFLIK ASIA TIMUR OLEH PERDANA MENTERI SHINZO ABE
MAIZA HAZRINA ASH SHAFIKH, Dra. Siti Daulah K., MA
2013 | Skripsi | Ilmu Hubungan InternasionalPaska kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang menganut faham pasifisme yang dituangkan dalam konstitusi baru tahun 1947. Konstitusi baru ini memiliki pengaruh yang amat besar terhadap postur pertahanan Jepang yang membentuk politik keamanannya hingga saat ini. Keberadaan pasal 9 dalam konstitusi tersebut menghilangkan kekuatan militer Jepang, membatasi keberadaannya sebagai pasukan bela-diri semata, dan menahan Jepang dari berbagai elemen-elemen militer yang umumnya dimiliki negara lain. Keterbatasan ini menjadi masalah saat situasi internasional di sekitar Jepang berubah menjadi semakin tidak aman. Untuk itu, postur pertahanan Jepang perlu diperbaiki. Kembalinya Shinzo Abe sebagai perdana menteri membawa spekulasi bahwa Jepang akan semakin pro-militer. Pada masa pemerintahannya yang pertama di tahun 2006, Abe sempat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bernada kanan, meningkatkan patriotisme, dan cenderung meningkatkan kemampuan militer Jepang. Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi salah satu penyebab turunnya popularitas Abe, membawanya turun dari jabatan perdana menteri. Pada masa pemerintahannya yang kedua, bagaimanapun, Abe tetap kembali mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait peningkatan pertahanan, sesuatu yang sebenarnya telah dicanangkan semenjak terbitnya konsep Dynamic Defense Force di tahun 2010. Namun, berbeda dengan sebelumnya, Abe tetap dapat mempertahankan jabatannya. Hal tersebut dikarenakan Abe memiliki posisi dan legitimasi yang lebih kuat dari sebelumnya, dengan dukungan dari LDP sebagai partai mayoritas yang menguasai parlemen, dan tingkat penerimaan rakyat yang tetap baik. Kuatnya sumber legitimasi Abe juga disebabkan oleh meningkatnya ketegangan di Asia Timur yang membuat peningkatan kekuatan militer menjadi lebih mudah diterima. Hal ini juga menyiratkan kemungkinan penerimaan masyarakat Jepang terhadap isu keamanan, termasuk perubahan konstitusi, akan terus bertambah di masa yang akan datang.
After suffered defeat in World War II, Japan took the ideology of pacifism, stated in the new 1947 Constitution. This new constitution bear a huge effect upon Japan’s defense posture, which shape it’s political security through this day. The existence of article 9 in said constitution shrinked Japan’s military power, limiting the military existance to self-defense power, and holding it from having military elements; such which owned by any normal country. This limitation appear to become a problem when the international condition surrounding Japan turned to be more and more unsecure. Thus, Japan’s defense posture need to be repaired. The comeback of Shinzo Abe as prime minister bring forth speculation that Japan will be more pro-military. On his first term as prime minister, back in 2006, Abe produced rightish policy, increasing patriotism as well as japan military power. Such policy became a factor contributing in his sudden shrinked popularity, brought him down from his premiership. On his second term, nevertheless, Abe still producing new policies on japan’s defense, something that actually had been planned ever since the publishing of Dynamic Defense Force concept in 2010. However, unlike before, this time Abe had succeded defending his premiership. This is happen because Abe has stronger position and legitimation than before, with the support of LDP as majority party who conquering all two chambers of parliament, and good public level of acceptance. The strength of Abe’s legitimation source also affected by the escalation of conflict in East Asia, causing better acceptance of military power. This case also shows that the possibility of public acceptance upon security issue—including the changing of constitution— will increasing in the future.
Kata Kunci : Keamanan, Dynamic Defense Force, Shinzo Abe, Legitimasi, Konflik Asia Timur