Laporkan Masalah

WAYANG GOLEK MENAK YOGYAKARTA BENTUK DAN STRUKTUR PERTUNJUKANNYA

DEWANTO SUKISTONO, Prof. Dr. H. Timbul Haryono, M.Sc.

2013 | Disertasi | S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Penelitian ini bertujuan untuk membahas konsep dasar bentuk, gerak, dan karakterisasi serta perwujudannya dalam pertunjukan wayang golek Menak Yogyakarta. Di Yogyakarta dan sekitarnya, wayang golek Menak dipopulerkan oleh Ki Widiprayitna, sekitar tahun 1950 sampai 1960-an, satu-satunya dalang wayang golek yang aktif mendalang pada waktu itu. Salah satu faktor yang digemari masyarakat adalah kemampuannya dalam menggerakkan wayang kelihatan hidup, sehingga dijuluki dhalang nuksmèng wayang. Konsep dasar tersebut selalu dilandasi dengan prinsip bahwa dalang adalah amanah, dan pekerjaan mendalang merupakan kewajiban menjalankan amanah, bukan untuk mencari uang atau penghasilan. Penelitian ini bersifat multi-disipliner yang terdiri dari dramaturgi pedalangan, metode sejarah, konsep ikonografi, dan phsiognomi, berusaha untuk memaparkan teori yang merupakan konstruksi dari dunia wayang golek Menak Yogyakarta itu sendiri, yaitu dalang dan wujud karya seninya. Studi, penelitian, data-data tertulis, data rekaman bahkan pertunjukan langsung tentang wayang golek Menak Yogyakarta sampai saat ini sangat jarang ditemukan. Oleh karena itu untuk mengumpulkan data pokok diperoleh melalui observasi dalam bentuk partisipasi terlibat dan wawancara mendalam melalui sumber primer, yaitu Ki Sukarno, putera dan penerus Ki Widiprayitna sebagai dalang wayang golek Menak, serta sumber sekunder yaitu Ki Sudarminta dan Ki Amat Jaelani Suparman, bekas murid Ki Widiprayitna. Teknik observasi selaras dengan konsep Hans Georg Gadamer yaitu verstehen is anvenden atau memahami adalah menerapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum struktur pertunjukan wayang golek Menak Yogyakarta masih mengacu pada wayang kulit purwa, tetapi mempunyai repertoar iringan tersendiri. Ragam gerak wayang golek Menak Yogyakarta selain dipengaruhi wayang kulit purwa juga terinspirasi dari pertunjukan wayang topèng Pedalangan. Kesimpulan yang diperoleh menjelaskan bahwa konsep dasar bentuk, gerak dan karakterisasi serta perwujudannya dalam struktur pertunjukan selalu terkait dengan dimensi teknis dan kualitas ekspresi. Totalitas pengungkapan kemapanan teknis dan kualitas ekspresi mampu merubah dimensi verbal pertunjukan menjadi dimensi imaginatif, sehingga tidak akan nampak lagi batas yang tegas antara seniman, karya seni, dan penonton.

This study is aimed to discuss the basic concepts of forms, movements, characterization, and manifestations in the performance of wayang golèk Ménak Yogyakarta. In Yogyakarta and its surrounding areas, wayang golek Menak was popularized by Ki Widiprayitna around 1950s to 1960s. One factor that favored the public at the time was the ability to move the puppet look alive, so called dhalang nuksmèng wayang. In the context of the performance, the creative process is based on the concept of kéblat papat lima pancer philosophy namely sawiji, greget, sengguh, and ora mingkuh. This research is multi-disciplinary trying to explain the theory, which is the construction of the world of wayang golèk Ménak Yogyakarta it self, such as the puppeteer and his artwork supported by the historical method, iconography concept, physiognomy concept, dramaturgy of puppetry, and concept of Javanese culture. The study, research, written and recorded data, and even the live performance of wayang golèk Ménak Yogyakarta is still scarcely found, as well. Therefore, the primary data are obtained by observation that is involved participation and in-depth interviews through the primary source, Ki Sukarno, the son and the successor of Ki Widiprayitna as the puppeteer of wayang golèk Ménak, and the secondary sources namely Ki Sudarminta and Ki Amat Jaelani Suparman, the former students of Ki Widiprayitna. The observation technique is in line with the concept of Hans Georg Gadamer that verstehen is anvenden or understanding is applied. The results of this research shows that the overall structure of wayang golèk Ménak Yogyakarta still refers to leather puppet prototype, but it has its own accompaniment repertoire. The movement of wayang golèk Ménak is, actually, inspired by wayang topèng Pedhalangan and classical dance of Yogyakarta or Jogèd Mataram, so the movement style is different from others. The conclusion gained clarifies that the basic concept of shape, movement and characterization along with its embodiment in a structure of a show is always related to technical dimension and quality of expression. The totality of technical establishment disclosure and the quality of expression are able to change verbal dimensions of performance becomes imaginative dimension, so there will not appear the clear boundary anymore among artist, artwork, and audience.

Kata Kunci : Bentuk, gerak, karakter, struktur pertunjukan, wayang golek, Menak, Yogyakarta


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.