CINA, INDONESIA ATAWA BELANDA: IDENTITAS, PENGALAMAN DAN MEMORI PEREMPUAN TIONGHOA INDONESIA DI BELANDA 1940an-1980an
WIDYA FITRIA NINGSIH, Prof. Dr. Bambang Purwanto
2013 | Tesis | S2 SejarahTulisan ini dibuat untuk mengetahui bagaimana konstruksi ulang identitas oleh perempuan Tionghoa Indonesia yang memutuskan untuk tinggal di Belanda. Rentang waktu yang dipilih adalah tahun 1940an hingga tahun 1980an. Tahun 1940an, khususnya di awal kemerdekaan atau awal periode dekolonisasi, saat terjadi migrasi orang-orang dari Indonesia ke Belanda secara besar-besaran untuk pertama kalinya. Sementara, tahun 1980an, ketika secara sosiologis menjadi akhir dari periode dekolonisasi bagi para perempuan Tionghoa dalam penulisan ini, ditandai dengan kunjungan mereka ke Indonesia, berinteraksi dengan tanah kelahirannya (identitas lama). Penulis juga membatasi penulisan pada pengalaman dan memori beberapa perempuan Tionghoa yang tinggal di Belanda pada periode tersebut. Konsep Daniel Schacter dan Piere Nora tentang pengalaman dan memori relevan digunakan untuk melihat identitas mereka. Identitas seperti apa yang telah di konstruksi ulang perempuan Tionghoa di Belanda? Bagaimana pengalaman dan memori perempuan Tionghoa Indonesia atas peristiwa masa lalu di Indonesia dijaga, dimaknai dan dipakai sebagai penghayatan kehidupan masa kini mereka di Belanda? Menggali informasi dan pengetahuan tentang mereka melalui sumber-sumber sejarah dan wawancara bisa dilihat sebagai upaya untuk mendokumentasikan episode kehidupan mereka yang sering disalahpahami dan tidak terdapat dalam kanon sejarah Indonesia. Terdapat empat kesimpulan dalam tulisan ini. Pertama, bermigrasi ke Belanda bagi perempuan Tionghoa dalam penelitian ini adalah strategi yang dapat ditempuh untuk mempertahankan eksistensinya. Kedua, Tionghoa dan Cina adalah dua identitas yang berbeda. Ketiga, terdapat tiga kategori dalam konstruksi ulang identitas yang dilakukan sebagian besar perempuan Tionghoa dalam penulisan ini, yakni Cina Hindia Belanda menjadi Belanda, Identitas Tionghoa (peranakan) menjadi Belanda; dan Tionghoa (peranakan) yang menjadi Belanda dan Indonesia. Keempat, proses historis dari konstruksi identitas yang dilakukan oleh perempuan Tionghoa dalam penelitian ini juga menunjukan bahwa terjadi perubahan stigma dan prasangka terhadap masyarakat Tionghoa. Di awal kemerdekaan mereka distigmatisasi sebagai asing dan diasosiasikan dengan Belanda dan setelah tragedi 1965 mereka distigmatisasi sebagai komunis.
This research examines the process of identity (re)construction by Indonesian Chinese Women who lived in the Netherlands. The Period of time is taken from 1940s to 1980s. The 1940s, particularly in the first period of decolonization, at the time when there was the first great waves of migration from Indonesia to the Netherlands. While, the 1980s has sociologically marked by Indonesian Chinese women as the end of decolonization period, designated by their visit to Indonesia – ‘interact with their old identities’. I am limiting my research to the past experiences and memories of some Indonesian Chinese women who lived in the Netherlands at that period. Daniel Schacter and Piere Nora concepts about experience and memory are relevant to be applied for examining their identity. What kind of identities that has been (re)constructed within the Indonesian Chinese women in the Netherlands? How do they use and talk about the preservation of the experiences and memories of the past and bring it to the present life? Generating knowledge about these people through historical sources and interviews, this research could also be seen as an effort to document their life episodes that are often misunderstood and remain unacknowledged in Indonesian history. There are four conclusions in this paper. Firstly, in case of the Indonesian Chinese women in the Netherlands, migration was a strategy to maintain their existence. Secondly, Indonesian Chinese (Tionghoa) and Chinese are two different identities. Thirdly, there were three categories of identity (re)constructions that constructed by most of the Indonesian Chinese women in this study namely, from Chinese (of Dutch East Indies) became Dutch, Indonesian Chinese became Dutch and Indonesian Chinese became Dutch as well as Indonesian. Fourthly, the historical process of Identity (re)construction by Indonesian Chinese women in this research elucidate that there was an alteration of the label or stigmatization that imposed to the Indonesians Chinese. At the early years of Indonesia’s independence, they stigmatized as foreigners, they were also associated with the Dutch, but in the 1960s, particularly after the1965 tragedy, they stigmatized as communist.
Kata Kunci : Migrasi, Perempuan Tionghoa, Identitas, Pengalaman, Memori