KONFLIK KEBIJAKAN DAN PENGETAHUAN LOKAL DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010 DI KINAHREJO/PELEMSARI, DESA UMBULHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN, DIY
DWIATMODJO BUDI SETYARTO, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si
2012 | Tesis | S2 Manajemen dan Kebijakan Publikâ€Kegelisahan intelektual†muncul ketika erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010 menelan korban jiwa yang sangat banyak di Kinahrejo/Pelemsari, Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY. Bukankah kebijakan penanggulangan bencana erupsi Gunung Merapi telah dilakukan melalui pemantauan terhadap Gunung Merapi secara intensif dengan peralatan yang sangat canggih dan lengkap, program-program prabencana yang telah berjalan, serta sarana dan prasarana penanggulangan bencana yang memadai? Bukankah hubungan baik antara penguasa Gunung Merapi dengan penduduk di sekitarnya telah terjalin selama ini? Konflik terjadi sebagai akibat kebijakan pemerintah yang tidak mengakomodasi aspek kultural masyarakat. Masyarakat bingung dalam menentukan pilihan yang terbaik di saat krisis terjadi, mengikuti kebijakan pemerintah atau pengetahuan lokal yang telah menjadi panutan masyarakat selama ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konflik kebijakan dan pengetahuan lokal dalam pengurangan risiko bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang terjadi di Kinahrejo/Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk memahami makna dari peristiwa erupsi Gunung Merapi dan yang mempengaruhi sikap dan tindakan orang-orang dalam menghadapi erupsi tersebut. Ada empat tahapan yang dilakukan dalam pendekatan fenomenologi ini yaitu proses epoche, phenomenological reduction, imaginative variation, dan syntesis of meaning. Informan yang dipilih berasal dari unsur pemerintah, masyarakat, dan komunitas penanggulangan bencana. Konflik didefinisikan sebagai pertentangan pendapat antara dua pihak. Terjadinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat dalam studi bencana sebagai akibat perbedaan dalam mendefinisikan bencana, yang selanjutnya berimplikasi pada perbedaan pendapat dalam mengelola risiko bencana dan konflik dalam mengantisipasi terjadinya bencana. Risiko bencana ditentukan oleh ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity) yang dimulai dari tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Konflik yang terjadi harus diselesaikan dalam suatu kerangka mitigasi bencana berbasis pengurangan risiko. Konflik yang terjadi antara kebijakan pemerintah dan pengetahuan lokal sesungguhnya berakar pada perbedaan pendekatan yang digunakan. Konflik terjadi pada tahap saat tanggap darurat ketika status aktivitas vulkanik Gunung Merapi meningkat menjadi Waspada, Siaga, dan Awas. Dalam pengurangan risiko bencana erupsi Gunung Merapi tahun 2010, kebijakan yang digunakan pemerintah berbasis sains, sedangkan pengetahuan lokal menggunakan pendekatan kultural. Pendekatan sains yang diterapkan pemerintah dengan cara mengakomodasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus berkembang secara dinamis. Sebaliknya, pendekatan kultural yang dilakukan oleh masyarakat Kinahrejo/Pelemsari bersumber pada kehidupannya yang selama ratusan tahun berdampingan dengan Gunung Merapi. Rekomendasi yang diberikan sebaiknya pemerintah menyusun kembali Peta Risiko Gunung Merapi dengan mengakomodasi aspek kultural masyarakat, melakukan sosialisasi pemahaman risiko bencana yang bisa dipahami masyarakat lokal, mengungsikan hewan ternak terlebih dahulu sehingga masyarakat akan lebih mudah diungsikan, serta memfasilitasi pembentukan tim penanggulangan bencana tingkat dusun.
Intellectual unrest came up when the Merapi Volcano eruption happened on 26 October 2010 caused heavy losses in Kinahrejo/Pelemsari, Umbulharjo district, Cangkringan sub district, Sleman regency, Yogyakarta province. Hadn’t the policy of the prevention of Merapi Volcano eruption disaster been done through monitoring toward Merapi Volcano intensively using very sophisticated and complete tools, the programs of pre-disaster been run, and the tools for prevention been adequate? Hasn’t the relation between the authority of Merapi Volcano and the surrounding people been built so far? The conflict arose as the effect of the policy of the government that didn’t accommodate the society’s cultural aspect. The society was confused in determining the best choice when the crisis happened, following the policy of the government or the local knowledge that had been followed by the society so far. This research aimed at knowing the conflict between the government policy and the local knowledge in reducing the risk of disaster of Merapi Volcano eruption in 2010 happened in Kinahrejo/Pelemsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY. Therefore, this research applied qualitative method using phenomenology approach to understand the meaning of the Merapi Volcano eruption and the factors influencing the attitude and action of the people in facing the eruption. There are four steps in applying the approach, namely ephoce, phenomenological reduction, imaginative, and synthesis of meaning. The informants chosen were of the government, society, and the community of disaster prevention elements. Conflict was defined as an opposition of opinion between two parties. The conflict between the government and the society in the disaster study arose as the effect of the difference in defining the disaster. Further, it influenced in the different opinion in managing the risk of disaster and the conflict in anticipating the disaster. The risk of the disaster was determined by hazard, vulnerability, and capacity starting from pre-disaster, emergency response, and post-disaster steps. The conflict arisen must be overcome in a frame reduction-bases of disaster mitigation. The conflict happened between the government policy and the local knowledge in fact rooted on the different approach applied. The conflict arose at the emergency response when the status of volcanic activity of Merapi Volcano increased toward “cautious, ready, and bewareâ€. In risk reduction of the disaster of Merapi Volcano eruption in 2010, the policy applied by the government was based on science, whereas the local knowledge applied cultural approach. Science approach accommodated science and technology that dynamically and continuously developed. On the contrary, cultural approach was based on the sideby- side living with Merapi Volcano. It was recommended that the government should re-arrange The Risk Map of Merapi Volcano by accommodating the society’s cultural aspect, socializing the understanding of disaster risk that was understood by local society, refuging the pets first so that the people would be asily refuged, and facilitating the team formation of disaster prevention in the village level.
Kata Kunci : konflik, kebijakan pemerintah, pengetahuan lokal masyarakat, Gunung Merapi, erupsi, sains, dan kultural.