Laporkan Masalah

DI BALIK GERAKAN PURIFIKASI KAJIAN ATAS MTA (MAJLIS TAFSIR AL QURAN) CABANG KEMUSU I DESA WATU GEDHE

Zaki Faddad Syarir Zain, Dr. Zainal Abidin Bagir

2012 | Tesis | S2 Agama dan Lintas Budaya

MTA dapat disebut sebagai gerakan purifikasi, karena upayanya untuk mengembalikan keberagamaan masyarakat secara skriptual atau literal terhadap Al Quran dan Sunnah serta menolak pengamalan budaya lokal dalam agama. Gerakan ini memiliki cita-cita untuk meningkatkan kualitas umat Islam di Indonesia khususnya, namun di sisi lain gerakan ini menempatkan pengikutnya sebagai subyek gerakan dengan terus menjaga loyalitas dan menggantungkan pendanaan dari mereka. Hal ini bertujuan untuk turut serta dalam mengembangkan gerakan ini. Meskipun MTA menempatkan pengikutnya sebagai subyek, menariknya sebagai gerakan purifikasi MTA justru banyak memperoleh pengikutnya di pedesaan yang mana asumsi mengenai purifikasi dikaitkan sebagai fenomena urban. (Tamney,1980). Penelitian ini akan menjawab pertanyaan sebagai berikut. Bagaimana MTA mendesain gerakannya dan untuk tujuan apa? Bagaimana proses partisipasi seseorang bergabung dengan MTA di Watu Gedhe? Bagaimana timbal balik kepentingan antara MTA dengan para pengikutnya di balik jargon purifikasi gerakan ini? Penelitian ini menggunakan teori komodifikasi agama (Kitiarsa: 2008, 2010) dengan anggapan bahwa MTA menempatkan pengikutnya sebagai subyek gerakan dengan cara mengubah agama untuk dijadikan sebagai komoditas ekonomi dan politik. Tesis ini berargumen bahwa dalam suatu gerakan keagamaan antara idealisme dan pragmatisme menjadi tak terpisahkan. Dalam kasus MTA idealisme purifikasinya saling bersambut dengan pragmatisme gerakan dengan menempatkan pengikutnya sebagai subyek demi perkembangan gerakan itu sendiri. Di sisi lain dalam suatu gerakan terjadi proses tarik menarik kepentingan antara MTA dengan pengikutnya khususnya di desa dengan mengambil contoh apa yang terjadi di Watu Gedhe.

MTA can be called as purification movements because it aims to restore religion literally or scriptually to Al Quran and Hadits. MTA strongly refuses religious experiences which accomodate local cultures. The movement’s purpose is to empower the quality of Islamic community in Indoensia in particular, but on other hand the movement puts its followers as subject with keeping them in loyalty and collecting the funds from them. Although MTA puts its followers as a subject of the movements as a purification movements it gains the followers in rural area while the assumption of puritanism is associated as an urban phenomena (Tamney, 1980). The purposes of this study include, first, to find out how MTA design the movement. Second, this study will review the factors that affect the participation of the MTA's rural communities through: first, determine the ability of MTA in using resources that affect the participation of MTA’s member, second to know how the individual participation process in the movement, and the influence between the acceptability of the movement against environmental conditions, especially in villages. Third, the study aims to determine the attraction of interest between the MTA and its followers behind the jargon of religious purification as a form of religious commodification (Kitiarsa, 2008, 2010). This thesis argues that idealism and pragmatism in religious movement can not be separated. In the case of MTA, its idealism as Puritanism corresponds with its pragmatism to put its followers as a subject to its development. On the other hand there is reciprocal of interest between the movement and its followers behind the process of their participation in MTA taking example from what happen in Watu Gedhe

Kata Kunci : agama, purifikasi, gerakan keagamaan, komodifikasi, desa, Indonesia


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.