PERSEPSI FARMASIS TENTANG KEBIJAKAN SUBSTITUSI GENERIK DAN PELAKSANAANNYA DI KABUPATEN KONAWE
Sri Hariati Dongge, dr. Rustamaji, M.Kes.
2011 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan MasyarakatLatar Belakang : Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan karena dalam pelayanan kesehatan obat merupakan alat intervensi utama untuk meningkatkan derajat kesehatan. Obat juga sering menjadi komponen kesehatan yang paling mahal. Hasil penelitian survey obat oleh Budiharto (2004) harga obat bervariasi , misalnya untuk harga amoxicillin 250 mg generik Rp. 259 sedangkan amoxan 250 mg (sanbe) Rp.1.584, besarnya variasi harga ini menjadi kendala bagi akses obat untuk masyarakat yang kurang mampu. Apoteker dapat berperan dalam peningkatkan penggunaan obat dengan biaya optimal melalui obat generik. Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik. Hal ini tercermin dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pada Pasal 24b, disebutkan bahwa dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien. Dari hasil observasi awal tentang substitusi generik di Kabupaten Konawe belum sepenuhnya berjalan maksimal terutama di apotek swasta, dan pelaksanaan substitusi terkadang hanya dilakukan jika obat yang diresepkan oleh dokter tidak tersedia atau obat kosong. Berdasarkan hal tersebut diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mendukung kebijakan obat generik dan mengukur sejauh mana kesiapan peran farmasis dalam hal pelaksanaan substitusi generik. Tujuan penelitian : Untuk menganalisis persepsi farmasis tentang kebijakan substitusi generik di Kabupaten Konawe. Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan cross sectional survey. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di apotek, puskesmas dan instalasi farmasi rumah sakit di Kabupaten Konawe . Hasil Penelitian : Mayoritas responden (94%) setuju bahwa apoteker harus diberi hak substitusi generik, dan juga responden (43%) tidak setuju jika substitusi generik hanya untuk obat bebas atau obat bebas terbatas, dan 60% responden lebih memilih untuk berkonsultasi dengan dokter untuk substitusi generik obat keras. Frekuensi substitusi generik di IFRS mencapai 0,62% pada bulan desember 2010 dan 0,88% pada bulan januari 2011, sedangkan di puskesmas dan di apotek swasta tidak terdapat resep yang disubstitusi. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis kelamin, umur, lama bekerja, dan tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi farmasis tentang kebijakan substitusi generik. Kesimpulan : Farmasis di Kabupaten Konawe mendukung pelaksanaan kebijakan substitusi generik.
Background: Medicine is one of an irreplaceable component of health care because medicine is the main intervention to improve health. Medication is also often become the most expensive component of health. The result of drug survey research by Budiharto (2004) shows the variation of drug prices, for example for amoxicillin 250 mg generic prices Rp.259, Amoxan 250 mg (sanbe) Rp.1.584, great variation of this price becomes an obstacle for access to medicines for the poor. So that health care is not optimal for the middle and lower communities. Pharmacists can be participated in promoting optimal drug use with the optimal costs through generic drugs. Pharmacists can replace drugs with generic drugs. This is reflected in Government Regulation of Republic of Indonesia number 51, 2009 about the work of pharmacy in Article 24b, it is mentioned that in doing work on the Facility of Pharmaceutical Services Pharmaceutical Services, Pharmacists can replace drugs trademark with the same generic drug active component or another brand bydoctor's approval and / or patients. From the results of observations about generic substitution in Konawe regency not fully running maximum, especially at private pharmacies, and implementation substitution only performed if medicine prescribed are not available or empty of medicine. Based on the explanation above, the researcher is interested in conducting this research to support the generic drug policy and to measure how far the preparation of pharmacist role in conducting generic substitution. Objectives: To analyze the perceptions of pharmacists about generic substitution policy in Konawe regency. Methods: This study uses cross-sectional survey. The data are collected through a questionnaire given to pharmacists and pharmacy technicians in pharmacies, health centers and hospital pharmacy in Konawe regency. Results: Majority (94%) of respondents agreed that pharmacists should be given the right to generic substitution, and also (43%) respondents disagree if generic substitution only for drug-free or free drug is limited, and 60% respondents prefer to consult with a doctor for the substitution of generic drugs. Generic substitution frequency reached 0.62% in December 2010 and 0.88% in January 2011, while in the clinic and in private pharmacies no prescription substituted. The analysis shows that gender, age, duration of work, and education level significantly influences the perception of pharmacists about generic substitution policy. Conclusion: Pharmacists in Konawe regency have a good perception about generic substitution policy and support the implementation of generic substitution policy.
Kata Kunci : Persepsi, farmasis, substitusi generik, kabupaten Konawe.