KREDIBILI TAS DAN GLEMBUK ELIT Studi Relasi Kuasa di Desa Pulungsari Yogyakarta pada Era Reformasi
Bambang Hudayana, Drs.,MA., Prof. Dr. Hari Poerwanto
2011 | Disertasi | S3 AntropologiPersaingan politik antara elit dengan warga di desa Jawa merupakan gejala yang meningkat pada masa reformasi. Studi ini mengkaji gejala tersebut dengan maksud untuk memahami dan menjelaskan apakah persaingan tersebut berkaitan dengan kredibilitas, dan bagaimana elit dan warga mengembangkan strategi untuk meningkatkan kuasanya. Dalam mencapai tujuan penelitian, studi ini memakai pendekatan prosesual dan fenomenologi. Pendekatan prosesual memahami politik sebagai suatu persaingan kekuasaan yang dinamis karena setiap aktor berusaha untuk mengatur permainan dan mengatasi keterbatasannya dalam menghadapi lawan. Adapun fenomenologi difokuskan terhadap penggunaan glembuk, sebagai strategi negosiasi persuasif yang hidup pikiran orang Jawa di desa. Dengan fenomenologi, data dikumpulkan dan dianslisis dengan memakai metode etnografi. Studi etnografi ini dilakukan di Desa Pulungsari, Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil studi menjelaskan bahwa kredibilitas merupakan basis kuasa tetapi yang lebih penting adalah glembuk sebagai strategi untuk menghasilkan atau memanipulasi kredibilitas. Dengan menggunakan glembuk, elit yang tidak kredibel pun dapat mempengaruhi, memerintah atau membujuk warga untuk menerima, mendukung dan menjalankan keputusan politiknya. Ada perbedaan antara strategi glembuk elit desa Orde Baru dengan reformasi. Selama masa Orde Baru, elit memiliki otoritas legal-rasional yang kuat, tetapi tidak mudah bagi mereka untuk mengontrol warga agar mendukung program yang tidak populis dan berbagai keputusan politiknya. Karena itu, mereka memakai glembuk umuk (pamer kebaikan) untuk memanipulasi pembangunan sebagai program yang populis dengan mendemonstrasikan ke keberhasilan, pentingnya kebaikan pemerintah desa dan kewajiban warga untuk memberikan swadayanya guna membiayai anggaran pembangunan yang besar. Elit juga mendemonstrasikan kekuatan fisik (gertak) sehingga warga tidak akan melawannya. Dalam kenyataannya warga sebenarnya tidak patuh atau kalah tetapi mengalah sebagai suatu strategi melawan secara tidak langsung. Ketika masa transisi demokrasi, dan khususnya berlangungnya reformasi dan demokratisasi desa, kredibilitas para elit merosot tetapi kuasa warga meningkat dalam mengontrol bekerjanya pemerintahan desa, pembangunan, dan rekrutmen elit dengan melakukan aski-aksi partisipasi dan demonstrasi. Berbagai arena persaingan juga tidak hanya dikendalikan elit tetapi juga warga. Akibatnya, elit merubah strategi dengan mempercanggih glembuk menjadi lebih transaksional. Mereka cenderung memberikan kompensasi, hadiah, uang, dan bantuan (glembuk uang dan bantuan) kepada warga secara langsung agar memastikan bahwa keputusan politiknya didukung dan warga tidak melawan programnya. Gejala tersebut tidak berarti bahwa warga dalam posisi tidak berdaya, karena kepentingan mereka adalah untuk mendapatkan kompensasi material dari elit yang tidak kredibel dalam menempati jabatan dan melaksanakan program. Penemuan penelitian di atas menjelaskan bahwa sumber kuasa yang paling penting bagi elit di Jawa bukan otoritas tradisional dan legal rasional, tetapi glembuk sebagai strategi politik yang dapat ditransformasikanan ke dalam berbagai dinamika politik. Keberadaan glembuk tersebut membuat banyak studi dalam masyarakat dengan menggunakan model teori elit kurang tepat karena secara faktual elit pun selalu menghadapi resistensi warga baik secara langsung atau tidak langsung.
Political contestation between elites and people in the villages of Java is increasingly phenomenal in reform era. This study elucidates the phenomenon aimed at understanding and explaining as to whether the political contestation is related to the elites’ credibility, on how elites and peoples develop their political strategies to strengthen their political controls. In a bid to come up with its objective, this research applies processual and phenomenological approach. The former apprehends a politics as the dynamic contest of power, because each actor is making efforts to influence the games continuously, and to deal with their weaknesses in encountering their opponents. While the latter srutinizes to the practice of glembuk, as a persuasive strategy existing in the mind of Javanese villagers. By using the phenomenological approach, the data are collected and analyzed by applying ethnographic method. This ethnographic study is conducted in Pulungsari Village, Bantul District of Yogyakarta Special Region. The research finding explains that credibility is power bases of village elite, but the more important thing is glembuk as a strategy for producing or manipulating credibility. By manipulating glembuk, elites who have less credibility are able to influence, rule, or persuade the people to accept, endorse and enact their political decision. There is a difference pattern between elites’ glembuk at the New Order and the reform era. During the New Order, elites owned a powerful legal-rational authority; it is however not easy for them to control the people for supporting the non-populist program and many political decisions. Therefore, they used glembuk umuk (expressing goodwill) to manipulate the development as populist program through demonstrating the successfulness, the importance of the goodwill of the village government and the compulsory of the people to contribute their material resources for the high cost of development and program. The elites also demonstrated their phyisical force (gertak) so that the people would not resist. Infact, the people were not actually obedient or bend down to, but merely conceding as a strategy to resist indirectly. During the democratic transition, mainly the reform era and village democratisation the elites’ credibility have declined, but the power of people emerged in controllling the village goverment, development and elite recruitment through establishing partisipatory and demonstration actions. Various contestation arenas were also not merely dictated by elites but also the people. As a result, the elites then change their strategy by sophisticating glembuk to be more transactional. They tend to give reward, gift, money and aids to the people directly in order to ensure that their political decision would be supported, and the people would not resist with their program. The phenomenon does not means that the people are in the powerless position because their interest is to obtain a material compensation from the elites who have no adeguate credibility in occupying position or conduct the program. The above research findings explains that the most important power of Javanese elite is not traditional and legal-rational authorities but glembuk as political strategy that can be transformed within the dynamics of political system. The existence of glembuk make many studies in Javanese society applying elite theory model is not appropriate because actually the elite always face with people resistance both direct or indirectly ways.
Kata Kunci : Persaingan politik elit, Desa Pulungsari, DIY