Laporkan Masalah

Perubahan penerapan konsep Tri Hita Karana dalam lingkungan permukiman perdesaan :: Kasus Kabupaten Badung di Provinsi Bali

WESNAWA, I Gede Astra, Promotor Prof. Dr. Hadi Sabari Yunus, Drs., MA

2009 | Disertasi |

Penelitian ini dilaksanakan di perdesaan Kabupaten Badung di Provinsi Bali. Daerah perdesaan ini dipilih karena sebagai penyangga adat dan budaya terdapat gejala perubahan dalam penerapan konsep THK. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengungkapkan bentuk-bentuk perubahan yang terjadi dari penerapan konsep THK dalam lingkungan permukiman perdesaan Kabupaten Badung, (2) mengungkapkan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penerapan konsep THK dalam lingkungan permukiman perdesaan Kabupaten Badung, (3) menganalisis proses terjadinya perubahan penerapan konsep THK dalam lingkungan permukiman perdesaan, dan (4) mengkaji dampak yang timbul dengan adanya perubahan penerapan konsep THK dalam lingkungan permukiman perdesaan. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei. Penentuan sampling meliputi: (1) areal sampling mendasarkan pada kenampakan unit lansekap [perbukitan dan landai] dan administratif [desa Petang, Kutuh, Buduk, Baha dan Ayunan] yang dipilih secara proporsional dan (2) subjek sampling adalah kepala keluarga ditentukan secara stratified sampling atas dasar pelapisan social yaitu kelompok triwangsa [Brahmana, Ksatria, dan Wesya] dan jabawangsa [Sudra]. Analisis dilakukan dengan teknik analisis kualitatif didukung dengan data kuantitatif terhadap perubahan lingkungan permukiman perdesaan yang berdasarkan pada konsep THK. Hasil penelitian meliputi empat hal. Pertama, bentuk perubahan penerapan konsep THK dalam lingkungan permukiman perdesaan skala meso pada unsure parahyangan, pawongan dan palemahan di daerah perbukitan dan landai relative sama. Tata letak berupa pelanggaran radius kawasan suci dan penempatan bangunan pemujaan pada orientasi vertikal. Dalam skala mikro, fungsi ruang komponen biotic dan sosial budaya berubah ke fungsi sosial dan ekonomi untuk kelompok jabawangsa, sementara triwangsa masih tetap mempertahankan keberadaan fasilitas, tata letak, dan fungsi ruang pada komponen abiotik, biotik dan sosial budaya. Kedua, penyebab perubahan lingkungan permukiman perdesaan berdasarkan konsep THK dalam skala meso di perbukitan dan landai adalah wujud penggunaan lahan, keberadaan vegetasi, pendapatan, dan luas pemilikan lahan, dalam skala mikro adalah keterbatasan lahan. Ketiga, proses perubahan penerapan konsep THK dalam lingkungan permukiman perdesaan skala meso dan mikro di perbukitan dan landai secara evolutif dan revolutif. Keempat, dampak perubahan penerapan THK dalam lingkungan permukiman perdesaan skala meso di perbukitan dan landai adalah berkurangnya kawasan lindung [biotik] dan pencemaran spritual, dalam skala mikro adalah ketersediaan ruang untuk komponen sosial berkurang [abiotik], pola sumbangan, dan transformasi sektor primer ke sekunder dan tersier [sosial budaya] pada kelompok triwangsa dan jabawangsa. Berdasarkan hasil penelitian, kontribusi yang dapat dikemukakan adalah: (1) kontribusi teoritik: pendekatan spasial skala meso dan mikro dijadikan keunggulan dari penelitian ini untuk mengungkap penyebab, proses dan dampak dari perubahan kearifan lokal untuk permukiman dan (2) kontribusi praktis: konsep THK dapat bertahan dan berkesinambungan terhadap pengaruh modernisasi apabila masyarakat perdesaan tetap terikat dengan desa adat. Konsep THK sebagai wujud kearifan lokal dalam lingkungan permukiman perdesaan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan jaman yang ditunjukkan dengan adanya kompromi pada kahyangan tiga sebagai jiwa permukiman, territorial kawasan sebagai fisik desa dan penduduk yang menempati permukiman. Keselarasan hubungan ini menjamin pelestarian lingkungan yang harmonis

The research conducted in villages in Badung District due to their existence as safeguarder of adat and culture which indicate the changes in the implementation of THK concept. It aimed at (1) identifying forms of change in the implementation of THK concept in village settlements in Badung, Bali Province, (2) identifying factors causing the change, (3) analyzing the process of change, and (4) studying the impact of change. In order to achieve its objectives, the research utilized a survey. The methods of sampling consist of: (1) areal sampling, which was based on landscape unit feature [Mountain and plains] and administrative [Petang, Kutuh, Buduk, Baha, and Ayunan Village] which were selected proportionally, and (2) subject sampling, which consists of the Head of the family determined through stratified sampling technique based on sosial stratification of triwangsa group [Brahmana, Kasatria, and Wesya] and jabawangsa [Sudra]. The analysis was carried out using a qualitative technique supported by quantitative data on change in village settlements which were based upon the THK concept. The research results indicated that four. First, forms of change in the implementation of THK concept in the mesoscale village settlements occured in the element of parahyangan, pawongan, and palemahan in mountainous and plains are relatively the same. The lay out are in the forms of trespassing the circle of holly areas and the placement of temple in vertical orientation. In microscale, the spatial function of biotic component and social culture is transformed into social and economic function for jabawangsa group, whereas triwangsa still maintains the existence of facilities, lay out, and spatial function on abiotic, biotic and social culture component. Second, factors causing the change in the mesoscale village settlement based on THK concept in mountainous and plains were the form of land exploitation, the vegetation availability, income, and the large of land ownership. Meanwhile, in microscale, the limit of land is the only factor. Third, the process of change in mountainous and plains both the mesoscale and microscale were evolutionary and revolutionary. Fourth, the impact of change existed in the mesoscale mountainous and plains were the decrease of preservation area [biotic] and spiritual degradation, whereas in microscale were decrease of space availability for social component [abiotic], donation pattern, and the transformation from primary to secondary and tertiary sector [social culture] on triwangsa and jabawangsa group. Based on the research result, contributions which could be given are: (1) theoretical contribution: spasial approach in meso and micro scale became the strenght of this research to reveal the cause, process and impact of local wisdom changes for the residence, and (2) practical contribution: THK concept could survive and sustain toward modernization effect if village community is still bound to local tradition. The THK concept as manifestation of local wisdom in village settlements is adaptive to changes and advancement of time as indicated by compromising the kahyangan tiga part as the soul of the settlement while the territory as the physical body of the village as well as the residents. Such a harmony will assure preservation of harmonious environment.

Kata Kunci : Perubahan,Penerapan THK,Lingkungan permukiman perdesaan


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.