Percepatan peningkatan populasi burung Maleo (Macrocephalon maleo) melalui perbaikan pola penetasan dan penangkaran di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah

HAFSAH, Promotor Prof. Dr. Ir. Tri Yuwanta, SU., DEA

2009 | Disertasi |

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persebaran dan karakteristik habitat, estimasi populasi di habitat alam, penetasan, pakan, pola makan, performan pertumbuhan, kondisi morfologi dan status fisiologi pada kondisi penangkaran di habitat alam (in-situ) dan diluar habitat (ex-situ). Metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif dan analisis varian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pengurangan habitat secara umum, akan tetapi pada habitat tertentu yang dijadikan sebagai pembinaan upaya konservasi berhasil meningkatkan populasi. Tekstur tanah habitat didominasi lempung berpasir dengan temperatur dan kelembaban bervariasi dari 29 - 34 °C dan 60 - 71 % dengan kedalaman lubang peneluran 51 - 87 cm. Kisaran berat telur 174,27 - 255,14 g, bentuk oval dan warna kerabang coklat tua dan coklat muda. Indeks warna kuning telur 14 dan 15 dengan proporsi 68,26 %. Kualitas tetas tertinggi dan waktu inkubasi tercepat diperoleh dari penetasan dengan penggunaan inkubator. Teridentifikasi 16 jenis tumbuhan dihabitat alam yang diduga sebagai sumber pakan sedangkan dipenangkaran teridentifikasi delapan jenis pakan dengan preferensi tertinggi pada jenis pakan kemiri. Jumlah konsumsi pakan dan nutrien protein, lemak dan serat kasar pada umur 0 - 4 minggu, enam bulan, dan 34 bulan berturut-turut (19,52 g); (35,21 g); (49,82 g) dan (17,29 %, 19,69 %; 7,53 %); (16,93 %, 20,78 %, 7,81 %); dan ( 17,55 %; 22,01 %; 8,12 %). Bentuk fisik pakan pellet yang paling palatabel dan pola konsumsi makan lebih banyak pada pagi. Aplikasi pakan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P = 0,01) terhadap pertambahan bobot badan dan konversi ransum di habitat in-situ, akan tetapi tidak berpengaruh nyata di habitat ex-situ. Kondisi morfologi pada konservasi ex-situ masih normal, sedangkan temperatur tubuh dan frekwensi nafas teridentifikasi berbanding terbalik. Pada umur 12 bulan profil darah lebih tinggi dibandingkan umur enam bulan, akan tetapi untuk hormon pertumbuhan didapatkan hasil sebaliknya. Hasil identifikasi hormon esteradiol sangat rendah (20 - 53 pg/ml) yang menandakan bahwa sifat keliaran masih tinggi. Hormon testosteron pada umur 12 bulan sangat rendah (< 2,00 ng/dl) yang mengindikasikan masih jauh dari dewasa kelamin sedangkan pada umur 40 bulan teridentifikasi 236,70 ng/dl. Konservasi ex-situ diperlukan untuk menunjang upaya peningkatan populasi pada konservasi in-situ, dan kedua metode tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.

The aim of the research was to study the distribution and characteristics of habitat,the size of population naturally, hatching, identificat ion and pattern of feed, growth rate, morphological and physiological requirement both in-situ and ex-situ captivity. It conducted using observation and experimental methods were follow by descriptive and variance analysis. Results shown that it was generally reducing the nesting habitat. However, in certain habitat, shown became a conservation program succeeded increasing the population size. Soil texture was dominated by sandy clay, temperature and humidity ranges from 29 to 34 °C and 60 to 71 % respectively, and the burrows depth of nest ranges from 51 to 87 cm. Eggs weigh were range from 174.27 to 255.14 g with the oval shape and brown to pinkish egg shell color. Yolk color index was 14 and 15 with the proportion of 68.26 % the highest hatching quality and the shortest incubation time were achieved from the incubator hatchery. 16 kinds of plant were identified as feed sources growing in the natural habitat, whereas, there was eight kinds of feed identified as feed sources in the captivity which candlenuts found to be highest preference rate. The cumulative feed consumption and nutrient such as protein, fat, and crude fiber of the 0 - 4 weeks old, six month old, and 34 month old were about (19.52 g; 35.21 g; 49.82 g) and (17.29 %; 19.69 %; 7.53 %), (16.93 %; 20.78 %; 7.81 %), (17.55 %; 22.01 %; 8.12 %), respectively. The pellet form was became the palatable feed, and the feed pattern in the morning was identified the highest feed consumption. The growth performance was significantly supported by feed application (P < 0.01) that affected body gain and feed conversion in in-situ habitat. However, in ex-situ habitat the treatments and the blocks did not show any significant difference. The morphological condition in exsitu conservation was become normal in general, whereas, body temperature and respiration rate were identified inversely. The blood profile was high in the 12 monthold compared to six month-old. However, the growth hormone was idenfied inversely .The esteradiole hormone was relatively low (20 - 53 pg/ml) indicated by the high wild characteristic. Furthermore, the contents of testosterone hormone was low, < 2. 00 ng/dl in a twelve months old, and drastically increased to 236.70 ng/dl in a 40 months old. Ex-situ conservation program of Maleo bird is needed to prevent the lost of population size in the in-situ conservation, both conservation methods have its own benefit and challenge.

Kata Kunci : Habitat, Konservasi, Maleo, Penetasan, Penangkaran, Populasi