Laporkan Masalah

Pemberdayaan desa adat berbasis modal budaya dalam pengembangan pariwisata :: Studi pada implementasi penataan dan pengawasan kawasan wisata Besakih di Desa Adat Besakih Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem Propinsi Bali

SETIAWAN, I Gede Kaneka, Dr. Gabriel Lele

2010 | Tesis | S2 Magister Administrasi Publik

Penelitian ini membahas tentang efektivitas proses pemberdayaan desa adat dalam pengembangan pariwisata melalui penerapan modal budaya yang dimiliki sebagai acuan/pedoman dari pemberdayaan tersebut. Pemerintah Propinsi Bali merumuskan pengembangan pariwisata budaya melalui kebijakan pemberdayaan masyarakat dengan meletakkan program pemberdayaan pada Desa Adat. Peneliti memilih Desa Adat Besakih sebagai objek penelitian karena memiliki objek wisata budaya yaitu Pura Besakih yang merupakan pusatnya seluruh pura di Bali yang memerlukan penataan dan pengawasan yang optimal untuk menjaga kelestarian dan kesucian kawasan ini. Untuk itu pemberdayaan Desa Adat Besakih mutlak dilakukan dalam pengembangan pariwisata budaya. Melihat hal tersebut, dirumuskan dua permasalahan ; pertama, bagaimana upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh desa adat Besakih terkait pengembangan pariwisata? Kedua, Faktor-faktor penentu efektivitas proses pemberdayaan tersebut? Sesuai dengan perumusan masalah ini, peneliti bertujuan ingin mengetahui efektivitas proses pemberdayaan melalui upaya-upaya yang dilakukan oleh desa adat Besakih dalam pengembangan pariwisata, dan mengidentifikasi serta menganalisa faktor-faktor penentu efektivitas proses pemberdayaan desa adat tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif-kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dari sumber data primer dan sekunder, dengan teknik pengumpulan data melalui metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian dan analisis menunjukkan bahwa proses pemberdayaan desa adat dalam mendukung pengembangan pariwisata sudah berjalan cukup efektif sesuai dengan konsep pemberdayaan yaitu kemandirian, jaringan kerja, partisipasi dan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari pertama, pemenuhan keamanan melalui pengamanan berbasis masyarakat cukup efektif mengurangi gangguan keamanan di Kawasan Wisata Besakih. Kedua, pemenuhan kebersihan dan kesejukan lingkungan Desa Adat Besakih telah efektif menciptakan keadaan lingkungan Besakih yang bersih dan sejuk. Ketiga, pemenuhan ketertiban, keteraturan dan ketenangan cukup efektif dilaksanakan melalui penegakan awig-awig dan adanya konsep paras paros sagilik saguluk salunglung sabayantaka dalam setiap pemecahan permasalahan di Desa Adat Besakih. Keempat, pemenuhan akan adanya pelayanan yang baik dan keramah-tamahan telah diupayakan desa adat melalui peran serta krama dalam kepramuwisataan, walaupun masih memiliki kekurangan dalam hal kualitas kompetensi sumber daya manusianya. Beranjak dari uraian tersebut tidak terlepas dari adanya faktor penentu efektivitas proses pemberdayaan, sesuai dengan variabel yang telah ditentukan yaitu; partisipasi masyarakat yang dilihat dari paruman desa sebagai ruang warga untuk mengakses kebijakan dan sekaligus mengontrol kinerja aparaturnya, juga adanya pemiteket, sebagai lembaga pertimbangan bagi pengurus desa dalam melakukan aktivitasnya, juga sudah berfungsi; Kelembagaan masyarakat dapat dilihat dari struktur kepengurusan desa adat yang sudah ada dan kewenangan prajuru desa adat dalam melaksanakan pemerintahannya sudah efektif; kapasitas dukungan pemerintah yang dilihat dari adanya bantuan sarana dan prasarana kepada Desa Adat dalam menutupi kekurangan yang dimiliki oleh Desa Adat Besakih. Berdasarkan analisis hasil penelitian ini perlu adanya peningkatan kapasitas dukungan pemerintah, baik dalam hal sarana dan prasarana maupun peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat lokal sehingga mampu menciptakan pembangunan pariwisata budaya secara berkelanjutan. Disamping itu, penelitian ini diharapkan sebagai studi awal dalam penelitian pemberdayaan yang berfokus pada keberadaan modal budaya dalam pemberdayaan masyarakat terkait pembangunan pariwisata.

This research discusses the effectiveness of desa adat (traditional village) empowerment process in tourism development through the implementation of cultural capital is owned as a reference/guidance this empowerment. Bali Provincial Government had formulate cultural tourism development through community empowerment policy by putting the program on the empowerment of Indigenous Village (Desa Adat). Researchers chose Desa Adat Besakih as the research object, because it has a cultural tourist attraction that is Pura Besakih, which is the center all the temples in Bali, which requires restructuring and supervision to maintain optimal preservation and sanctity of this area. Therefore, empowerment of Desa Adat Besakih absolutely done in the development of cultural tourism. Seeing this, formulated two issues; first, how the empowerment efforts undertaken by Desa Adat Besakih in tourism development? Secondly, factors determining the effectiveness of the empowerment process? In accordance with the formulation of this problem, researchers aimed to find out the effectiveness of the process of empowerment through the efforts undertaken by Desa Adat Besakih in tourism development, and identify and analyze the determinants of the effectiveness of the empowerment process of Desa Adat. This research is a descriptive qualitative research with case study approach. In this research uses data obtained from primary data source and secondary data source, with data collection techniques through interviews, observations, and documentation. The results of research and analysis shows that the process of Desa Adat empowerment in supporting the development of tourism has been running quite effective in accordance with the concept of empowerment, namely: independence, networks, participation and justice. This can be seen from the first, the fulfillment of security through community-based security, has been quite effective in reducing security problems in the area Besakih Tour. Second, the fulfillment of environmental cleanliness and coolness of Desa Adat Besakih has effectively created the state of Besakih environment clean and cool. Third, regularity, orderliness, and tranquility, has been quite effectively implemented through the enforcement of awig-awig and the concept of Paras paros sagilik saguluk salunglung sabayantaka in every problems solving in Desa Adat Besakih. Fourth, the fulfillment of the existence of good service and hospitality, has been sought Desa Adat through the participation of citizens in tourist guide group (kepramuwisataan), although still lacking in terms of quality human resource competencies. Moved from the description, not apart from the effectiveness of the determinants of empowerment process, in accordance with predetermined variables, ie; participation as seen from Paruman Desa (village meeting), as a citizen to access the policy, as well as performance control apparatus, also a pemiteket, as an institution for the management of rural considerations in organizing their activities, also is working; Community institutions can be seen from desa adat management existing structure, and prajuru desa adat authority in carrying out his government, has been running optimally; the capacity of government support, the visits of the facilities and infrastructure assistance to desa adat in shortfall owned by Desa Adat Besakih also quite adequate. Based on the analysis of the results of this research, a need to increase the capacity of government support, both in terms of facilities and infrastructure and improving the quality of human resources of local communities so that they can create sustainable cultural tourism development. In addition, this study is expected as early studies of empowerment research, which focuses on the existence of cultural capital in community empowerment for tourism development

Kata Kunci : Pemberdayaan,Desa adat,Pengembangan pariwisata,Empowerment,traditional village (desa adat),tourism development


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.