Ekonomi politi distribusi perfilman Indonesia :: Studi kasus distribusi perfilman 21 Cineplex Group dan Blitzmegaplex periode 2007-2008
HAYUNINGTYAS, Jufenda Winursito, Dr. YA. Nunung Prajarto, MA
2009 | Tesis | S2 Ilmu KomunikasiFilm telah hadir sejak penjajahan, memasuki relung masyarakat, mulai dari film hitam putih dan bisu hingga akhirnya sampai di titik dengan teknologi digital tercanggih saat ini. Pasang surut industri perfilman Indonesia disebabkan oleh regulasi pemerintah yang tidak jelas, praktek monopoli industri perfilman, kualitas SDM minim, termasuk kendala modal. Sebut saja 21 Cineplex Group yang telah berjaya berpuluh tahun ini. Ia pernah diperkarakan melakukan praktek monopoli industri perfilman, namun kemenangan diperolehnya. Hal ini menunjukkan kekuatan kuasa pemilik dan kapital yang dimiliki mereka. Tahun 2006, muncul pesaing yang membuat 21 sedikit goyah, yaitu Blitzmegaplex. Kehadirannya yang baru memiliki 4 cabang di Jakarta dan Bandung, dengan konsep one stop entertainment, membuat 21 gerah dan akhirnya berbenah. Namun, munculnya persaing tetap tidak menggoyahkan posisi hegemoni 21 Cineplex Group. Salah satu mata rantai perfilman yaitu distribusi, menjadi kuasa jaringan 21 terutama untuk perolehan film dari Hollywood. Akhirnya, dengan kehadiran Blitzmegaplex apakah dapat merubah posisi dan alur distribusi film yang terjadi di Indonesia. Hal inilah yang ingin ditelaah oleh peneliti, mengingat lebih dari 10 tahun tidak terdapat badan distribusi yang mengatur industri ini. Penelitian ini akan menggunakan studi kasus dengan mengambil sampel dari jaringan 21 dan Blitzmegaplex sebagai pendatang baru yang cukup diperhitungkan. Kenyataan yang terjadi adalah kekuasaan modal dan network –dalam ekonomi politik- terbukti kuat sangat dimiliki oleh jaringan 21. Dengan 3 perusahaan importir filmnya yaitu Amero, Camila, dan Satrya dijadikan kaki tangan 21 untuk menyebarkan sayap dan memperkuat posisi dalam hal kapital dan kuasa. Dengan memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia, Bioskop 21 dan para importir tersebut sekaligus menjadi distributor film bagi diri mereka sendiri untuk menekan dan melemahkan pemilik bisnis yang lain. Inilah yang sedikit banyak dialami oleh Blitzmegaplex. Ia pun membuat perusahaan importir khusus filmfilm indie dan festival dari luar negeri agar memperoleh pasokan film yaitu Jive Entertainment, dan untuk memperbanyak film dalam format home video yaitu Jive Collection. Belum ada kuasa yang mampu mengalahkan 21. Kecuali pemerintah yang turun tangan dan membuat mekanisme distribusi baru agar menciptakan lingkup yang nyaman demi pertumbuhan industri perfilman lokal dengan mengandalkan teknologi digital.
Kata Kunci : Film, Industri, 21 Cineplex Group, Blitzmegaplex,Ekonomi politik