Laporkan Masalah

Rukun Kota (Ruang perkotaan berbasis budaya Guyub) :: Poros Tugu Pal Putih dampai dengan Alun-alun Utara-Yogyakarta

PURWANTO, Edi, Promotor Prof.Ir. Achmad Djunaedi, MUP.,Ph.D

2007 | Disertasi | S3 Teknik Arsitektur

Ruang perkotaan poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara sebagai bagian dari pusat kota Yogyakarta, pada dasarnya tercipta oleh jalinan antara ruang fisik kota dengan nilai- nilai kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang dikembangkan oleh pelaku ruangnya secara menyejarah dan membentuk karakter sekaligus citranya. Keberjalinan tersebut melahirkan berbagai macam persepsi, emosi, dan perasaan kepada pelaku ruangnya. Karena berlangsung dalam waktu lama dan berulang-ulang, keberjalinan tersebut melembaga menjadi hubungan saling mengikat dan tersimpan kuat dalam ingatan kognisi pelaku ruangnya yang akhirnya menjadi faktor penting terbangunnya pemaknaan ruang perkotaan ini. Penggalian makna ruang perkotaan ini mendasarkan pada empat alasan: [i] keragaman pelaku ruang mempunyai andil dan pengaruh yang sangat besar didalam pembentukan makna ruang perkotaan; [ii] ruang perkotaan tersebut mempunyai karakter yang khas; [iii] pembentukan makna akan memperkuat eksistensi dan karakter ruang perkotaan itu sendiri; [iv] keberadaan ruang perkotaan yang bermakna merupakan peluang bagi munculnya pengetahuan baru bagi perencanaan dan perancangan ruang perkotaan yang berakar dalam nilai- nilai lokal. Tujuan penelitian adalah melakukan eksplorasi makna ruang perkotaan di poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara yang sarat dengan pluralitas nilai yang nyata sehingga diharapkan gambaran makna ruang perkotaan ini akan dapat dipahami dalam keterkaitannya dengan konteks pluralitas sosial budaya dan latar belakang pelaku ruangnya secara utuh dan mendalam. Penelitian dengan paham fenomenologi model paradigma naturalistik dipilih untuk mengungkap makna ruang perkotaan poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-alun Utara. Alasannya pemilihan paham dan model penelitian tersebut karena dianggap lebih tepat dalam mengungkap dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena pembentuk makna ruang perkotaan ini. Penelitian ini telah menghasilkan pengetahuan berupa konsep-konsep makna ruang perkotaan berupa: [i] ruang konsensus; [ii] ruang bereksistensi; dan [iii] ruang imajinasi kolektif. Di dalam konsep-konsep tersebut terkandung sistem nilai- nilai berisi prinsipprinsip saling: [i] saling menghormati; [ii] saling menghargai; [iii] saling menolong; [iv] saling berbagi; [v] saling mengakui; [vi] saling memberi kebebasan. Kepercayaan terhadap ruang berisi keyakinan-keyakinan tentang: [i] ketentraman dan kenyamanan batin; [ii] kepuasan batin; [iii] berkah dan rejeki; [iv] pengayoman dan kekuatan; [v] semangat; [vi] rasa memiliki terhadap ruang. Sistem nilai dan kepercayaan saling bersinergi membangun penguatan sehingga me njadi budaya guyub sebagai modal sosial ruang perkotaan ini. Substansi yang terkandung dalam budaya guyub tersebut menjadi basis terbangunnya sebuah teori substantif yaitu “rukun kota”. Secara teoritis “rukun kota” terbangun berdasarkan keterajutan antara sistem nilai-nilai dan kepercayaan dengan ruang perkotaan ini yang ditumbuhkembangkan secara spontan dan mandiri oleh pelaku ruangnya, secara fisik berbentuk ruang jalan (poros) yang mempunyai batas-batas “keterpengaruhan budaya guyub”. Dalam “rukun kota”, segala perilaku meruang pelaku ruangnya yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, spiritual, dan menyampaikan aspirasi politik selalu mendasarkan kepada budaya guyub. Budaya guyub tersebut dapat ditemukan dan dikenali terutama di lingkungan kampung-kampung, sebagian mengalami penetrasi (perembesan) ke dalam lingkungan ruang perkotaan ini karena dibawa dengan sengaja atau tidak sengaja oleh pelaku ruangnya. Sebagian lagi terbangun karena ditumbuhkembangkan oleh pelaku ruangnya dalam ruang perkotaan ini dan mengalami proses penguatan nilai-nilai dan kepercayaan.

The urban space stretching from Tugu Pal Putih to Alun-alun Utara as part of the centre of Yogyakarta City is basically created by an interconnection between the physical space of the city and the values of the social-economic-cultural life developed by the space actors along the history, forming its character and image. Such an interconnection results in a variety of perceptions, emotions, and feelings of the space actors. Because it has occurred for a long time repeatedly, the interconnection becomes institutionalized, intertwined, and strongly stored in every space actor’s cognitive memory, which eventually becomes an important factor in the development of the meaning of the urban space. The investigation of the meaning of the urban space is based on four reasons that: [1] a variety of the space actors have very significant roles in and influences on the formation of the meaning of the urban space; [ii] the urban space has special characteristics; [iii] the formation of meaning will strengthen the existence and character of the urban space; [iv] the meaningful existence of the urban space is an opportunity for new insights to appear regarding the planning and designing of the urban space rooted in the local values. The objective of the research study is to explore the meaning of the urban space stretching from Tugu Pal Putih to Alun-alun Utara, which is full of apparent plurality of values, so that the description of the meaning of the urban space is understandable in its connection with the context of the space actors’ socio-cultural plurality and backgrounds as a whole and in depth. The research study employing a phenomenological model within the naturalistic paradigm is selected to reveal the meaning of the urban space stretching from Tugu Pal Putih to Alun-alun Utara. The reason for the selection of such a model and paradigm is that it is more appropriate to reveal and understand what is hidden behind the phenomena constructing the meaning of the urban space. This research study has resulted in knowledge of semantic concepts of the urban space in the form of: [i] consensus space; [ii] existential space; and [iii] collective imagination space. Such concepts contain value systems with principles of [i] mutual respect; [ii] mutual appreciation; [iii] mutual help; [iv] sharing; [v] mutual acceptance; [vi] mutual respect to freedom. Beliefs concerning space consist of perceptions regarding [i] inner serenity and tranquility; [ii] inner satisfaction; [iii] blessing and luck; [iv] protection and strength; [v] spirit; [vi] sense of belonging of space. There is a mutual synergy of value systems and beliefs to develop strength, resulting in a guyub culture as a social capital in the urban space. The substance in the guyub culture becomes the basis of the development of a substantive theory, namely “rukun kota”. Theoretically, “rukun kota” is established in accordance with the interconnection between the value systems and the beliefs of the urban space, independently developed by the space actors, in the form of a passage space (axis) with the boundaries of being influenced by the guyub culture. In the “rukun kota”, all spatial behaviors of the space actors in relation to the economic, social, cultural, spiritual, and political aspects are always based on the rukun culture. The guyub culture can be found and recognized especially in kampongs, and some penetrates into the urban space because the space actors by intention or by accident bring it with them. Some is established through the development by the space actors in the urban space and through a strengthen of values and believes process.

Kata Kunci : Ruang Perkotaan Konsep Makna,Budaya Guyub


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.