Seni Slawatan Katolik di Paroki Ganjuran Sebuah Kajian Inkulturasi dari Perspektif Religi dan Budaya
LATIFAH, Prof. Dr. J.B. Banawiratma
2007 | Tesis | S2 Ilmu Perbandingan AgamaGereja Katolik semenjak Konsili Vatikan II menganjurkan agar gereja membuka diri dan menerima unsur -unsur kebudayaan setempat sejauh unsurunsur kebudayaan setempat tidak bertolak belakang dengan ajaran-ajaran agama Katolik. Usaha -usaha semacam ini gereja Katolik menyebutnya dengan inkulturasi. Slawatan Katolik di Paroki Ganjuran adalah salah satu bentuk dari sekian banyak inkulturasi yang ada di gereja Katolik, khususnya musik liturgi untuk ritual memuja Allah Bapa. Pada awalnya Slaka muncul di Paroki Promasan, Kulon Progo, dan hingga kini berkembang di banyak wilayah di DIY. Paroki Ganjuran memiliki sejarah yang cukup unik. Slawatan di Paroki Ganjuran, lahir pada tahun 1980-an untuk mensukseskan program P4. Namun semenjak turunnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, slawatan ini beralih fungsi menjadi slawatan Katolik setelah mendapatkan dampingan dari tokoh-tokoh slawatan Katolik Promasan antara lain Bapak Yosef Kartoiyono. Banyak sekali nilai penting yang menjadikan komunitas Slawatan Katolik di Mulyodadi Lor ini berusaha untuk terus menghidupkan slawatan, dengan alasan-alasan dan nilai penting sebagai berikut: sebagai media pewartaan, konsolidasi antar umat, sarana berdoa dan penguatan iman, ajaran moral, dan aktualisasi diri dalam seni. Dewan paroki Gereja Ganjuran berhasil membuat beberapa kebijaksanaan dalam kaitannya inkulturasi slawatan Katolik antara lain: Musik terbangan khususnya masalah lagu, lirik, aransemen, digunakan sebagai sarana pengungkapan iman, maka haruslah selaras dengan kehidupan gerejani atau kehadirannya tidak merusak penghayatan iman serta kehadiran musik terbangan di gereja diupayakan agar dapat menyatukan gereja dengan budaya masyarakat. Di kalangan muda mudi Katolik ada beberapa sudut pandang dalam menanggapai keterputusan regenerasi Slawatan katolik di Paroki Ganjuran antara lain: Generasi muda pada umumnya sudah tidak berdomisili penuh di kampungnya, penggunaan bahasa Jawa halus yang kurang dimengerti kaum muda, tidak adanya kemampuan dasar untuk memainkan alat musik trebang.
The Catholic Church since Vatican Council II had advised the Church to be open in the adoption of local cultures as long as those were not against the teachings of the Catholic religion. The Catholic Church had defined this as inculturation. Slawatan in the Church had its beginning at the Promasan Parish in Kulon Progo and has now spread into many other areas in the DIY province. Slawatan in Ganjuran has a unique history, that it was developed in the 1980s in order to support the implementation of P4. However, since the collapse of the New Order Regime in 1998, slawatan has been transformed to become part of the Catholic religious ritual. The transformation had been guided by Promasan Catholic community, among others, Yosef Kartoiyono. There are many important values that contributed to the continuation of the Catholic slawatan in the Mulyodadi Lor: as a communication medium; as a consolidation medium for the religious community; as a prayer medium; as a medium for moral teachings; and as a medium for self actualization through art. The Council of Ganjuran Parish had developed policy on the inculturation of slawatan, which are: terbangan music, in terms of lyrics and arrangement, has to be in accordance with living values, as prescribed by the Church; that the presence of the music should not negatively affect the understanding of faith; that the presence of the music in the Church could integrate the Church and the local culture. While among the young generation, there are several point of views, in response to the discontinued regeneration of slawatan in Ganjuran Parish, which are: that the young generation do not fully reside in their village; that the use of refined Javanese language was not fully understood by the young generation; that there was a lack of fundamental skills in terbangan musical instruments.
Kata Kunci : Gereja katolik,Inkulturasi,Slawatan katolik