The Logic of Nikah Siri :: A Case Study of The Brokered Nikah Sirri in Rembang, Pasuruan, East Java

MAUFUR, Prof.Dr. Irwan Abdullah

2007 | Tesis | S2 Ilmu Perbandingan Agama

Dalam praktiknya pernikahan dalam Islam tidak bersifat monolotik melainkan bervariasi seperti yang terjadi dalam masyarakat Muslim. Dalam konteks Indonesia modern, salah satu alternative pernikahan bagi Muslim adalah nikah sirri atau nikah informal. Tesis ini berusaha meneliti praktik nikah sirri di suatu daerah bernama Rembang, Pasuruan Jawa Timur di mana praktik pernikahan ini banyak terjadi. Penelitian akan difokuskan pada varian-varian nikah sirri yang ada di sana seperti Poligami dan “Nikah Gantung”. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah kenapa masyarakat Rembang secara sosia menerima dan mempraktekkan Nikah Sirri dengan pelbagai variannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, pendekatan yang dipakai adalah teori teori praktik-nya Bourdie sedikit juga meminjam teori intersubjective meaning seperti yang dikembangkan oleh Berger dan Luckmann. Bagi masyarakat Rembang, nikah sirri merupakan suatu hal yang lumrah dan karena ini pula daerah ini dikenal dengan sebutan “Daerah Nikah Sirri”. Uniknya, nikah sirri di Rembang melibatkan sebuah jaringan yang terdiri dari kyaenah (pengakad), makelar, informan, dan perangkat desan sebagai pihak keamanan. Berbeda dengan nikah sirri di daerah lain, nikah sirri di Rembang juga memiliki varian khasnya tersendiri, yaitu “nikah kontrak”, artinya pernikahan akan berakhir setelah beberapa bulan. Dalam kasus ini, seperti ada kesepakatan tak tertulis bahwa mereka melakukan nikah sirri hanya untuk beberapa waktu saja. Bagi masyarakat Rembang, praktik ini memperoleh pembenaran secara agama dalam ta’liq talaq yang selalu dilibatkan dalam setiap akad nikah sirri. Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa para pemimpin keagamaan (kyai) memiliki andil besar dalam proses produksi dan reproduksi nikah sirri di Rembang. Kesamaan antara habitus masyarakat awam dan habitus kelompok dominant (kyai) membuat Nikah Sirri menjadi praktik yang tidak dipersoalkan dalam masyarakat Rembang dan malah dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik. Di sini ada pertukaran modal antara para pelaku nikah sirri dan jaringan yang terlibat di dalamnya. Kyaenah, yang berperan sebagai makelar sekaligus pengakad dalam nikah sirri dengan sengaja memanfaatkan doktrin fiqh tentang pernikahan untuk menarik keuntungan ekonomi dengan perantaraan nikah sirri. Faktor-faktor seperti kesulitan ekonomi, sosial-keagamaan, dan diamnya pemerintah setempat juga menjadi salah satu penyebab kenapa nikah sirri diterima taken for granted oleh masyarakat Rembang.

In practice, Islamic marriage is not monolithic but it consists of different types as found in many parts of Islamic societies. One alternative form of Muslim marriage attracting notice in contemporary Indonesia is the so-called nikah sirri, i.e. informal marriage. This thesis attempts to examine the brokered nikah sirri in Rembang, one region in East Java, Indonesia where it has become prevalent. Particular attention will be paid to the network of marriage brokerage as well as its typical variants, such as polygamy, polyandry and “temporary marriage”. This thesis tries to examine the question of how and why the people in Rembang practice the brokered nikah sirri, irrespective of the fact that it invites some unwanted implications to them. To answer the research question above, the approach used in this thesis is mainly based on the concept of inter-subjective meaning of the action and Bourdieu’s theory of practice, the latter of which dominantly is taken into account. While the Weber’s approach is opted in order to know the motives of the nikah sirri in general, i.e. the subjective meaning of the practice, Bourdieu’s theory is used in order to find out how the brokered nikah sirri, the modified form of nikah sirri, is produced and reproduced. The relations between the cognitive and objective structures of the practice is hoped to be able to answer the research question above. The main finding of this thesis is that religious leaders are playing greater roles in the production and reproduction of the brokered nikah sirri. The religious habitus of the people, which is the habitus of the dominant group, i.e. the religious leaders, dispose the people to prefer nikah sirri as their social practice. The brokered form of nikah sirri is the product of this religious habitus and the exchange of capital operating in the field of nikah sirri. The kyaenah, who is at the same time the matchmaker or the broker, turned the social, cultural and symbolic capital they have into economic ones. On the other side, the laity, the dominated group misrecognizes the practice as beyond the value of the market due the homogeneity of their habitus with the religious leaders. Pesantren, family and social education play their roles as the means of production and reproduction in which they produce and strengthen the religious habitus of the people which is the habitus of the religious leaders itself. The reproduction of brokered nikah sirri is mainly taking the discourse as the means of maintaining the practice. The legitimate discourse around the practice, such as “nikah sirri sah secara agama” or “lebih baik nikah sirri daripada berzina” represents the people’s cognitive understanding of the practice, which is in turn the product of the domination of the religious leaders in the field of marriage. Consequently, rather than challenging the status quo, the dominated group or class take the practice as “a natural order of things”.

Kata Kunci : Nikah Siri,Pemakelaran,Kyaenah, Brokered Nikah Sirri, Kyaenah, habitus