Laporkan Masalah

Eksistensi pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia dan perlindungan hukum yang diberikannya terhadap wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak

ERITA, Santi, Prof.Dr. Siti Ismijati Jenie, SH.,CN

2007 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Magister Kenotariatan)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status pengadilan pajak yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2002, menganalisis eksistensi pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia dan perlindungan hukum yang diberikannya terhadap wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak. Penelitia n ini merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan. Untuk menunjang dan melengkapi data yang diperlukan, dilakukan pula penelitian lapangan. Data yang diperoleh adalah data sekunder yang dilengkapi dengan data primer. Data primer, didapatkan melalui penelitian lapangan dengan cara wawancara dengan responden dan nara sumber, sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengadilan pajak telah memenuhi unsur-unsur peradilan administrasi murni yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro. Selanjutnya, mengingat pengadilan pajak dibentuk dengan UU khusus yaitu UU Nomor 14 Tahun 2002 dan merupakan badan yang mandiri, dalam arti terpisah dari pihak yang bersengketa, maka pengadilan pajak dapat dikatakan peradilan administrasi murni “tertentu” dan “terpisah”. Menyikapi kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia, yang dijelaskan hanya dengan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Pasal 9A UU Nomor 9 Tahun 2004, relatif diragukan legitimasinya, mengingat pendapat Seomitro yang menyatakan bahwa penjelasan suatu UU tidak memiliki kekuatan mengikat. Selanjutnya, mencermati bagian “mengingat” dan Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 2002, jelas dinyatakan UU Pengadilan Pajak telah merujuk kepada UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman, realitanya Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadilan Pajak menyalahi ketentuan satu atap yang diamanatkan UU Kekuasaan Kehakiman. Dielimirnya upaya hukum kasasi dan kewajiban pelunasan 50% utang pajak sebagai persyaratan formal pengajuan banding, bukti lain akan ketidakkonsistenan UU Nomor 14 Tahun 2002 dengan UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman. Pengaturan kewajiban pelunasan 50% utang pajak sebagai persyaratan pengajuan banding di pengadilan pajak (Pasal 36 ayat (4)) yang tidak diikuti oleh klausul force majeur, jelas telah menghambat kesempatan bagi wajib pajak dalam mencari keadilan di pengadilan pajak, mengingat hakim pengadilan pajak rata-rata bukan sarjana hukum, sehingga pola berpikir mereka cenderung legalistik-positivistik, terbukti dari kasus yang telah peneliti paparkan.

The research aims to study the status of the tax court which was established based on the Act No. 14/2002, to analyze its position in the Indonesia’s judicial system and to study its legal protection for subject of tax in a tax dispute settlement. The research is a juridical normative research, i.e., applying method of approach that focuses on library research and conducting field research to support and complete data. Primary data were obtained from interview with respondents and resource persons, while secondary data were from the study on primary, secondary and tertiary legal materials from library research. The research result show that the tax court has fulfilled the elements of pure administrative judiciary proposed by Rochmat Soemitro. In regards that it was astablished based on a particular act, i.e. the Act No. 14/2002 and tha t it becomes an independent body which is separated from the parties in dispute, this court falls into a category of a separate, independent judiciary of pure administration. In response to the position of tax court in the Indonesia’s judicial system, in which it is stipulated only in the auxiliary of article 15 items (1) of the Act on Justice Authority and the auxiliary of article 9A of the Act No. 9/2004, the research considers that the court lacks legitimacy as according to Soemitro’s argument, any auxiliary of the laws has no binding force. From tha analysis on the section of “consideration” and article 2 of the Act No. 14/2002, the research finds that the Act on Tax Court explicitly states that it has reffered to the 1945 Constitution and the Act on Justice Authority, thus, the reality of article 5 items (1) and (2) of the Act on Tax Court is against the regulation of integrated service as mandated by the Act on Justice Authority. The elimination of an attempt for appeal and obligation for 50% pay off to tax debt as a formal requirement for an appeal presents another evidence of the inconsistency of the Act No. 14/2002 toward the 1945 Constitution and the Act on Justice Authority. The requirement of 50% pay off to tax debt as a formal requirement for an appeal at the tax court ( Article 36 item (4)) which is not accompanied with a clause of force majeur has clearly prevented any attempt by subject of tax in getting justice through the tax court. As the juries in the tax court are mostly not law school graduates, their way of thinking tends to be legalistic-positivistic as it is evident from the research.

Kata Kunci : Peradilan Administrasi,Pengadilan Pajak,Sengketa Pajak, tax court, pengadilan pajak


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.