Laporkan Masalah

Pengelolaan kota yang bermasalah :: Studi kasus Kota Banjarmasin

FRIANADY, Herri, Ir. Sudaryono, M.Eng.,Ph.D

2007 | Tesis | Magister Perencanaan Kota dan Daerah

Kota Banjarmasin pada Tahun 2006 mendapat predikat sebagai kota besar terkotor versi Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada Program Adipura. Program Adipura bertujuan untuk mendorong pemerintah daerah dan masyarakat mewujudkan kota “bersih dan teduh” dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. Penelitian ini mempertanyakan tentang pengelolaan lingkungan di Banjarmasin dan mengidentifikasi faktor-faktor penting yang menyebabkan Kota Banjarmasin menyandang predikat kota terkotor. Penelitian ini menggunakan metode induktif kualitatif dengan paradigma fenomenologik. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, didapatkan beberapa kasus yang mengemuka. Dari kasus-kasus ini dikumpulkan unit-unit informasi yang membentuk kata kunci. Kata kunci yang jenuh diangkat menjadi tema-tema temuan. Tema-tema ini kemudian menghasilkan dua konsep yang merupakan faktor penyebab Kota Banjarmasin mendapat berpredikat kota terkotor. Faktor-faktor itu adalah: (1) pengelolaan kota yang lemah; dan (2) kurangnya partisipasi dan kepedulian warga kota. Sedangkan indikator penyebab Kota Banjarmasin menjadi kotor adalah meliputi: (1) sampah yang tidak dikelola dengan baik; (2) sungai yang kotor dan tidak berfungsi; (3) pasar yang kotor; (4) lalulintas kota kurang teratur; (5) pengelolaan jalan yang lemah; (6) rumah-rumah yang cenderung kumuh di pinggiran sungai; (7) ruang publik yang kurang nyaman dan tidak representatif; serta (8) drainase yang tidak berfungsi dan kotor.

In 2006 through a Programme called Adipura, Banjarmasin municipality was regarded as the most dirty city by the Ministry of Environment. The programme is meant to boost the people and local government to cooperate in creating “clean and green” city by implementing the principles of Good Governance. The purpose of the study is to question the environmental management in this city and to identity factors behind the awarding of the most dirty city for Banjarmasin. Qualitative inductive method is applied in this research along with the phenomenological paradigm approach. Interviews and observations are used to collect data and information. Information units are derived from keywords. Those keywords are then formulated into themes. These themes, then analized and resulted into two concepts, explaining the reasons why Banjarmasin is considered as he dirtiest city. The two factors are: (1) bad city management ; and (2) the lack of people participation. Several indicators caused such bad performance includes (1) bad management of garbage; (2) polluted river; (3) dirty and messy markets; (4) disorganized city traffic; (5) bad management of streets; (6) the slum area along the river basin; (7) uncomfortable and unrepresentative public area, and (8) the badly used drainage.

Kata Kunci : Pengelolaan Kota,Kebersihan,Program Adipura,City Management, Adipura Programme, Dirty City, People Participation


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.