Laporkan Masalah

Ketika negara merampas :: Konflik hak pemilikan Goa Sarang Burung Walet di Merapun Berau Kalimantan Timur

KUSUMAWATI, Rini, Dr. Suharko

2006 | Tesis | S2 Sosiologi

Fokus dari penelitian ini adalah konflik hak kepemilikan atas goa sarang burung walet di Merapun. Kerangka berpikir yang saya kembangkan berdasarkan teori konflik dan hak kepemilikan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode etnografi dengan pengumpulan data primer melalui pengamatan dan wawancara tidak terstruktur selama 3 bulan di Merapun. Data sekunder terkumpul dari sumber-sumber yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan. Goa sarang burung walet tersebar di wilayah pegunungan kapung yang banyak terdapat di sekitar Kampung Merapun. Sarang walet merupakan salah satu penunjang utama perekonomian bagi penduduk di Kampung Merapun. Pekerjaan yang berhubungan dengan pemanenan sarang burung walet ini merupakan kegiatan musiman yang memberikan pendapatan yang tidak sedikit bagi sebagian besar penduduk Kampung Merapun. Ketika musim panen sarang burung walet tiba, sebagian besar lelaki ‘menghilang’ dari kampung. Sebagian besar pergi ke ke goa untuk bekerja sebagai pemanjat, pelangsir, tukang masak, pemungut sarang atau penjaga goa. Beberapa lagi akan menyewakan ketintingnya untuk mengantar atau menjemput para pekerja sarang. Sesudah proses pemanenan selesai dan gaji diterima, mereka pergi ke kota dengan berombongan untuk bersenang-senang dan menghabiskan uang hasil jerih payah mereka hanya dalam waktu beberapa malam. Secara umum ada 4 kelompok pemangku kepentingan yang memiliki ijin hak pengelolaan goa sarang burung walet di goa-goa alam yang berada di sekitar wilayah Merapun: (1) penemu goa yang otomatis berhak untuk melakukan pengelolaan selama beberapa waktu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemda; (2) pewaris goa sarang burung; (3) pihak yang mendapat pengalihan hak dari kelompok 1 atau 2; (4) pihak yang mendapat hak pengelolaan dari Pemerintah Pusat. Ketiga kelompok pemangku kepentingan yang pertama beroperasi di bawah paying hukum Pemerintah Daerah. Beragamnya pemangku kepentingan dan perbedaan kerangka hukum yang menjadi acuan mereka mendasari konflik atas goa sarang burung yang terjadi di Merapun. Setiap pemangku kepentingan memiliki persepsi dan interpretasi yang berbeda terhadap hak dan kewajiban yang mereka miliki. Hasil akhirnya adalah pertentangan tanpa akhir antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atas siapa yang lebih berhak untuk menerbitkan peraturan pengelolaan dan memberikan ijin pengelolaan goa sarang burung walet. Di Merapun, hal ini terwujud menjadi konflik multi dimensi yang melibatkan pemerintah, pusat dan daerah, serta para pemangku kepentingan tersebut di atas.

This thesis is about the conflict over bird nest cave property rights in Merapun, Berau, East Kalimantan. The analytical framework used in this thesis is conflict and property rights theory. The field research methods include village ethnography, participant observation over the period of three months in the village of Merapun, as well as the analysis of secondary data from published and unpublished sources. The bird nest caves are dispersed throughout Merapun territory, particularly in Karsts Mountains that dominate the area. Edible bird nests are one of the major sources of income for the Merapun community. The harvesting of bird nests is a seasonal occupation that contributes substantial income to the village economy. The bird nests are harvested three times a year. Every time the harvest is about to begin, most males disappear form the village. Some go to the caves where they work as pemanjat, pelangsir, tukang masak, pemungut sarang or security. Others provide transport to remote locations where the caves are located. Once the harvest is over, the village men go to town in groups to enjoy themselves and to spend the money they earned. There are four stake-holders with legal rights to access and manage bird nest cave in Merapun: (1) people who have found the caves in the forest. They gain the automatic right from the district government to manage the caves for a limited period of time; (2) people who have inherited caves based on adat regulations; (3) those who have acquired the rights to manage bird nest caves from number 1 and 2 above; (4) those who obtained the permit from the central government to manage the bird nest caves. The first three stake-holders operate under the legal umbrella of the district government. The diversity of stake-holders and different legal frameworks to which they refer underlies the conflict over bird nest caves in Merapun. Each stake-holder has different perception and interpretation of the rights and responsibilities. The end result is an unending dispute between the district and central government over the priority and precedence of permits and relevant regulations. In Merapun, this translates into a simmering multi-dimensional conflict involving both government as well as stake-holders 1, 2, 3, 4 above that can turn violent.

Kata Kunci : Konflik,Hak Kepemilikan,Goa Sarang Burung Walet, conflict, property rights, bird nest cave


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.