Laporkan Masalah

Penyelesaian sengketa hutang piutang melalui proses mediasi

ADNYANA, IB. Ngurah, Prof.Dr. Nindyo Pramono, SH.,MS

2006 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Magister Hukum Bisnis)

Kesepakatan perdamaian melaului mediasi di pengadilan dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak (Pasal 11 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003). Kesepakatan perdamaian ini dapat juga disebut sebagai perjanjian perdamaian yang tentu saja tetap mengacu pada Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata ketentuan mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian dan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ketentuan mengenai akibat suatu perjanjian bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Berdasarkan penguraian di atas, maka perdamaian yang dihasilkan melalui proses mediasi adalah mengikat secara hukum baik perdamaian yang dilakukan melalui akta perdamaian maupun perdamaian yang dilakukan melalui pencabulan gugatan. Meskipun kedua mekanisme perdamaian tersebut sama-sama mengikat secara hukum, akan tetapi ada satu hal yang membedakan. Perbedaannya adalah jika perdamaian dilakukan melalui penetapan akta perdamaian, maka tidak dapat dilakukan upaya hukum lain sesuai Pasal 130 Ayat (3) HIR; sedangkan jika perdamaian dilakukan melalui pencabutan gugatan, maka masih dapat dilakukan upaya hukum lain yaitu berupa gugatan terhadap pihak yang tidak memenuhi kesepakatan yang dihasilkan melalui mediasi atas dasar wanprestasi (kelalaian). Secara teori dalam pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menghasilkan kesepakatan para pihak yang dirumuskan secara tertulis dalam akta perdamaian mempunyai daya paksa dalam pelaksanaannya kekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan. Dengan demikian Akta Perdamaian yang dibuat melalui proses mdiasi di pengadilan memiliki kekuatan pembuktian terhadap pihak ke tiga.

Act of reconciliation throught mediation in the Court is made in written form and igned by the parties (Article 11 item (1) of the Supreme Court Regulationa No. 2/2003). The act is also called agreement of reconciliation, which still has to refer to Article 1320 of the Code of Civil Law on the requirements for the legitimacy of agreement and Article 138 of the Code of Civil Law on the Concequence of Agreement in that any agreement made in legal manner should apply asa the law that binds all the signing parties, be irrevocable, and be implemented with good will. Based on this background, a reconciliation reached thought mediation should bind both the recoddnition written in an of reconciliation and the recognition throught withdrawal of lawsuit. There is one difference althrough both mechanisms of reconciliation are equally legally binding. The differences is that when the reconcilitaion is archieved throught an act of reconciliation, there should be no other legal measure is still possible, i,e, suit of negigence againts the party who does not abide by the agreement reached throught mediation. Theoretically, Article 2 of the Supreme Court Regulation No. 2/2003 on the Mediation Procedure in the Court has given a legal force to reconciliation among the parties formulated in a written form as an act od rconciliation, equal to that of Chourt has a legal force for authentication against the third party.

Kata Kunci : Hukum Dalam Bisnis, Sengketa Hutang, Mediasi, Mediation, Civil Law, Act of Reconcilition

  1. S2-PAS-2006-Ida_Bagus_Ngurah_Adnyana-Abstract.pdf  
  2. S2-PAS-2006-Ida_Bagus_Ngurah_Adnyana-Bibliography.pdf  
  3. S2-PAS-2006-Ida_Bagus_Ngurah_Adnyana-TableofContent.pdf  
  4. S2-PAS-2006-Ida_Bagus_Ngurah_Adnyana-Title.pdf