Makna Pura Besakih dan pengaruhnya terhadap nilai-nilai budaya masyarakat Hindu Bali
MINSARWATI, Wisnu, Promotor Prof.Dr. H. Lasiyo, MA.,MM
2005 | Disertasi | S3 Ilmu FilsafatPulau Bali dikenal dengan sebutan pulau seribu dewa yang sebagian besar masyarakatnya menganut Agama Hindu. Keunikan budayanya tercermin dalam kehidupan sosial religius dan adat-istiadat yang menyatu sebagai suatu perilaku kehidupan masyarakat. Dalam lingkup masyarakat Agama Hindu di Bali terdapat suatu bangunan sebagai lambang pemersatu yang memiliki makna yang luas dalam kehidupan mereka berupa Pura Besakih. Keberadaan fisik pura ini bukan sekedar tempat ibadah terbesar yang ada di pulau Bali, tetapi juga memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung yang dianggap memiliki suatu kekuatan gaib yang harus disembah dan dilestarikan. Dinamika perkembangan budaya masyarakat ternyata mempengaruhi nilai-nilai budaya dalam melaksanakan kegiatan ritual memaknai Pura Besakih dalam kehidupannya, sehingga peneliti tertarik untuk menelitinya. Dalam penelitian ini yang dijadikan objek penelitian adalah Pura Besakih dalam kaitannya dengan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Adapun metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian berupa : metode deskripsi digunakan untuk mengungkapkan objek materi Pura Besakih dengan segala aktivitas ritual di dalamnya, metode historis digunakan untuk menganalisis fakta yang berkaitan dengan objek penelitian menurut perkembangan waktu, metode komparasi digunakan untuk membandingkan berbagai pendapat mengenai makna Pura Besakih, metode interpretasi digunakan untuk menginterpretasikan pendapat mengenai nilai-nilai budaya masyarakat kaitannya dengan makna pura, metode hermeneutik digunakan untuk memahami arti yang terkandung dalam makna Pura Besakih dan nilai-nilai budaya masyarakat Hindu. Penggunaan metode tersebut didukung dengan beberapa pendekatan yang antara lain : Pendekatan fenomenologi budaya bertujuan untuk mengkaji fakta-fakta dalam kaitannya Pura Besakih dengan perkembangan nilai-nilai budaya masyarakat. Pendekatan diakronik yaitu mengidentifikasi dan menghubungkan perkembangan budaya sesuai dengan dimensi waktunya. Pendekatan sosiologi yaitu suatu pendekatan dengan memahami masyarakat dari aspek budaya dalam memaknai Pura Besakih. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung sebagai tempat ibadah untuk menyembah dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai stana dewa tertinggi. Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut semua aktivitas kegiatan yang selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu. Dalam budaya masyarakat Hindu di Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-sejarah, dan masa Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga mempengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingkah laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu-kesatuan dalam ajaran Agama Hindu di Bali. Berdasarkan hasil kajian filsafat terhadap makna Pura Besakih dalam kaitannya dengan ketiga ajaran tersebut di atas, maka ditemukan tiga aspek yang terkait berupa : Aspek Ontologi, bahwa dalam ajaran Hindu Bali mengenal kepercayaan yang secara bertingkat antara lain : Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), Dewa-dewi, Roh-roh leluhur dan kepercayaan pada Panca Mahabhuta. Aspek Epistemologi ditemukan bahwa perkembangan kebudayaan sesuai dengan strategi kebudayaan yaitu pada tingkat mitis, tingkat ontologi, dan tingkat fungsional. Aspek Aksiologi, bahwa makna Pura Besakih relevansinya dengan ajaran Agama Hindu terdapat nilai-nilai yang baik dan benar yang harus dijalankan berupa nilai religius tentang konsep ketuhanan yang mengakui bahwa Tuhan satu dan disembah dari mana-mana sebagai inti ajaran Tattwa. Nilai epistemologi dan nilai etika berkaitan dengan pelaksanaan upacara yang harus dilakukan dengan proses yang baik dan benar sesuai dengan aturan ajaran Agama Hindu. Nilai estetis religius dalam memaknai bangunan fisik Pura Besakih yang diatur sedemikian rupa dalam penataan arsitektur yang indah dan terstruktur mengikuti kaidah ajaran Agama Hindu yang di dalamnya melambangkan berbagai simbol kebudayaan sosial religius. Nilai estetis bukan hanya diketemukan dari bangunan Pura Besakih yang megah dengan dihiasi seni iconografi, tetapi juga diketemukan dalam pelaksanaan upacara di Pura Besakih dalam bentuk seni Bebanten pada waktu melakukan persembahan berupa yajnya dan tari-tarian yang sakral maupun yang profan yang diselenggarakan pada pelaksanaan ritual upacara. Dengan demikian maka Pura Besakih dalam masyarakat Bali memiliki keterkaitan yang sangat erat antara adat-istiadat dan budaya yang didasari pada nilai-nilai ajaran agama Hindu sebagai satu-kesatuan sistem sosial budaya masyarakat Bali yang bersifat sosial religius.
Bali has long been known as the island of a thousand gods which most of its people are Hindus. The culture's unique reflected within the social religious and traditions embedded in the peoples' daily life. Within the Hindus community in Bali there is a building - a temple that has the strongest influence for them which is known as Pura Besakih. The physical existence of this building is not merely as a the biggest religious temple in the island but also recognized along with the mountain behind it Gunung Agung, which is still believed to have strong powerful supranatural energy that is to be preserved and worshipped. The dynamic of society' cultural development has indeed driven the values of the culture itself. Which is why the writer is interested to examine them. In this research the object is Pura Besakih which lies in Karangasem regency in the province of Bali, especially within the context of the peoples' socio-culture. The methods applied to examine Pura Besakih with its ritual activities within it, is descriptive methods; while historical methods is applied to analyze the fact related to the object in regarding with time range. Comparative method is used to compare various opinions upon Pura Besakih; interpretation method is applied to interpret opinions societys's values in relation to the mean of temple, while the hermeneutic method is employed to understand the meaning inside Pura Besakih and the values of Hindus culture. The employment of such methods supported by several other approach i.e. cultural phenomenology is aimed to study facts upon the existence of Pura Besakih with the development of society's cultural values. Diacronic approach is to identify and relating the cultural development by understanding the community from the cultural aspect. The research shows that back ground of the existence of physical aspect of Pura Besakih in the slope of Gunung Agung as a temple for worshipping God, which the mountain was concept as the highest god's palace. On the functional stage the people of Bali found itself as homo religious and posses a culture that is socioreligious in nature that the culture related to all activities that always depend upon the doctrine of Hindu. In Hindu's culture of those Balinese, Pura Besakih is also identified as the part of social culture of Bali since prehistoric and historic era which had been influenced by the change of the developing cultural elements that in turn gives influence changes on the form of ideas culture, activities culture and material culture. Those changes is related to the Tattwa doctrine upon the concept of God, the concept of manners which rules on how the Hindus should behave, and the doctrine of Ceremony which rules the worshipping ritual activities, that put the three as a unity of doctrine in the Hindu religion of Bali. According to the philosophic study upon the meaning of Pura Besakih there were found three integrated aspect : Ontology that described the Hindu's doctrine of leveled beliefs : Sang Hyang Widi Wasa (the One God), gods and goddesses, the ancient spirits and the beliefs of Panca Mahabhuta. Epistemology aspect shows that the culture development is in accordance to the culture strategy that is on the mystical, ontology and functional level. Axiology aspect shows that the relevance of Pura Besakih with the Hindu doctrine had formed good and right values i.e. the religious value of god's concept admitting that God is one and worshipped from everywhere as the core of Tattwa doctrine. Epistemology and ethic value are closely related to the ceremonies done with good and right process according to the Hindus doctrine. The religious aesthetic value in identifying the physical aspect of Pura Besakih arranged in such way of beautiful and structured architecture following the rules of Hindu doctrine which reflecting various symbols of social-religious culture. Aesthetic value can be found not only from the vast building of Pura Besakih with its iconic ornaments, but can also be found in the way of ceremonies like the Bebanten art carried out during worship known as yajnya and other sacred and profound dances during the ceremonies. Pura Besakih indeed has the relationship between tradition and culture based upon Hindus values as a unity of socio-culture system inside Balinese community that is socio-religious in nature.
Kata Kunci : Masyarakat Hindu Bali,Nilai,nilai Budaya,Pura Besakih