Laporkan Masalah

Krontjong Toegoe sejarah kehadiran komunitas dan musiknya di Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara

GANAP, Victorius, Promotor Prof.Dr. R.M. Soedarsono

2006 | Disertasi | S3 Ilmu Budaya (Pengkajian Seni Pertunjukan dan Se

Pada tahun 1513 kapal-kapal Portugis datang dan membuang sauh di lepas pantai Sunda Kalapa dalam pelayaran mereka dari Malaka menuju Maluku untuk mendapatkan rempah-rempah. Persinggahan itu menandai dimulainya muhibah antara bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa. Sejak tahun 1511 Malaka memang telah diduduki Portugis, namun pada tahun 1641 armada Belanda berhasil merebut Malaka dari tangan mereka. Meski kehadiran Portugis di Asia Tenggara dapat dikatakan relatif singkat, sejarah Batavia mencatat keberadaan kelompok mardijkers, laskar Portugis asal Bengali dan Coromandel di Malaka yang ditawan oleh VOC sebelum kemudian dimerdekakan sebagai mardijkers. Selanjutnya pada abad ke-19 kelompok mardijkers itu membubarkan diri dan membaur dengan masyarakat Batavia pada umumnya. Disertasi ini bertujuan meneliti tentang sebuah komunitas Kristiani yang berada di Kampung Tugu, Jakarta Utara, yang telah mampu bertahan hidup bersama peninggalan musik Portugis yang dikenal sebagai Krontjong Toegoe. Pendapat yang berkembang selama ini mengatakan komunitas itu berasal dari kelompok mardijkers di Batavia. Namun penelitian disertasi ini menemukan bukti lain, bahwa komunitas Tugu adalah keturunan dari sekelompok laskar laut Portugis asal Goa yang melarikan diri dari Maluku bersama keluarga mereka asal Pulau Banda, dan terdampar di pantai Cilincing. Mereka ditangkap oleh VOC dan pada tahun 1661 dibuang ke Kampung Tugu. Mereka merupakan leluhur komunitas Tugu yang mewarisi budaya Portugis dari abad ke-16. Akibat terisolasi dari kehidupan kota, mereka mengusir kesepian dengan bermain musik dan menyanyikan lagu-lagu Portugis. Musik mereka kemudian menjadi cikal bakal genre musikal Krontjong Toegoe, dengan karakteristik sebagai musik yang mengiringi kelompok penyanyi dengan gaya yang spontan dan bersahaja tanpa ornamentasi dan vibrato. Genre itu juga memiliki pembawaan ekspresi yang spontan dalam bernyanyi. Lagu Moresco dan Cafrinho memperlihatkan pengaruh Portugis asal Moor dan Afrika. Adapun iringan musiknya terdiri dari tiga gitar kecil buatan sendiri, yaitu prounga berukuran agak besar, macina berukuran sedang, dan jitera berukuran paling kecil. Musik keroncong diyakini telah dilahirkan di Kampung Tugu sejak lebih dari tiga abad yang lalu. Namun kegiatannya tercatat untuk pertama kali ketika mereka mendirikan orkes keroncong Moresco Toegoe pada tahun 1925. Mereka percaya bahwa dengan melestarikan musik keroncong yang diwariskan kepada mereka, itu merupakan penghormatan terhadap para leluhur. UNESCO pada tahun 1971 kemudian memproduksi piringan hitam permainan OK Moresco Toegoe yang dipimpin oleh Jacobus Quiko dengan repertoar antara lain lagu-lagu dari masa Hindia Belanda, seperti Oud Batavia dan Schoon ver van jou. Mereka juga sejak tahun 1989 telah acap kali diundang mengadakan pertunjukan musik keroncong pada Pasar Malam Tong Tong di Den Haag, Negeri Belanda. Meski musik Krontjong Toegoe diyakini berasal dari Portugal, penelitian ini mengatakan bahwa Krontjong Toegoe adalah sebuah musik hibrida, campuran dari berbagai budaya Barat dan non-Barat yang membaur membentuk sebuah sintesis musikal yang unik. Komunitas Tugu boleh saja menganggap bahwa mereka adalah keturunan Portugis, namun pada kenyataannya mereka telah bercampur dengan kelompok etnik lainnya, meniru gaya hidup orang Belanda, dan sebagian dari mereka adalah keturunan Indo-Belanda. Betapapun juga, Krontjong Toegoe adalah cikal bakal dari musik keroncong sebagai salah satu aliran besar musik Indonesia, yang telah diterima dan menjadi milik bangsa Indonesia. Komunitas Tugu memang hidup tidak terpisahkan dari musik, karena menurut tradisi mereka setiap anggota komunitas Tugu disyaratkan mengenal musik keroncong. Itu sebabnya dengan semangat yang mereka miliki secara turun-temurun, kehidupan musik Krontjong Toegoe diyakini akan langgeng selamanya.

First European encounter in Java is believed to have begun when the Portuguese in 1513 anchored their ships at Sunda Kalapa, on their voyage from Malacca to Maluku in search of spices. Since 1511 Malacca has been controlled under Portuguese forces, before later in 1641 the Dutch fleet took over Malacca from them. Though only shortlived, however, Portuguese sojourn in Southeast Asia has determined the existence of creoles people, including the mardijkers in Batavia. They were the Bengali and Coromandel origins Portuguese mercenaries in Malacca that taken to Batavia by the Dutch as warprisoners before then being freed from slavery as mardijkers. Later in nineteenth century, the mardijkers people dissolved their group and assimilated themselves into Batavia urban community. This dissertation aims to investigate the existence of a minor Christian community today in Tugu village within The Municipality of North Jakarta, who had significantly managed to maintain a survival through their Portuguese musical heritages, known as Krontjong Toegoe. The community was considered to have originated from mardijkers people in Batavia, however, the investigation implied that the community was descended from a group of Goa origin Portuguese navy with their Banda Islander spouses who have their ship wrecked at Cilincing offshore, before then being driven by the Dutch to settledown in Tugu village in 1661. They were the forefathers of Tugu community, who inherited the first batch of sixteenth century Portuguese culture. Having been isolated from the urban life, Tugu village community started to play music and sing the Portuguese songs. Their music then has given birth to a musical genre of Krontjong Toegoe, encompassed its characteristic as the art of accompaniment, spontaneity and modesty to singing in group without elaborated vibrato. Moresco and Cafrinho that sung by the ensemble in Tugu has shown a strong Portuguese influence of Moorish and African origins. The ensemble itself consisted of three types of local-made small guitars such as, prounga, macina, and jitera. Keroncong music is reported to have been played in Tugu village for the past over three centuries. However, their activity was for the first time observed when Tugu community organised the ensemble of Moresco Toegoe in 1925. They believed that by preserving the keroncong music bequeathed to them, they have paid in return a tribute to their ancestors. Later in 1971, UNESCO produced the record of Moresco Toegoe ensemble directed by Jacobus Quiko, performing among others some Dutch songs Oud Batavia and Schoon ver van jou from the olden times of Nederlandsch Indies repertoires. Since 1989, they have been frequently invited to perform in The Netherlands’ Den Haag International Tong Tong Night Bazaar. Investigation has also implied that despite Portuguese label has been indulged to this musical genre, Krontjong Toegoe is obviously a musical hybrid, a product of encounter amongst various Western and non-Western cultures, that all mixed together to structure an incredible musical synthesis. Tugu community may retain their entrenched myths in Portuguese ancestry, but for more than three centuries they have been engaged to other ethnic groups, deliberately adopted the Dutch way of life, and some may have been Indo-Dutch by birth. Nevertheless, Krontjong Toegoe has been an original form of keroncong music that developed today as one of the Indonesian musical mainstreams, and has comfortably enjoyed nationwide acceptance. Indeed, Tugu community live unseparably from their music, where in accordance to traditional custom, every Tugunese must consequently be familiar with keroncong music. Therefore, with that spirit in mind, the commitment in treasuring their own musical heritage will undoubtedly last forever.

Kata Kunci : Musik Krontjong Toegoe,Komunitas dan Sejarah


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.