Efikasi pemberian Salbutamol melalui IDT + Spaser dibandingkan dengan Nebliser untuk mengatasi asma serangan ringan dan sedang
INDRISARI, Ade, dr. Roni Naning, M.Kes.Sp.AK
2006 | Tesis | PPDS I Ilmu Kesehatan AnakLatar belakang: Asma masih menjadi salah satu penyebab utama datangnya pasien ke rumah sakit dan salah satu alasan tidak masuk sekolah. Angka rawat inap akibat serangan asma meningkat pada dua dekade ini, dan walaupun angka mortalitas tahunan asma telah stabil, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Mengobati bayi dan anak kecil dengan terapi aerosol menimbulkan tantangan yang unik, sehingga peralatan medikasi yang cocok untuk anak-anak kecil terbatas pada alat yang memerlukan keahlian dan kerjasama minimal dengan anak. Dengan demikian nebulizer dan IDT / holding chambers merupakan satu-satunya alat yang cocok digunakan pada anak-anak pada seluruh rentang usia. Pada serangan asma, agonis 2 inhalasi sering diberikan untuk mengatasi bronkospasme melalui nebuliser, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa inhaler dosis terukur dengan spaser sama efektifnya. Di komunitas, penggunaan nebuliser selain lebih mahal juga memerlukan sumber tenaga dari luar dan memerlukan perawatan reguler. Tujuan: Untuk menilai efikasi spaser dibandingkan nebuliser dalam memberikan agonis 2 (salbutamol) untuk asma serangan ringan dan sedang. Metode: Pada uji klinis acak terkendali yang dilakukan pada pasien anak rawat jalan di RSUP. Dr. Sardjito ini, 108 anak yang berusia antara 8 bulan sampai dengan 15 tahun diacak dengan teknik randomisasi stratifikasi dengan blok untuk mendapatkan salbutamol 2,5 mg melalui nebuliser (n=55) atau 600 μg melalui IDT+spaser (n=53). Skor klinis, frekuensi napas, denyut jantung, saturasi oksigen dan peak flow meter (luaran primer) dibandingkan dengan tes-t. Untuk menilai luaran sekunder (efek samping dan biaya) digunakan tes-t untuk variabel kontinyu dan kai kuadrat untuk variabel kategorikal. Pengobatan dapat diulang setiap 20 menit sampai pasien dinilai tidak memerlukan dosis bronkodilator tambahan. Hasil: Skor klinis, frekuensi napas, denyut jantung, temuan auskultasi, saturasi oksigen, dan peak flow meter dicatat pada saat datang, 20 menit setelah setiap pengobatan, dan 60 menit setelah pengobatan terakhir. Karakteristik dasar dan keparahan asma serupa pada kedua kelompok pengobatan. Spaser sama efektifnya dengan nebuliser dalam memperbaiki frekuensi napas, saturasi oksigen, dan peak flow meter namun mengurangi skor klinis secara bermakna (p<0,001). Frekuensi denyut jantung meningkat lebih tinggi pada kelompok nebuliser (11,96/min vs 2,72/min untuk spaser, p<0,001). Metode pemberian obat tampaknya tidak mempengaruhi angka rawat inap dan kejadian tremor pada penelitian ini. Biaya yang dikeluarkan untuk obat pada kelompok nebuliser 3,6 kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok IDT+spaser; 81,3% anak dan orangtua lebih menyukai spaser untuk mengatasi serangan asma. Simpulan: IDT+spaser memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan nebuliser, lebih murah dan disukai dalam mengobati asma serangan ringan dan sedang pada anak-anak usia 0-15 tahun.
Background: Asthma remains the number one cause of admission to the hospital, and the most common cause of missed time from school. Hospital admission rates for acute asthma exacerbations have increased, and although the annual rate of asthma mortality has stabilized, it is still significantly higher than in the past. Treatment children and infant with aerosol is a unique challenge, so treating children with asthma are limited to the medical device that require a minimum of skills and cooperation from the children. Nebulizer and metered-dose inhaler with spacer are the only medical device suitable for children throughout the entire age range. In acute asthma, inhaled K2 agonist are often administered to relieve bronchospasm by wet nebulizers, but some have argued that metered-dose inhalers with holding chamber (spacer) can be equally effective. In community setting nebulisers are more expensive, require an external power source, and need regular maintenance. Objective: To assess the effect of spacer compared to nebulizer for delivery of K2 agonist (salbutamol) for acute asthma (mild and moderate attack). Methods: In this randomized controlled trial set in children outpatient unit of Dr. Sardjito General Hospital, 108 children between 8 months to 15 years of age was randomized by random table using stratified random with 6 block to receive salbutamol 2,5 mg delivered by jet nebulizer (n=55) or 600 μg delivered by metereddose inhaler with spacer (n=53). Clinical score, respiratory rate, heart rate, oxygen saturation and peak flow meter (the primary outcome) were compared with t tests. To assess secondary outcome (side effect and cost) we used t test for continous variables and chi-squared test for categorical variables. Treatment were repeated at 20-minute intervals until the patients was judged to need no further dose of bronchodilator. Results: Clinical score, heart rate, respiratory rate, auscultatory findings, oxygen saturation, and peak flow meter are recorded at baseline, 20 minutes after each treatment, and 60 minutes after the last treatment. Baseline characteristics and asthma severity were similar for the treatment groups. The spacer as effective as nebulizer for respiratory rate, oxygen saturation, dan peak flow meter but produced a greater reduction in clinical score (p<0,001). Heart rate increased to a greater degree in nebulizer group (11,96/min vs 2,72/min for spacer, p<0,001). Method of delivery did not appear to affect hospital admission rates and tremor. The mean cost for drug was 3,6 times higher in nebulizer than spacer group; 81,3% of children and parents preferred the spacer. Conclusion: MDI and spacer combination have some advantages compared to nebulizer and was cost-alternative to nebulizer in the delivery of salbutamol to children age 0-15 years with mild and moderate acute asthma.
Kata Kunci : Asma, Terapi Inhalasi, Efikasi Spaser dan Nebuliser, asthma, children, nebulizer, spacer, salbutamol.