Akibat hukum pemisahan Timor-Timur terhadap perjanjian bilateral Indonesia-Australia mengenai wilayah laut diantara Indonesia, Australia dan Timor Leste
EKON, Yanto Melkianus P, Dr. Marsudi Triatmodjo, SH.,LL.M
2006 | Tesis | S2 Ilmu HukumPemisahan Timor-Timur dari Negara Republik Indonesia secara yuridis menimbulkan akibat hukum internasional. Salah satu akibat hukum yang ditimbulkan adalah akibat hukum terhadap Perjanjian Bilateral yang dibentuk oleh Indonesia dan Australia mengenai lima wilayah laut di antara Indonesia, Australia dan Timor Leste, yakni wilayah Celah Timor, Sunrise, Troubador, Laminaria dan Buffalo. Perjanjian Internasional yang telah dibentuk mengenai ke-lima wilayah laut ini yakni Perjanjian Celah Timor, 11 Desember 1989, Perjanjian Batas Dasar Laut mengenai Laut Timor dan Laut Arafura, 9 Oktober 1972 dan Perjanjian Batas Tertentu Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen, 14 Maret 1997. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang menjadi obyek pembahasan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Akibat Hukum Pemisahan Timor-Timur Terhadap Perjanjian Bilateral Indonesia-Australia mengenai wilayah laut di antara Indonesia, Australia dan Timor Leste? Metode penelitian yang digunakan untuk memecahkan permasalahan ini, menggunakan jenis penelitian normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang dicari berupa norma hukum (das sollen) dan fakta yang berkaitan dengan norma hukum (das sein) dengan menitikberatkan pada sumber data sekunder. Bahan hukum yang dijadikan obyek penelitian adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Hasil penelitian disimpulkan bahwa status yuridis pemisahan Timor-Timur dari Negara Republik Indonesia memenuhi unsur-unsur sebagai bentuk suksesi negara. Sebagai bentuk suksesi negara, pemisahan Timor-Timur menimbulkan tiga akibat hukum terhadap Perjanjian Celah Timor yaitu (i) bukti ketidakabsahan perjanjian yang mengakibatkan perjanjian batal, (ii) bagi Indonesia Perjanjian Celah Timor berakhir karena hukum dan bagi Australia, perlunya perundingan dengan Timor Leste untuk menentukan kelanjutan Perjanjian. Sebaliknya bagi Perjanjian Batas Dasar Laut, 9 Oktober 1972 mengakibatkan perubahan terhadap dasar pembentukan dan penetapan garis batas landas kontinen berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB, 1982, sedangkan bagi Perjanjian Batas ZEE dan Landas Kontinen, 14 Maret 1997 mengakibatkan pembatalan dan perubahan terhadap penetapan titik-titik dasar dan titik-titik batas ZEE antara Indonesia, Australia dan Timor Leste. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis sarankan agar dalam perundingan Tripartiet, Pemerintah Indonesia, Australia dan Timor Leste menetapkan perubahan Perjanjian Batas Dasar Laut, 9 Oktober 1972 dan Perjanjian Batas ZEE dan Landas Kontinen, 14 Maret 1997 sebagai agenda utama perundingan.
East Timor’s separation from the Republic of Indonesia brings International Law consequences. One of the consequences is to the Bilateral Agreement between Indonesia and Australia concerning 5 sea territories among Indonesia, Australia, and Timor Leste, namely Timor Gap, Sunrise, Troubador, Laminaria, and Buffalo. The International Treaty on those 5 sea territories consists of Timor Gap Treaty (11 December 1989), Treaty Establishing Timor Sea and Arafura Sea Bed Boundaries (9 October 1972) and Treaty Establishing Certain Sea Bed Border and Exclusive Zone (14 March 1997) Using the above background, the research addresses issues on the legal consequences from East Timor’s separation from Indonesia toward Indonesia-Australia Bilateral Agreement on sea territories among Indonesia, Australia, and Timor Leste. It applies descriptive and normative approach and collects data on legal norms (dos sollen) as well as facts related to legal norms (das sein) by focusing on secondary data sources. It examines primary, secondary, and tertiary legal materials. The research concludes that the juridical status of East Timor’s separation from Indonesia fulfils the elements of state succession. As a state succession, it brings two legal consequences to the Timor Gap Treaty. They are 1) for Indonesia, the Treaty terminates by the law; for Australia, it requires a new agreement with Timor Leste to decide its continuation. On the other hand, the Treaty Establishing Sea Bed Border (9 October 1972) brings a change to the foundation for the establishment and determination of Sea Bed Borderline according to the UN Sea Convention 1982, while the Treaty Establishing ZEE and Sea Bed Border (14 March 1997 brings revocation and change in the determination of ZEE base nodes and border nodes among Indonesia, Australia, and Timor Leste.
Kata Kunci : Hukum Internasional,Wilayah Negara,Perjanjian Bilateral,Indonesia dan Australia,Timor Timur, Treaty, Economic Exclusif Zone, Continent Shelf