Aristokrasi di era Modern :: Studi tentang pergulatan elit lokal dan masyarakat Tidore terhadap kemunculan kembali Kesultanan Tidore di akhir abad XX
TJAN, Dheni, Drs. Haryanto, MA
2005 | Tesis | S2 Ilmu Politik (Politik Lokal dan Otonomi Daerah)Kesultanan Tidore adalah pemerintahan Aristokrasi berdasarkan kelahiran dan kelas marga atau fola raha, yakni marga Yade, Ake Sahu, Jou Rum, dan Bagus yang memiliki otoritas tradisional memegang jabatan sultan. Wilayah administratifnya terdiri atas : Boldan (kerajaan/negara) dengan pemimpin puncak kolano-sultan, wilayah gam (provinsi) dipimpin sangaji, wilayah gimalaha (setingkat kabupaten) pemimpinnya disebut gimalaha pula, wilayah setingkat kecamatan disebut juga gimalaha dengan pemimpinnya disebut juga gimalaha, wilayah soa (desa) dipimpin famanyira. Dalam perkembangannya, sistem pemerintahan tradisional Tidore mengalami tiga fase perkembangan pemerintahan, yakni: Pemerintahan Momole, Pemerintahan Kolano, Pemerintahan Kolano-Sultan. Secara historis, kesultanan Tidore pernah mengalami kevakuman jabatan sultan pada kurun waktu tertentu dimasa kolonial, dan kevakuman kekuasaan (vacuum of power) terjadi dimasa Orde Baru. Kevakuman itu terjadi sebagai akibat faktor perpecahan internal bangsawan dan hegemoni atau perubahan sosial yang dibawah oleh kolonial dan Indonesia modern. Namuan pada akhir abad XX dan memasuki milenium tiga (1999 hingga saat ini), kesultanan Tidore muncul kembali di atas pentas sosial-kepolitikan lokal. Sejak kemunculanya kembali ditengah arus perubahan sosial (perubahan konstelasi elit lokal dan masyarakat Tidore) saat ini, kesultanan Tidore terbilang menuai beragam respons dari elit lokal dan masyarakat Tidore. Respons itu ditujukan kepada kelembagaan kesultanan, terhadap proses penobatan sultan dan terhadap manuver sultan dan kerabatnya di gelanggang politik dan ekonomi. Respon tersebut dapat diklasifikasi dalam bentuk : Pertama, respon legitimasi; Kedua, respon delegitimasi, yang dibedakan dalam empat tipe, yakni; delegitimasi tradisional, prosedural, personal dan kinerja; Ketiga, respon dalam konteks resistensi, yang dibedakan dalam dua ranah: Resistensi kultural, yaitu resistensi yang disebabkan konsistensi dengan tradisi masa lalu, dan resistensi politik, yang dibedakan dalam enam tipe resistensi, yakni: (a) Resistensi melalui pemberontakan kata-kata; (b) Resistensi melalui sikap tidak loyal atau membangkang; (c) Resistensi melalui sikap tidak bersedia masuk dalam struktur kesultanan; (d) Resistensi melalui sikap apatis dan pura-pura tidak tahu; (e) Resistensi melalui oposisi membentuk struktur tandingan di tingkat soa (desa); (f) Resistensi melalui surat (koresponden). Respon mereka yang pro didasari pada alasan: Pertimbangan tradisi dan kultural, pertimbangan keberlanjutan nilai-nilai adat dan budaya, faktor kevakuman yang pernah terjadi, pertimbangan untuk sebagai perekat masyarakat. Sedangkan alasan mereka yang kontra adalah pertimbangan konsistensi terhadap tradisi dan kultural masa lalu, faktor motif (latar belakang) kemunculan, faktor kekhawatiran dualisme pemerintahan (faktor munculnya negera Indonesia modern), faktor manuver aristokrat di politik dan ekonomi. Faktor manuver di bidang politik dan ekonomi, hemat peneliti sebagai faktor dominan penambah daftar panjang delegitimasi terhadap kemunculan kembali kesultanan Tidore saat ini. Dari studi ini juga diketahui bahwa dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern di Tidore, baik di kota maupun di desa yang semakin jauh dari nilai-nilai feodal, responsfitas positifnya terhadap kesultanan Tidore cenderung memudar. Selain itu penobatan sultan yang dianggap bertentangan dengan tradisi lama yang masih diketahui masyaakat, dan eksistensi kesultanan Tidore saat ini, yang dianggap realtif kurang melaksanakan kegiatan sosial budaya di tingkat lokal, menuai protes atau menstimulus adanya sikap respon delegitimasi dan/atau resistensi dari elit lokal dan masyarakat Tidore.
Sultanate of Tidore was the aristocracy government based on birth and clan class or fola raha, namely clan of Yade, Ake Sahu, Jou Rum and Bagus having traditional authority to hold sultanate position. The administrative area consists of Boldan (the kingdom/state) by leading top of kolano-sultan, gam area (province) led by sangaji, gimalaha area (as same as district) led by gimalaha, sub-district area called gimalaha led by gimalaha, soa area (village) led by famanyira. In its development, the traditional government system of Tidore experienced 3 phases of governmental developments, namely, the governments of Momole, Kolano, and Kolano-Sultan. Historically, the Tidore sultanate ever experienced a sultan position vacuum in certain colonial period, and a vacuum of power took place in the New Order. The vacuum was due to internal problem factors of nobility and hegemony or social changes under colonial and modern Indonesia. However, in the late 20th century and early third millennium, (from 1999 to now), the Tidore sultanate re-appeared in the local social-politic show. From the re-appearance in the middle of social changes (change in the local elite constellation and Tidore society) now, the Tidore sultanate faces many responses from the local elite and society of Tidore. The responses are led to the sultanate institution against the sultan coronation process and sultan maneuver and the relatives in politic and economic show. The responses can be classified into: first, response to legitimacy; second, response to de-legitimacy, classified into 4 types, namely, traditional, procedural, personal and performance de-legitimacy; third, response to resistance context, classified into 2 domains: cultural resistance, resistance caused by consistency with past tradition, and politic resistance, classified into 6 types of resistances, namely, (a) resistance through rebellion against words; (b) resistance through attitude to disobey and violate; (c) resistance through attitude to exclude the sultanate structure; (d) resistance through apathetic attitude and ignorance; (e) resistance through opposition to form opposition structure in the level of soa (village); (f) resistance through letter (correspondence). Their pro responses are based on the following reasons: traditional and cultural consideration, consideration continuous custom and cultural values, factor of vacuum which ever took place, consideration to live with society. Whereas their contra responses are consistency consideration against the past tradition and culture, motive factor (background) of appearance, factor of government dualism worry (factor of modern Indonesia state appearance), aristocracy maneuver factor in the field of politic and economic. The maneuver factor in the field of politic and economic, according to me, are dominant factor of delegitimacy- long list against re-appearance of the current Tidore sultanate. From this study, I also understand that, in traditional and modern society of Tidore, both in urban and rural areas farer from feudal values, the positive responses to Sultanate of Tidore tends to fade. In addition, the opposed sultan coronation against old tradition which has been still known by society and existence of the current Tidore sultanate could be considered to be relatively less to implement the cultural-social activities in the local level, protested or stimulating the presence of de-legitimacy response attitude and/or resistance from the local elites and society of Tidore.
Kata Kunci : Pemerintahan Aristokrasi,Kesultanan Tidore,Konstelasi Elit dan Masyarakat, Social Changes, Elites and Society, Responses, Aristocracy of Tidore