Laporkan Masalah

Konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil di Kecamatan Siantan dan Palmatak Kabupaten Natuna

DARWIN, M, Ir. Kawik Sugiana, M.Eng.,Ph.D

2005 | Tesis | Magister Perencanaan Kota dan Daerah

Mayoritas penduduk Kecamatan Siantan dan Palmatak Kabupaten Natuna berdiam di wilayah pesisir pada 44 pulau dari 150 pulau-pulau kecil yang tersebar Laut Cina Selatan. Kekayaan sumberdaya alam pesisirnya dan anggapan bahwa sumberdaya laut tanpa pemilik (open access property) telah mendorong masuknya pengguna sumberdaya tidak saja nelayan tempatan namun juga dari luar Kabupaten Natuna, seperti dari Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Sumatera dan bahkan dari negara-negara sempadan seperti Thailand dan Vietnam. Masuknya kapal-kapal nelayan luar ini menjadi masalah dan berkembang menjadi konflik berkepanjangan ketika kapal-kapal nelayan luar tersebut memasuki wilayah tangkap nelayan tempatan. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan akar, proses dan intensitas konflik yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil serta upaya penyelesaian konflik yang telah dilakukan. Penelitian dilakukan secara induktif dengan metode kualitatif naturalistik yang berlandaskan paradigma phenomenologi. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat 3 tipologi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kecamatan Siantan dan Palmatak adalah (1) konflik antara sesama nelayan tempatan, (2) konflik antara nelayan tempatan dengan nelayan luar daerah, dan (3) konflik antara nelayan tempatan dengan nelayan asing. Adapun yang menjadi akar konflik adalah pelanggaran wilayah tangkap, perbedaan alat tangkap, penguasaan wilayah tangkap, dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tekong dan/atau anak buah kapal ikan asing terhadap nelayan tempatan. Intensitas konflik sudah sampai pada tahap manifes dengan kekerasan dalam bentuk pembakaran kapal pengebom ikan, kapal ikan asing dan pengancaman dengan bom ikan terhadap nelayan luar daerah. Faktor dominan yang mempengaruhi intensitas konflik adalah penegakan hukum. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik adalah (1) persuasif; pendekatan kekeluargaan terhadap keluarga dan kerabat yang menggunakan bom ikan, potassium dan jaring kelambu, (2) pendekatan hukum; melaporkan pelanggaran penangkapan ikan, menangkap pelaku dan menyerahkan proses hukumnya kepada pihak yang berwenang, dan terakhir (3) represif; menangkap, mendenda pelaku dan menghancurkan perangkat tindakan pelanggaran penangkapan ikan yang terjadi di fishing ground. Nelayan tempatan mempunyai kemampuan untuk mengatasi konflik sesama nelayan tempatan dengan mekanisme lokal yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Misalnya denda terhadap pelaku bom ikan, potassium dan jaring kelambu. Hal ini hanya dapat terlaksana sepanjang tidak dicampuri oleh prilaku korup oknum aparat

Siantan and Palmatak Sub-district of Natuna Regency lying on 150 small islands spread out in South China Sea. More than 99% of their population live in coastal area of 44 of the islands. The prosperous coastal resources and notion that ocean resources are open access property, has driven outside fisher’s boats into Natuna Regency. Most of them are from North Coast of Java, East Coast of Sumatera and even from border country (e.g. Thailand and Vietnam). The infiltration of outside fishers’ boat might become a problem and evolve into unfinished conflicts, especially when they enter local fishers’ fishing ground. This research aims to: (1) describe the roots, process and intensity of the conflicts in small islands’ coastal resources use; and (2) recognize the resolutions undertaken to deal with the conflicts. The method used is naturalistic qualitative based on phenomenological paradigm. The research results reveal three types of coastal resources use conflict in these small islands, which are: (1) local fishers versus local fishers; (2) local fishers versus out-region fishers; and (3) local fishers versus foreign fishers. The roots of the conflicts are violating the local fishers’ fishing ground, catching tools differences, fishing ground domination, and violence action taken by the captains and/or the crews of foreign fishing vessels toward local fishers. The conflicts intensity has reach the manifest with violence level in form of burning down the boats used in blast fishing and foreign vessels, and intimidation by using dynamite toward outside fishers. More over, the dominance-influencing factor of the conflict is law enforcement. Resolutions has been taken to deal with these conflicts are: (1) persuasively; approaching family members and friends who practice blast fishing, potassium cyanide and kelambu nets; (2) law suit approach; informing the illegal fishing practices to the local authority; and (3) repressively; apprehending and charging the suspected and destroying the apparatus used in local fishing ground. Local fishers have their internal capacity to cope with the conflict prevention and resolution. Imposing the charging mechanism would effectively reduce the illegal fishing practices. Yet, these all can be achieved if only there is no intervention by corrupt practice of the key institution

Kata Kunci : Wilayah Pesisir, Sumberdaya, Konflik Pemanfaatan


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.