Gangguan hiperkinetik pada anak di DKI Jakarta :: Penyusunan instrumen diagnosis baru, penentuan prevalensi, penelitian patofisiologi dan upaya terapi
SAPUTRO, Dwidjo, Promotor Prof.dr. H. Makmuri Muchlas, SpKJ.,Ph.D
2004 | Disertasi | S3 Ilmu KedokteranGangguan hiperkinetik atau gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas adalah gangguan psikiatrik pada anak yang paling banyak dijumpai di praktek klinis maupun di populasi anak sekolah, meskipun demikian gangguan perilaku ini kurang dikenal oleh orangtua, guru atau masyarakat luas. Gangguan perilaku ini mengakibatkan dampak buruk terhadap perkembangan kognitif, emosi dan penyesuaian sosial anak, sehingga menimbulkan masalah pasikososial yang berat di rumah, sekolah dan keluarga. Perkembangan penyakit ini terus berlanjut sampai usia remaja dan dewasa, maka adanya penyakit ini menimbulkan resiko terjadinya gangguan penggunaan narkotika dan zat adiktif lainnya, gangguan kepribadian antisosial dan gangguan psikiatrik lainnya. Pada saat ini belum tersedia instrumen penilai perilaku anak dengan gangguan ini yang sesuai dengan kondisi norma dan budaya di Indonesia. Tujuan utama penelitian ini adalah: (1) mendapatkan skala penilai perilaku anak hiperaktif Indonesia (SPPAHI), yang mudah dipakai oleh dokter umum dan dapat digunakan untuk deteksi dini gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas oleh guru dan orangtua, (2) mendapatkan angka prevalensi penderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas pada anak di DKI Jakarta, (3) mengetahui seberapa kuat tingkat bangkitan susunan saraf pusat yang rendah merupakan prediktor penderitan gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas yang responsif terhadap pengobatan psikofarmaka psikostimulan (metilfenidat). Penelitian ini juga bertujuan ingin mengetahui seberapa jauh kesesuaian hasil terapi psikofarmaka metilfenidat dan moclobemide pada penderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap penelitian, yaitu: (1) penyusunan instrumen Skala Penialain Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia (SPPAHI), dengan melakukan seleksi dan analisis butir, uji validitas serta uji reliabilitas dengan pengujian korelasi antar butir, korelasi butir-total nilai (Cronbanch alpha coefficient), uji t test, analisis faktor, dan penetapan cutoff score dengan mengunakan receiver operator characteristic curve; (2) penetapan prevalensi gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas pada anak sekolah dasar di DKI Jakarta serta membuktikan bahwa diagnosis gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas pada anak oleh dokter umum dengan bantuan SPPAHI sebagai pedoman pemeriksaan perilaku anak, lebih akurat dibandingkan dengan hasil diagnosis hanya menggunakan kriteria diagnosis berdasarkan pedoman diagnosis PPDGJ III. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional dan observasional prospektif , menggunakan uji statistik Kappa serta penetapan koefisien korelasi Intraclass Correlation Coefficient; (3) pengujian kemaknaan kekuatan tingkat bangkitan susunan saraf pusat yang rendah sebagai prediktor penderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas yang responsif terhadap terapi psikofarmaka psikostimulan (metilfenidat) serta pengujian tingkat kesesuaian terapi psikofarmaka metilfenidat dan moclobemide pada penderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas. Rancangan penelitian ini adalah randomized parallel double blind controlled trial, menggunakan uji statistik chi square disertai perhitungan odds ratio dan t test. Skala Penilai Perilaku Anak Hiperaktif (SPPAHI) yang didapatkan dari penelitian ini terdiri dari 35 butir, merupakan narrow band scale, yang terdiri dari dua faktor struktur utama yaitu faktor tidak mampu memusatkan perhatian dan factor hiperaktifitas-impulsifitas. Cut off score SPPAHI/OT ≥ 30, dengan sensitifitas 61,3%, spesifitas 76,8%, cut off scores SPPAHI/G ≥ 29 dengan sensitifitas 62,7%, spesifitas 70,1%, cut off scores SPPAHI/D ≥ 22 dengan sensitifitas 82,7%, spesifitas 79,7%. Nilai prediktif positif adalah 0,48 (SPPAHI/OT), 0,43 (SPPAHI/G), 0,71 (SPPAHI/D). Nilai prediksi negatif adalah 0,83 (SPPAHI/OT), 0,82 (SPPAHI/G), 0,89 (SPPAHI/D). Likelihood ratio (LR+) 12,7 untuk SPPAHI/D ≥ 45. Didapatkan angka prevalensi gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas diantara anak sekolah dasar di Jakarta sebesar 26,2% (95% CI = 24,84%-27,56%) pada rentang usia 6-13 tahun, dengan rasio laki-laki:wanita = 2:1. Angka prevalensi gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas tipe tidak mampu memusatkan perhatian 15,9%, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas tipe kombinasi 5,3%, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas tipe hipeaktifitas-impulsifitas 2,2% gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas tak tergolongkan 3,9%. Variabel yang paling berpengaruh secara bermakna pada kelompok gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas dibandingkan dengan kelompok kontrol adalah variabel “ayah hiperkinetikâ€, “saudara lainnya hiperkinetik “, “saudara lainnya mengalami gangguan jiwaâ€, “riwayat prestasi akademikâ€, “riwayat makanan dengan bahan pemanisâ€. Diantara variabel tersebut riwayat ayah menderita gangguan hiperkinetik merupakan variabel yang paling kuat berpengaruh pada ADHD (OR= 7,7; 95% CI= 1,247-5,427). Berdasarkan penurunan derajat beratnya penyakit (ringan, sangat ringan atau normal) dan peningkatan perbaikan penyakit (perbaikan nyata, sangat nyata) pada penilaian CGI terhadap kelompok arousal rendah dan kelompok arousak tidak rendah, didapatkan x2 = 0,984 (p= 0,321, RR=1,707, 95% CI= 0,508-5,740). Pada perhitungan number needed to non responder (NNT) kelompok arousal rendah dan kelompok arousal tidak rendah pada pengobatan moclobemide dan metilfenidat, didapatkan NNT(arousal rendah) =3 dan NNT(arousal tidak rendah) =10. Hal ini berarti pada praktek klinik hasil terapi psikofarmaka metilfenidat terhadap penderita ADHD kelompok arousal rendah lebih baik dibandingkan dengan kelompok arousal tidak rendah. Hasil analisa statistik dengan t test terhadap perbedaan nilai rerata skor awal (H0) dan skor akhir (H35) pada kelompok pengobatan metilfenidat dan kelompok pengobatan moclobemide menunjukkan nilai t terendah pada perbedaan skala Conners (guru), yaitu t=0,03 (p=0,979) dan nilai t tertinggi pada perbedaan response time CPT, yaitu t=2,23 (p=0,028). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,01) antara hasil pengobatan dengan metilfenidat dan pengobatan dengan moclobemide pada anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas. Namun demikian berdasarkan hasil perhitungan efek pengobatan dengan cara menghitung absolute risk reduction dan number needed to treat, pada kelompok arousal rendah, didapatkan ARR(metilfenidat) = 0,82, NNT(metilfenidat) = 1,2, ARR(moclobemide) = 0,20, NNT(moclobemide) = 5. Hal ini berarti dalam praktek klinik efek pengobatan pada penderita ADHD kelompok arousal rendah yang mendapat pengobatan metilfenidat lebih baik dibandingkan dengan moclobemide. Kesimpulan: Skala Penilai Perilaku Anak Hiperaktif Indonesia (SPPAHI) adalah instrumen yang terandalkan dan menjalankan fungsi pengukurannya sebagai alat penapisan untuk gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas pada anak, yang dapat dipakai oleh orang tua, guru, dokter umum di rumah, di sekolah dan di klinik. Pemeriksaan perilaku anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian oleh dokter umum dengan menggunakan instrumen SPPAHI dan pedoman diagnostik PPDGJ III terandalkan dan lebih akurat dibandingkan hanya menggunakan pedoman diagnostik PPDGJ III saja. Pada penelitian ini didapatkan angka prevalensi gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas pada anak sekolah dasar di DKI Jakarta sebesar 26,2%. Dalam praktek klinik hasil terapi psikofarmaka metilfenidat terhadap penderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas kelompok arousal rendah lebih baik dibandingkan kelompok arousal tidak rendah. Perbaikan klinis pada penderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas yang mendapatkan terapi psikofarmaka moclobemide sama dengan metilfenidat, namun dalam praktek klinik perbaikan klinis pada penderita gangguan pemusatan perhatian/hiperaktifitas kelompok arousal rendah yang mendapatkan terapi psikofarmaka metilfenidat lebih baik dibandingkan dengan moclobemide.
Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) in children is not readily recognized by people. No valid instrument is currently available, which might serve as a screening tool, either by parents, schoolteachers, or general practitioners (GPs). This study was done in three parts: the development of Indonesian ADHD Rating Scale (IARS): a cross-sectional, prospective study to obtain ADHD prevalence in Jakarta; and a randomized, paralleled, double-blinded, controlled trial to predict treatment response with methylphenidate and moclobemide in low-arousal (LA) and not-low-arousal (NLA) ADHD patients. IARS was a narrow-band scale consisting 35 items. The cut-off point of IARS for parents, schoolteachers, and GPs were > 30, > 29, and > 22, respectively. Sensitivity and specificity of IARS were 61.3% and 76.8% (parents), 62.7% and 70.1% (schoolteachers), and 82.7% and 79.7% (GPs). The prevalence of ADHD among school-age children (6-13 years) in Jakarta was 26.2% (95% CI=24.84%-27.56%), with male: female ratio = 2:1. A history of hyperkinetic father was strongly correlated with ADHD (OR= 7.7; 95% CI=1.247-5.427). The number needed-to-non-responder (NNT) for moclobemide and methylphenidate treatment in LA-group and NLA-group were 3 and 10, respectively. This implied that, in clinical practice methylphenidate treatment in the low-arousal group was better than the not-low-arousal group. Treatment results were not significantly different between methylphenidate and moclobemide groups. However, the absolute risk reduction (ARR) and number needed-to-treat (NNT) in the LA-group were 0.82 and 1.2 in methylphenidate group versus 0.20 and 5.0, in moclobemide group. It means that, in clinical practice, treatment response of ADHD patients in low-arousal group who receive methylphenidate was better than moclobemide. We conclude that IARS was a valid instrument to screen ADHD in children, and could easily performed by parents, schoolteachers, or GPs. The prevalence of ADHD among school-age children in Jakarta was 26.2%. Methylphenidate treatment gave a better result in LA-group compared to NLA-group. The LA-group also showed better clinical improvements with methylphenidate compared to moclobemide.
Kata Kunci : Kedokteran Jiwa,Gangguan Hiperkinetik Anak, ADHD-Indonesian Rating Scale-Prevalence Drug Responder- Methylphenidate.