Analisis Faktor Litologi Dan Bentanglahan Terhadap Sebaran Keragaman Situs Budaya Megalitikum - Kolonial, Pada Kawasan Taman Bumi (Geopark) Karangsambung -Karangbolong Dan Sekitarnya, Kabupaten Kebumen,Provinsi Jawa Tengah

CHUSNI ANSORI, Dr. Ir. I Wayan Warmada, IPM; Ir.Nugroho Imam Setiawan, ST, MT, D.Sc.,IPM; Dr. Hery Yogaswara, MA.

2022 | Disertasi | DOKTOR TEKNIK GEOLOGI

Geopark sebagai konsep pembangunan berkelanjutan pada sebuah wilayah geografi tunggal atau gabungan yang memiliki situs warisan geologi dan bentang alam yang bernilai, terkait aspek warisan geologi, keragaman geologi, keragaman hayati dan keragaman budaya. Geopark dikelola untuk keperluan konservasi, edukasi dan pembangunan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Kabupaten Kebumen mempunyai Geopark Nasional sejak tahun 2018 yang akan dikembangkan menjadi Geopark Global UNESCO. Kebudayaan sebagai hasil olah budi manusia dalam menghadapi kondisi alam dan zaman melalui proses belajar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Keragaman budaya bukanlah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri namun terkait dengan keragaman geologi yang ada pada suatu kawasan. Hubungan dekat antara bentanglahan dengan struktur geologi dan unsur-unsur budaya menimbulkan bidang penelitian tertentu dalam ilmu kebumian seperti geologi budaya dan geomorfologi budaya. Geologi budaya (Geoculture) mengganggap bahwa budaya masyarakat dapat dipengaruhi oleh kondisi geologi, seperti pada budaya Mesir kuno, Brasil, Italia, Indonesia. Mundardjito (1993) melakukan penelitian tentang arkeologi ruang skala makro dengan judul Pertimbangan Ekologi Dalam Penempatan Situs Hindu Buddha di Yogyakarta. Variabel sumberdaya lingkungan yang dianalisis mencakup 9 parameter lingkungan dan 1 parameter budaya. Parameter lingkungan berupa ketinggian tempat, kelerengan, bentuklahan, tanah, batuan, kemampuan tanah, air tanah, sungai dan mata air. Analisis yang dilakukan menggunakan metode overlay data spatial situs terhadap 9 parameter serta analisis statistik menggunakan metode correspondence analysis. Hasil analisis memperlihatkan adanya hubungan antara variable sumberdaya lingkungan dengan lokasi penempatan situs. Kebaruan riset ini dibandingkan riset geologi budaya sebelumnya adalah pada metode analisis yang menggunakan AHP sehingga besarnya pengaruh parameter/sub parameter geologi terhadap pembentukan budaya dapat diketahui. Riset ini menggunakan 7 parameter geologi dengan 49 sub parameter, serta 4 parameter era budaya. Penentuan sumber material artefak batuan maupun bukan batuan, menggunakan pendekatan analisis petrografi, geokimia, SEM, mikro-XRF, dan analisis XRD. Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh 7 variabel geologi terhadap 4 variabel budaya sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan pengelolaan Geopark. Variabel budaya meliputi era Megalitikum, Hindu-Buddha, Islam, dan Kolonial. Varibael geologi meliputi litologi, bahan tambang, elevasi, kelerengan, geomorfologi, sungai, dan air tanah. Metode yang digunakan adalah overlay, pembobotan dan skoring sebaran situs dengan parameter geologi menggunakan metode AHP (berbasis GIS). Analisis petrografi, geokimia, SEM, Mikro-XRF, XRD digunakan untuk mengetahui sumber material artefak yang dijumpai. Luarannya berupa peta sebaran situs, 7 peta overlay sebaran situs dengan parameter geologi, 7 peta overlay sebaran fungsi situs dengan parameter geologi, 4 peta Geoculture (hasil AHP 7 parameter geologi pada masing-masing era), serta hasil analisis sumber asal material artefak. Kondisi fisik daerah penelitian sangat bervariasi. Berdasarkan peta geologi, litologi kawasan ini mencakup 21 kelompok batuan berupa batuan beku, sedimen, maupun metamorf berumur Kapur hingga endapan pantai masa kini. Bentang lahan terdiri dari 33 satuan, berupa 15 satuan bentuk lahan struktural, 9 satuan bentuk lahan denudasional, 1 satuan bentuk lahan karst, 5 satuan bentuk lahan fluvial, dan 3 satuan bentuk lahan pantai. Terdapat 16 komoditas bahan tambang, elevasi daerah penelitian mulai 0 - 556 mdpl (G. Tumpang Paruk, Sadang), kelerengan dari 0 -140 %, kerapatan sungai permanen maupun tidak yang tinggi, air tanah langka hingga aquifer produktif dengan penyebaran luas. Kondisi alam yang bervariasi telah menghasilkan perkembangan budaya dengan beragam artefak mulai Era Megalitikum (11 artefak), Era Hindu-Buddha (12 artefak), Era Islam (31 artefak) dan Era Kolonial (83 artefak). Keragaman kondisi geologi daerah penelitian telah menghasilkan keragaman budaya dari Era Megaliitkum hingga Kolonial. Pengaruh litologi terhadap perkembangan budaya kawasan secara keseluruhan tidak terlalu besar. Pengaruh litologi terhadap pembentukan budaya kawasan pada Era Megalitikum sebesar 2,3 %, era Hidu-Budha 11,3 %, era Islam 2,9 % dan era Kolonial 2,6 %. Endapan alluvial mempunyai persentase sebaran situs paling banyak pada setiap era yang kemudian diikuti oleh Formasi Halang terutama disekitar perbatasan dengan Endapan Alluvial. Sebaran situs budaya juga semakin lebar arealnya sesuai perkembangan zaman hingga era kolonial. Kecilnya pengaruh litologi terhadap pembentukan budaya teramati juga dari keberadaan artefak Megalitikum M-4 (Lumpang Batu Maduretno), M-5 (Lumpang Batu Bocor), M-6 (Lumpang Batu Condrowangsan), M-8 (Lumpang Batu Gebangsari), M-9 (Lumpang Batu Pejarakan) yang berada pada endapan alluvial dengan sumber material dari Formasi Halang, Formasi Gabon ataupun Formasi Bulukuning yang berjarak jauh. Demikian pula artefak Hindu-Buddha HB-2 (Batu Kalbut), HB-5 (Lingga-Yoni, Sumberadi), HB-7 (Yoni, Rowo), HB-8 (Yoni, Batu Celeng), HB-11 (Lingga-Pejarakan) yang berada pada endapan Alluvial, namun sumber material awalnya berasal dari Formasi Halang dan Gabon. Sedangkan artefak non batuan berupa keramik pada lokasi HB-6B dan HB-6C bersumber dari luar kebumen. Namun gerabah sumur Jobong (HB-6A) dan Langgar Suro (I-26), sumber material awalnya dari lempung Formasi Halang di Kebumen. Genteng Aboe Ngamar (K -39.A) dan genteng AB-Soeka (K-39.B) juga dari lempung Formasi Halang. Batu bata dari situs Tumbak Keris (I-21), AB-Soeka (K.39.E), Ovaldo Fabriek (K-50), dan benteng Conchius (K-58), material asalnya berasal dari lempung Formasi Halang, Kebumen. Bahan tambang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan budaya terutama pada era Islam, dan Kolonial. Pada era Megalitikum bahan tambang mempunyai pengaruh 3,8 %, era Hindu-Buddha 14,38 % terutama dari sub kriteria sirtu dan pasir besi. Pada era Islam bahan tambang mempunyai tingkat pengaruh 24,34 % terutama dari sub kriteria sirtu dan pasir besi. Pada era Kolonial bahan tambang menempati urutan kedua dengan tingkat pengaruh mencapai 24,18 % terutama dari sub-kriteria sirtu, tanah merah dan lempung. Pengaruh bahan tambang terhadap tinggalan artefak di daerah penelitian terlihat pada keberadaan artefak K-39 (Pabrik Genteng Aboe Ngamar), K-50 (Ovaldo Fabriek), K-58 (Benteng Conchius) yang berada dekat dengan sumber material lempung sebagai bahan pembuat genteng dan bata di Kabupaten Kebumen. Bentang lahan mempunyai pengaruh paling tinggi pada era kolonial sebesar 37,17 %, era Islam 10,56 %, era Hindu-Buddha 3,92 %, era Megalitikum 15,8 %. Tingkat pengaruh terutama pada sub kriteria satuan bentang lahan Fluvial, Denudasional dan Marin. Sebaran artefak pada endapan Fluvial era kolonial sebesar 61,44 %, sedangkan era HinduBuddha 25 %. Ketinggian/elevasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pembentukan budaya Kawasan. Pada Era Megalitikum elevasi punya pengaruh 11,12 %, Hindu-Buddha 2,69 %, Islam 34,68 %, dan kolonial 3,88 %. Pada semua jaman, pola sebaran situs sebagian besar berada pada ketinggian 5-50 m. Pada elevasi tersebut ketersediaan air tanah lebih banyak, pertanian lebih mudah dikembangkan, lahannya luas, akses transportasi mudah dijangkau, minim erosi, dan sedikit genangan. Kelerengan tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan budaya Kawasan. Pada Era Megalitikum kelerengan mempunyai pengaruh 6,25 %, Era HinduBuddha 5,8 %, Islam 6,8 %, dan Kolonial 12,44 %, terutama pada sub kriteria lereng landai (< 7 %). Dataran dipilih sebagai aktivitas budaya utama di daerah penelitian, kemungkinan disebabkan karena kemudahan akses bergerak, ketersediaan air tanah yang melimpah, kemudahan untuk pertanian dengan berbagai jenis tanaman pakan yang bisa tumbuh. Terdapat kecenderungan pada seluruh era budaya, semakin curam kelerengan tidak disukai untuk aktivitas kebudayaan. Air tanah mempunyai pengaruh signifikan dalam perkembangan budaya era HinduBuddha, Megalitikum dan Islam. Pada era Megalitikum air tanah mempunyai pengaruh 32,38 %, era Hindu-Buddha 36,05 %, era Islam 16,59 %, era Kolonial 6,8 % dimana sebagain besar berada pada akuifer dengan penyebaran luas. Akuifer dengan penyebaran luas berada pada bentang lahan Fluvial dengan lit ologi berupa endapan Alluvial, topografi berupa dataran - hampir datar. Daerah air tanah tanah langka sudah digunakan untuk aktivitas budaya pada era Islam sebanyak 12,9 % dan era Kolonial sebanyak 14,45 %. Sungai mempunyai pengaruh signifikan terhadap pembentukan budaya Kawasan, terutama pada era Megalitikum dan Hindu -Buddha. Pada era Megalitikum pengaruh sungai 28,31 %, era Hindu-Buddha 25,78 %, era Islam 4,06 %, dan era Kolonial 12,87 %. Pengaruh tersebut terutama dari sub kriteria jarak < 750 m dari sungai. Era Megalitikum dan Hindu-Buddha mempunyai kecenderungan kesamaan pola pada 2 kriteria utama yang berpengaruh terhadap pembentukan kebudayaan yaitu air tanah dan jarak sungai. Sub kriteria air tanah terutama pada kawasan akuifer produktif, sedangkan sub kriteria jarak sungai pada jarak < 750 m. Sedangkan pada era Islam dan Kolonial tidak memperlihatkan kesamaan pola Pada era Megalitikum sebagian besar warisan budaya/situs berupa lumpang batu yang berfungsi sebagai teknologi pengolahan pertanian tersebar pada endapan alluvial, disekitar tambang pasir besi, ketinggian < 50 m, kelerengan < 7 %, satuan bentang lahan marine (M), jarak dari sungai < 750 m, pada daerah akuifer produktif dengan penyebaran luas, dan area yang berkorelasi baik-sangat baik. Pada era Hindu-Buddha sebagian besar warisan budaya/situs berupa tempat/sarana ibadah yang berada pada endapan alluvial, ketinggian < 50 m, kelerengan < 7 %, jarak dari sungai < 750 m, akuifer produktif kecil hingga penyebaran luas, serta area yang berkorelasi sangat baik-baik. Para era Islam warisan budaya/situs yang fungsinya sebagai makam/makom tokoh penting mendominasi, berada pada endapan alluvial, potensi tambang sirtu, ketinggian < 50 m, kelerengan < 7 %, bentang lahan Fluvial, jarak sungai < 750 m, akuifer produktif dengan penyebaran luas, serta pada area yang berkolerasi baik-sangat baik. Sedangkan pada era Kolonial muncul warisan budaya/situs baru yang berfungsi untuk ekonomi, pemerintahan, sekolahan, kesehatan, dan pertahanan dengan situs dominan berupa makam/makom pada endapan alluvial, dekat dengan potensi tambang sirtu, ketinggian < 50 m, kelerengan < 7 %, bentang lahan fluvial, jarak sungai < 500 m, akuifer produktif dengan penyebaran luas, serta pada area yang berkolerasi baik-sangat baik. Fungsi situs yang terkait dengan fungsi ekonomi, pendidikan dan kesehatan mengelompok mengikuti pola sebaran situs pemerintahan yang berada di seputar Kebumen, Karanganyar, Gombong, Kutowinangun-Prembun. Disekitar Ambal pola sebarannya terkait dengan situs pemerintahan dengan makam/makom, dan sekolahan. Disekitar Bocor/Buluspesantren terkait dengan tempat/sarana ibadah, makam/makom serta lumpang batu era megalitikum.

Geopark is a concept of sustainable development in a single or combined geographic area that has geological heritage sites and valuable landscapes, related to aspects of geological heritage, geological diversity, biodiversity, and cultural diversity. Geopark is managed for conservation, education, and sustainable community economic development. Kebumen Regency has had a National Geopark since 2018 which will be developed into a UNESCO Global Geopark. Culture is a result of human cultivation in dealing with natural conditions and times through a learning process to fulfill their needs. Cultural diversity is not stand-alone but is related to the geological diversity that exists in an area. The close relationship between landscapes, geological structures, and cultural elements has given rise to particular research fields in the geosciences such as cultural geology and cultural geomorphology. Cultural geology (Geo culture) assumes that people's culture can be influenced by geological conditions, such as the cultures of ancient Egypt, Brazil, Italy, and Indonesia. Mundardjito (1993) researched macro-scale spatial archeology with the title "Ecological Considerations in Placement of Hindu -Buddhist Sites in Yogyakarta". The environmental resource variables include 9 environmental parameters and 1 cultural parameter. The environmental parameters are altitude, slope, landform, soil, rock, soil capacity, groundwater, rivers, and springs. The analysis was carried out using the site spatial data overlay method for 9 variables and statistical analysis using the correspondence analysis method. The results of the analysis show that there is a relationship between environmental resource variables and the location of the placement of the site. The novelty of this research compared to previous cultural geology research is the analytical method that uses AHP so that the magnitude of the influence of geological parameters/sub-parameters on culture formation can be identified. This research uses 7 geological parameters with 49 sub-parameters, and 4 cultural era parameters. Determination of the material sources of rock and non-rock artifacts, using petrographic, geochemical, SEM, micro-XRF, and XRD analysis approaches. The purpose of this study is to determine the effect of 7 geological variables on 4 cultural variables so that they can be utilized for the development and management of Geopark. Cultural variables include the Megalithic, Hindu-Buddhist, Islamic and Colonial eras. Geological variables include lithology, minerals, elevation, slope, geomorphology, rivers, and groundwater. The method used is overlay, weighting, and scoring of site distribution with geological parameters using the AHP (GIS-based) method. Petrographic, geochemical, SEM, Micro-XRF, and XRD analyzes were used to determine the source of the artifact material found. The outputs are in the form of site distribution maps, 7 overlay maps of site distribution with geological parameters, 7 overlay maps of site function distribution with geological parameters, 4 Geo culture maps (AHP results of 7 geological parameters in each era), as well as the results of analysis of the source of the artifact material. The physical condition of the study area varies greatly. Based on the geological map, the lithology of this area includes 21 rock groups in the form of igneous, sedimentary, and metamorphic rocks of Cretaceous age to present-day coastal deposits. The landscape consists of 33 units, consisting of 15 structural landform units, 9 denudational landform units, 1 karst landform unit, 5 fluvial landform units, and 3 coastal landform units. There are 16 mining commodity commodities, the elevation of the study area is from 0 - 556 masl (G. Tumpang Paruk, Sadang), slopes from 0-140%, high density of permanent or non-permanent rivers, scarce groundwater to productive aquifers with wide distribut ion. Various natural conditions have resulted in the development of culture with various artifacts starting from the Megalithic Era (11 artifacts), the Hindu-Buddhist Era (12 artifacts), the Islamic Era (31 artifacts), and the Colonial Era (83 artifacts). The diversity of geological conditions in the study area has resulted in cultural diversity from the Megalithic to the Colonial Era. The influence of lithology on the cultural development of the area as a whole is not too high. The influence of lithology on the formation of regional culture in the Megalithic Era was 2.3%, the Hindu-Buddhist era was 11.3%, the Islamic era was 2.9% and the Colonial era was 2.6%. Alluvial deposits have the highest percentage of site distribution in each era, followed by the Halang Formation, especially around the border with the Alluvial Deposits. The distribution of cultural sites also got wider in the area according to the times until the colonial era. The slight influence of lithology on the formation of culture was also observed from the existence of Megalithic artifacts M-4 (stone mortar, Maduretno), M-5 (stone mortar, Bocor), M-6 (stone mortar, Condrowangsan), M-8 (stone mortar, Gebangsari), M- 9 (stone mortar, Pejarakan) which is in an alluvial deposit with a source of material from Halang Formation, Gabon Formation, and Bulukuning Formation. Likewise, Hindu-Buddhist artifacts HB-2 (Kalbut stone), HB-5 (Lingga-Yoni, Sumberadi), HB-7 (Yoni, Rowo), HB-8 (Yoni, Batu Celeng), HB-11 (Lingga-Pejarakan) which is in Alluvial deposits, but the initial source of material came from the Halang and Gabon Formations. Meanwhile, non-rock artifacts in the form of ceramics at locations HB-6B and HB-6C were sourced from outside Kebumen. However, in the Jobong wells artifact (HB-6A) and Langgar Suro (I-26) pottery, the initial source of material was clay in the Halang Formation in Kebumen. Aboe Ngamar roof tile (K -39.A) and AB-Soeka tile (K-39.B) are also from the clay of the Halang Formation. The bricks from the Tumbak Keris (I-21), AB-Soeka (K.39.E), Ovaldo Fabriek (K-50), and Fort Conchius (K-58) sites, the material originally comes from clay from the Halang Formation, Kebumen. Mining materials have a significant influence on cultural development, especially in the Islamic and colonial eras. In the Megalithic era, mining materials influenced 3.8%, and in the Hindu-Buddhist era 14.38%, especially from the sand-rock material and iron sand sub-criteria. In the Islamic era, mining materials had an influence level of 24.34%, especially from the sand-rock material and iron sand sub-criteria. In the Colonial era, minerals ranked second with an influence level of 24.18%, especially from the sand-rock material, red soil, and clay sub-criteria. The effect of mining materials on the artifacts left in the study area can be seen in the presence of artifacts K -39 (Aboe Ngamar tile factory), K-50 (Ovaldo Fabriek), K-58 (Conchius fortress) which are located close to the source of clay material for making roof tiles and bricks in Kebumen Regency. The landscape has the highest influence in the colonial era at 37.17%, the Islamic era at 10.56%, the Hindu-Buddhist era at 3.92%, and the Megalithic era at 15.8%. The level of influence is mainly on the sub-criteria for Fluvial, Denudational, and Marine landscape units. The distribution of artifacts in colonial era Fluvial landscape was 61.44%, while in the Hindu-Buddhist era it was 25%. Altitude/elevation has a significant influence on the formation of regional culture. In the Megalithic Era, the elevation influenced 11.12%, Hindu-Buddhist 2.69%, Islam 34.68%, and colonial 3.88%. In all ages, the pattern of site distribution is mostly at an altitude of 5-50 m. At this elevation the availability of groundwater is more, agriculture is easier to develop, the land is wide, transportation access is easy to reach, minimal erosion, and little inundation. Slopes do not have a major influence on the formation of regional culture. In the Megalithic Era the slope had an influence of 6.25%, Hindu-Buddhist Era 5.8%, Islam 6.8%, and Colonial 12.44%, especially on the sub-criteria of gentle slopes (<7%). The plains were chosen as the main cultural activity in the research area, possibly due to the ease of access to movement, the availability of abundant groundwater, and the ease of farming with various types of forage plants that can grow. There is a tendency throughout cultural eras, steeper slopes are frowned upon for cultural activities. Groundwater has had a significant influence on the cultural development of the HinduBuddhist, Megalithic and Islamic eras. In the Megalithic era, groundwater influenced 32.38%, the Hindu-Buddhist era 36.05%, the Islamic era 16.59%, and the Colonial era 6.8% where most of it was in aquifers with wide distribution. Aquifers with wide distribution are in Fluvial landscapes with lithology in the form of Alluvial deposits, and topography in the form of plains - almost flat. Rare groundwater areas have been used for cultural activities in the Islamic era as much as 12.9% and in the Colonial era as much as 14.45%. The river has a significant influence on the formation of regional culture, especially during the Megalithic and Hindu-Buddhist eras. In the Megalithic era, the influence of the river was 28.31%, the Hindu-Buddhist era was 25.78%, the Islamic era was 4.06%, and the Colonial era was 12.87%. This influence is mainly from the sub-criterion of distance <750 m from the river. The Megalithic and Hindu-Buddhist eras tended to have similar patterns on 2 main criteria that influenced the formation of culture, namely groundwater, and distance to rivers. The groundwater sub-criteria is mainly in productive aquifer areas, while the river distance sub-criteria is at a distance of <750 m. Whereas in the Islamic and colonial eras they did not show the same pattern. In the Megalithic era, most of the cultural heritage/sites were in the form of stone mortars which functioned as agricultural processing technology scattered in alluvial deposits, around iron sand mines, height < 50 m, slope < 7%, marine landscape unit (M), distance from river < 750 m, in a productive aquifer with a wide distribution, and an area of good - very good correlation. In the Hindu-Buddhist era, most of the cultural heritage/sites were places/facilities of worship located in alluvial deposits, height < 50 m, slope < 7 %, distance from river < 750 m, small productive aquifers to wide distribution, and correlated areas very well. In the Islamic era, cultural heritage/sites whose function as tombs/makom of important figures dominate, are in alluvial deposits, sand-rock mining potential, height < 50 m, slope < 7 %, Fluvial landscape, river distance < 750 m, productive aquifers with spreading area, and in areas with good-very good correlation. Whereas in the Colonial era, cultural heritage/new sites appeared that functioned for the economy, government, schools, health, and defense with the dominant sites being tombs/makoms in alluvial deposits, close to potential sand -rock mines, height < 50 m, slope < 7 %, fluvial landscape, river distance < 500 m, pro ductive aquifers with wide distribution, and in areas with good-very good correlation. The functions of the sites related to economic, educational, and health functions are grouped following the distribution pattern of government sites around Kebumen, Karanganyar, Gombong, and Kutowinangun-Prembun. Around Ambal the pattern of distribution is related to government sites with tombs/makom, and schools. Around Bocor/Bulus Islamic Boarding School related to places/facilities of worship, tombs/makoms, and stone mortars of the megalithic era.

Kata Kunci : kebudayaan; megalitikum, hindu-buddha, islam, kolonial; artefak, petrografi, geokimia, XRD, SEM, Micro-XRF; litologi, bentanglahan, bahan tambang, ketinggian, kemiringan, jarak sungai, geohidrologi;Geo culture, sumber material artefak.