Kajian Faktor Risiko dan Diversitas Genetik Bacillus anthracis di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

DINI WAHYU Y, Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, SU., M.Sc.; drh. Heru Susetya, MP, Ph.D.; Prof. Mo Salman, BVMS, MPVM, Ph.D, DACVPM, F.A.C.E.

2022 | Disertasi | DOKTOR SAINS VETERINER

Bacillus anthracis merupakan penyebab penyakit antraks yang merupakan penyakit zoonotik dan bersifat strategis di sejumlah Kabupaten/ Kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Penyakit ini bersifat endemis dan tidak dapat diberantas dikarenakan Bacillus anthracis secara alami memiliki kemampuan bertahan hidup selama puluhan tahun dalam berbagai kondisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menyidik faktor risiko penyakit antraks, mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku peternak terhadap penyakit antraks, serta mengidentifikasi karakteristik molekuler Bacillus anthracis di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus kontrol, sebanyak 222 peternakan/ peternak terdiri atas 81 peternakan/ peternak kasus dan 141 peternakan/ peternak kontrol dari delapan kabupaten/ kota diambil sebagai sampel. Analisis data untuk kajian faktor risiko menggunakan univariat, bivariat (Chi-square) dan multi variabel (regresi logistik). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian antraks terdiri atas: sistem disposal (OR = 15,88; 95%CI 7,68 -32,90), jarak lokasi disposal dengan pemukiman/ kandang (OR = 13,07; 95%CI 6,62 – 25,83); kontak dengan pedagang ternak/ pasar (OR = 10,69; 95%CI 4,36 – 26,16), penanganan ternak sakit yang kurang baik (OR = 9,93; 95%CI 5,11 – 19,31); distribusi produk dari hewan hasil potong paksa (OR = 8,61; 95%CI 4,31 – 17,16); pelaporan ternak sakit (OR = 7,77; 95%CI 2,76 – 21,87); sistem pemeliharaan ternak dengan cara diumbar/ dilepas (OR = 5,42; 95% CI 1,84 – 15,99); sistem penggantian ternak (OR = 4,33; 95%CI 2,23 – 8,41), praktek pemotongan bersama (OR = 2,89; 95%CI 1,12 – 7,40); cara pemberian air minum (OR = 1,99; 95%CI 1,02 – 3,87). Model akhir penyidikan faktor risiko menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan bahwa faktor sistem pemeliharaan ternak dengan cara diumbar/ dilepas (β = 1,69; p = 0,033; ORpop = 5,15, 95%CI 1,4 – 23,33); sistem disposal (bangkai maupun produk) dari hewan terinfeksi antraks (β = 1,64; p = 0,000; ORpop = 5,16, 95%CI 1,2 – 22,17), adanya distribusi produk dari hewan hasil potong paksa (β = 1,48; p = 0,010; ORpop = 4,38, 95%CI 1,4 – 13,59); perlakuan terhadap hewan sakit (β = 1,43; p = 0,008; ORpop = 4,20, 95%CI 1,4 – 12,31); kontak dengan pedagang ternak/ pasar (β = 1,43; p = 0,009; ORpop = 4,19, 95%CI 1,4 – 12,44); jarak lokasi disposal dengan pemukiman/ kandang (β = 1,24; p = 0,009; ORpop = 3,46, 95%CI 0,81 – 14,71); memiliki pengaruh dan berasosiasi kuat terhadap kejadian antraks di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Pengukuran tehadap tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku peternak di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat menggunakan analisis bivariat menunjukkan bahwa sikap (OR = 1,9; 95%CI 1,026 – 3,770), perilaku (OR = 4,8; 95%CI 2,667 – 8,683) serta gabungan nilai PSP (OR = 5,145; 95%CI 2,683 – 9,266) peternak dengan kategori rendah sampai dengan sedang memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian antraks di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Asosiasi bermakna ditunjukkan antara tingkat pendidikan terhadap rendahnya pemahaman terhadap antraks berdasarkan hasil bivariat adalah OR = 1,9; 95%CI 0,993 – 3,783. Identifikasi karakter molekuler dan analisis kekerabatan antar isolat di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat berhasil dilakukan dengan metode MLVA-8. Konstruksi pohon filogenetik menunjukkan bahwa ada similaritas pada isolat – isolat Bacillus anthracis yang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur tahun 1982 – 2020 terbagi atas empat subgrup, membentuk sub-grup tersendiri, terpisah dengan isolat referensi dan dalam lineage yang sama. Faktor-faktor risiko, sikap, serta perilaku peternak terhadap antraks yang terkait dengan transmisi antar hewan/ manusia (sistem pemeliharaan diumbar), distribusi penyakit melalui lalu lintas hewan/ produk hewan, kontaminasi spora ke lingkungan (pemotongan/penyembelihan hewan sakit, proses pengolahan produk hewan, jarak dekat antara kandang dan lokasi disposal) berasosiasi dengan kemampuan untuk membentuk spora, proses dorman, serta pembentukan inkubator alami yang ditunjukkan kemiripan karakterisasi molekuler dari delapan penanda kromosomal dan plasmid berdasarkan hasil analisis MLVA-8 isolat Bacillus anthracis yang bersirkulasi di provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat pada khususnya dan wilayah Indonesia Timur lain pada umumnya.

Bacillus anthracis is the etiology of anthrax, which is a zoonotic and strategic disease s in the provinces of South Sulawesi and West Sulawesi.This disease is endemic and cannot be eradicated because naturally, Bacillus anthracis is capable survive for decades under a variety of conditions. This study aims to identify and investigate risk factors for anthrax disease, determine the level of knowledge, attitudes and practice of farmers towards anthrax disease, and identify the molecular characteristics of Bacillus anthracis in South Sulawesi and West Sulawesi Provinces. This study used a case-control approach, as many as 222 farms/breeders consisting of 81 farms/case, breeders and 141 farms/control breeders from eight districts/cities were taken as samples. Data analysis used for risk factor study were univariate, bivariate (Chi-square) and multiple logistic regresssion statistic. The results of the bivariate analysis showed that the risk factors associated with the occurrence of anthrax consisted of: presence of disposal (OR = 15.88; 95%CI 7.68 -32.90), distance from the disposal place to the settlement/animal cage (OR = 13.07; 95%CI 6.62 – 25,83), contact with trader/market traders (OR = 10.69; 95%CI 4.36 – 26.16), poor handling of sick animal (OR = 9.93; 95%CI 5.11 – 19.31), distribution of products from forced slaughter (OR = 8.61; 95%CI 4.31 – 17.16), reporting of sick livestock (OR = 7.77; 95%CI 2.76 – 21.87), free range system (OR = 5.42; 95% CI 1.84 – 15.99); livestock replacement system (OR = 4.33; 95%CI 2.23 – 8.41), animal replacement system (OR = 4.33; 95%CI 2,23 – 8,41), community animal slaughtering practice (OR = 2.89; 95%CI 1.12 – 7.40), drinking water system (OR = 1.99; 95%CI 1.02 – 3.87). The final model results of the logistic regression analysis of the risk factor investigation showed that free range system dilepas (β = 1.69; p = 0.033; ORpop = 5.15, 95%CI 1.4 – 23.33); disposal system for death animal (β = 1.64; p = 0.000; ORpop = 5.16, 95%CI 1.2 – 22.17); forced slaughter’s animal product disposal and distribution (β = 1.48; p = 0.010; ORpop = 4.38, 95%CI 1.4 – 13.59), unproper of sick animal’s treatment (β = 1.43; p = 0.008; ORpop = 4.20, 95%CI 1.4 – 12.,31); contact with animal trader/ market (β = 1.43; p = 0.009; ORpop = 4.19, 95%CI 1.4 – 12.44); close distance between disposal place and animal cage (β = 1.24; p = 0.009; ORpop = 3.46, 95%CI 0.81 – 14.71); had a strong influence and association with the incidence of anthrax in South Sulawesi and West Sulawesi. Measurement of the level of knowledge, attitudes, and practice of farmers in South Sulawesi and West Sulawesi using bivariate analysis showed that attitudes (OR = 1.9; 95%CI 1.026 – 3.770); practice (OR = 4.8; 95%CI 2,667 – 8.683) ;and the combination of low to moderate all KAP value (OR = 5.145; 95%CI 2.683 – 9.266) had a significant relationship with the incidence of anthrax in South Sulawesi and West Sulawesi Provinces. Significance association shown between low formal education to the poor of anthrax knowledge based on bivariate analysis (OR = 1.9; 95%CI 0.993 – 3.783). Identification of molecular characteristic and genetic relationship between isolates in the Provinces of South Sulawesi and West Sulawesi were successfully performed using the MLVA-8 method. The phylogenetic tree construction showed that there was similarity in Bacillus anthracis isolates circulating the eastern part of Indonesia from 1982 to 2020 which are divided into four subgroups, separated from references isolates group. and under same lineage. Risk factors, attitude, and practice of farmers toward anthrax, that related to transmission between animals/ humans (free range system); disease spreading through animal/ products movement (contact with animal trader/ market); spore contamination to the environment; (sick animals slaughtering, processing of animal products, close distance between disposal place and animal cage); dormant processes, and the formation of natural incubators, which were shown by similar molecular characterizations of eight chromosomal markers and plasmids based on the results of MLVA-8 analysis of Bacillus anthracis isolates circulating in South Sulawesi and West Sulawesi particularly and other parts of East Indonesia in general.

Kata Kunci : Bacillus anthracis, risk factor, PSP, MLVA-8