Budaya Googling: Paradox Mesin Pencari dalam Ekosistem Pendidikan
GRENDI HENDRASTOMO, Dr. Muhamad Supraja; Dr. Hakimul Ikhwan
2022 | Disertasi | DOKTOR SOSIOLOGIPemanfaatan internet dalam pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan. Internet menjadi pusat sumber belajar dimana beragam informasi tersaji. Berkat mesin pencari lautan informasi yang tersedia menjadi lebih mudah dicari dan dipergunakan dalam mendukung pembelajaran. Dibalik beragam manfaat pencarian (googling) bagi guru, peserta didik, dan sekolah, tersembunyi permasalahan serius diakibatkan kemapanan budaya baru yang menciptakan mekanisasi pengetahuan dan keberlangsungan eksploitatif kapitalisme. Penelitian ini secara kritis berupaya untuk menguak tumbuh kembang budaya googling di ranah pendidikan, proses googling merubah pembelajaran, memojokkan guru dan peserta didik untuk berpikir mekanistis, dan proses googling mengikis kemampuan berpikir kritis aktor intelektual pendidikan. Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi yang dilakukan dengan memotret dan meresapi pengalaman informan, untuk menguatkan data temuan digunakan data histori pencarian dari praktek menggunakan mesin. Subyek penelitian ini adalah guru dan peserta didik Sekolah Menengah Atas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Informan terdiri dari 6 guru dan 15 peserta didik yang memiliki keberagaman berbasis gender, kelas/angkatan, peminatan dan jenis sekolah. Data berasal dari wawancara, grup diskusi terfokus dan jejak digital. Hasil penelitian menunjukkan bahwa googling telah menjadi pilihan utama sivitas akademika di sekolah dan mendominasi pencarian sumber belajar dalam mendukung pembelajaran. Googling dilakukan untuk pencarian informasi dan mendukung pengerjaan tugas-tugas. Selama pandemi googling bermetamorfosis menjadi sumber belajar utama, mengontrol informasi, dan mendominasi pembelajaran. Kemampuan mesin pencari untuk memberikan semua jawaban dengan cepat membangun ketidaksadaran akan karakteristik teknologi yang melenakan dan menguasai pengguna secara total. Budaya googling mendorong dominasi belajar dilakukan dengan mencari, menyingkirkan buku teks dengan digantikan bilah pencarian, merubah cara belajar dari membaca secara mendalam menjadi membaca sekilas, menjadikan mesin pencari sebagai jalan pintas pengetahuan yang terpercaya. Padahal dibalik itu ada nalar algoritma yang dikembangkan mesin pencari berbasis popularitas, kebiasaan pencarian, dan alur pencarian yang terus menerus menjadi basis data mengembangkan algoritma, serta pembobolan privasi data berdalih peningkatan pengalaman pengguna. Penggunaan mesin pencari menguak kerentanan dibalik kenyamanan. Googling berimplikasi pada menurunnya minat membaca, berkurangnya daya ingat, merebaknya ketidakjujuran akademik, dan menurunnya nalar berpikir kritis. Jebakan keterlenaan tersebut mendekonstruksi perilaku dan cara berpikir manusia dan pada akhirnya menjadi realitas tunggal. Nalar algoritma alih-alih berlaku obyektif, justru memiliki kepentingan berbasis ideologi maupun motif ekonomi yang cenderung membiaskan hasil pencarian yang seharusnya netral. Pikiran subversif yang menjadi bahan bakar nalar kritis dikekang melalui keseragaman dengan balutan efisiensi dan kecepatan. Monopoli teknologi menjadi jebakan manusia untuk mengembangkan pemikiran kritis dan justru menguatkan praktik kapitalisme pencarian. Pengalaman pencarian yang memberikan relevansi secara individual, informasi yang terpotong-potong, dan rasionalitas teknis berbasis angka mendorong sivitas akademika menjadi manusia-manusia algoritma yang dimampatkan nalar kritisnya diganti dengan nalar algoritma.
The use of the internet in learning is a necessity. The internet is a center for learning resources where a variety of information is presented. Thanks to search engines, a large amount of information becomes easier to find and use to support learning. Behind the benefits of googling for teachers, students, and schools, there is hidden problems caused by the establishment of a new culture that creates knowledge mechanisation and exploitative continuity of capitalism. This study critically seeks to uncover the growth and development of the googling culture in the realm of education, how googling changes learning, how googling drive teachers and students to think mechanistically, and how googling erodes the critical thinking skills of intellectual actors. This study used phenomenological method which is carried out by photographing and permeating the experiences of informants. Historical search from the practice of using search engine used to strengthen the original data. The subjects of this study were teachers and students of high school in the Special Region of Yogyakarta. The informants consist of 6 teachers and 15 students who have diversity based on gender, class/generation, specialization and type of school. Data comes from interviews, focus group discussions and digital footprints. The results show that googling has become the main choice of academics in schools and dominates the search for learning resources to support learning. Googling is prepared to search for information and support the execution of tasks. During the pandemic googling metamorphosed into a primary learning resource, controlling information, and dominating learning. The search engine's ability to provide all the answers quickly builds an awareness of the characteristics of the technology that overwhelm and annihilate users. The googling culture encourages the dominance of learning to be done by searching. Getting rid of textbooks being replaced by the search bar, changing the way of learning from deep reading to skimming, making search engines a trusted pathway to knowledge. Even though there is an algorithmic logic that manipulates human consciousness. The use of search engines reveals vulnerabilities behind convenience. Googling has implications for decreased interest in reading, reduced memory, widespread academic dishonesty, and reduced critical thinking. The trap of complacency deconstructs human behavior and ways of thinking and ultimately becomes a single reality. Algorithmic logic, instead of being objective, actually has interests based on ideology and economic motives that tend to bias search results that should be neutral. The subversive thoughts that fuel critical reasoning are curbed through uniformity with the cloak of efficiency and speed. Technological monopoly becomes a human trap to develop critical thinking and actually strengthens the practice of surveillance capitalism. Search experiences that provide individual relevance, fragmented information, and numerical-based technical rationality encourage academics to become human algorithm whose critical thinking is replaced with the logic of algorithm.
Kata Kunci : Budaya Googling, Nalar Kritis, Monopoli Teknologi, Manusia Algoritma