Laporkan Masalah

Pemetaan Elevasi Permukaan Topografi dan Area Prioritas Restorasi Lahan Gambut Tropis Terdegradasi

BAMBANG KUN CAHYONO, Ir. Trias Aditya K.M., S.T., M.Sc., Ph.D., IPU.; Dr. Ir. Istarno, Dip.LIS., M.T.

2022 | Disertasi | DOKTOR TEKNIK GEOMATIKA

Degradasi di lahan gambut disebabkan oleh adanya aktivitas manusia, meliputi pemberian ijin pembukaan lahan dan usaha kehutanan, dan perkebunan, serta kegiatan pembuatan jaringan kanal pada lahan gambut. Degradasi yang terjadi harus dihentikan dengan kegiatan restorasi yang memerlukan perencanaan yang baik berdasarkan peta yang akurat termasuk peta topografi. Peta topografi teliti perlu bidang referensi vertikal yang tepat di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Identifikasi bidang referensi vertikal ditentukan berdasarkan Model Geoid yang paling sesuai terhadap muka air laut rata-rata (MSL) lokal. Kegiatan restorasi juga memerlukan informasi ketebalan gambut yang selama ini didasarkan pada pengukuran lapangan. Hal ini memerlukan tenaga, waktu, dan biaya besar, sehingga metode alternatif pemodelan ketebalan gambut sangat diperlukan. Restorasi semua area KHG hampir tidak memungkinkan. Oleh karena itu, identifikasi area prioritas diperlukan, berdasarkan tingkat kerusakan setiap sub-KHG. Sub-KHG terparah merupakan area prioritas restorasi. Area studi dalam disertasi ini yaitu KHG Pulau Tebing Tinggi, KHG S.Mendahara-S.Batanghari, KHG S.Mempawah-S.Peniti, dan KHG S.Kahayan-S.Sebangau. Bidang referensi vertikal ditentukan dengan fitting 10 Model Geoid terhadap MSL lokal melalui koreksi Mean Dynamic Topography (MDT) dari 14 stasiun pasut di Pulau Sumatera. Model geoid yang paling sesuai dengan MSL lokal diaplikasikan pada Model Terin Digital (DTM) LiDAR untuk analisis selanjutnya. Pemodelan ketebalan tanah gambut dilakukan melalui estimasi elevasi tanah mineral yang memperhatikan parameter depressionless DTM, geologi, gravity disturbance, indeks posisi lereng, bentuk lahan, kedalaman lembah, jarak vertikal ke saluran, indeks posisi topografi, indeks kebasahan topografi, dan jarak ke sungai terdekat. Pemodelan dilakukan dengan least square metode parameter untuk menentukan model persamaan dan koefisien setiap parameter, yang melibatkan 100%, 50%, dan 25% data kedalaman gambut. Setiap KHG dibagi dalam beberapa sub-KHG berdasarkan keberadaan puncak kubah gambut, pola streamline, dan outlet utama. Kerusakan sub-KHG diidentifikasi berdasarkan parameter neraca air, periode kering, kelembaban tanah, kerapatan vegetasi, riwayat kebakaran, kemampuan menyimpan air, dan ketebalan gambut. Setiap parameter digunakan untuk merangking kondisi kerusakan sub-KHG. Sub-KHG dengan total rangking terburuk merupakan area prioritas restorasi. Berdasarkan analisis MSL dan model geoid, Geoid Indonesia (MAE=0,314 m) dan MGG IGGT_R1 (MAE=0,327 m) merupakan Model Geoid paling sesuai untuk Pulau Sumatera. Namun apabila dilihat nilai MDT, EIGEN-6C4 (SD=0,195 m) dan EGM2008 (SD=0,230 m) yang terbaik. Pemodelan ketebalan gambut berdasarkan estimasi elevasi tanah mineral menghasilkan model yang berkualitas baik, meskipun penggunaan data lapangan hanya 50% dan 25%. Keakuratan model yang dihasilkan, ditunjukkan dengan nilai MAE±SD 1,010±0,755 m (100% data), 1,031±0,819 m (50% data), dan 1,020±0,845 m (25% data). Penentuan sub-KHG prioritas restorasi ditentukan berdasarkan tingkat degradasi lahan gambut. Pemberian rangking setiap parameter terhadap kondisi sub-KHG merupakan solusi cepat dalam identifikasi tingkat kerusakan. Analisis neraca air memiliki keterkaitan erat dengan kerusakan sub-KHG. Bukti kerusakan dan sebaran area kerusakan dapat diidentifikasi berdasarkan indeks kebasahan tanah, indeks kerapatan vegetasi, dan riwayat kebakaran tahun-tahun terakhir. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap neraca air, periode kering, kelembaban tanah, kerapatan vegetasi, riwayat kebakaran, kemampuan menyimpan air, dan ketebalan gambut, didapatkan kondisi sub-KHG terburuk. Sub-KHG 16, 15, dan 14 merupakan yang terburuk di KHG Kahayan-Sebangau. Sub-KHG 4 merupakan sub-KHG terburuk di KHG Pulau Tebing Tinggi. Dan di KHG Mempawah-Peniti sub-KHG terburuk adalah sub-KHG 1 yang harus diprioritaskan.

The peatlands degradation is caused by human activities, including granting permits and opening forestry and plantation businesses, as well as community activities through opening canals on peatlands. The degradation must be stopped by restoration activities that require good planning and accurate topographic maps. Detailed topographic maps require the most precise elevation reference plane in Peat Hydrological Unit (PHU). The identification of the vertical reference plane is determined by the Geoid Model (GGM) that best corresponds to the local Mean Sea Level (MSL). Restoration activities also require peat thickness information based on field measurements. It involves a lot of energy, time, and cost, so an alternative method of modeling peat thickness is needed. Restoration of the entire PHU is impossible; therefore, it is necessary to identify priority areas based on the damage level of each sub-PHU. The worst sub-PHU is a priority restoration area. The study areas are PHU Tebing Tinggi Island, PHU Mendahara-Batanghari, PHU Mempawah-Peniti, and PHU Kahayan-Sebangau. The vertical reference plane is determined by fitting 10 Geoid Model to local MSL based on MDT correction results from 14 tidal stations on Sumatera Island. The most suited geoid-model to local MSL was applied to DTM LiDAR for further analysis. The peat soil thickness modeling was carried out by estimating the surface elevation of mineral soils. It considers several parameters: depressionless-DTM, geology, gravity-disturbance, slope-position-index, landform, valley depth, vertical distance to channel, topographic-position-index, topographic-wetness-index, and distance to river. The modeling was performed using the parametric OLS method to determine the model equations and coefficients for each parameter, involving 100%, 50%, and 25% of peat depth data. The significance of each parameter is evaluated based on the t-studentized test. Each PHU is divided into several sub-PHUs based on the existence of mini-dome, streamlined pattern, and main outlets. Degraded sub-PHU was identified based on water balance, dry period, soil moisture, vegetation density, fire history, ability to store water, and peat thickness parameters. Each parameter is used to rank the damage condition of each sub-PHU. The worst total ranking of sub-PHU is prioritized for restoration. Based on the analysis of MSL and geoid-model, Geoid Indonesia (MAE=0.314 m) and IGGT_R1 (MAE=0.327 m) were the most suitable geoid model for Sumatra Island. The deviation value of the MDT shows that EIGEN-6C4 (SD=0.195 m) and EGM2008 (SD=0.230 m) are the best geoid model. The peat thickness modeling based on the estimated mineral soil elevation resulted in a good model, utilizing only 50% and 25% of field measurement data. The accuracy of the resulting model is indicated by MAE±SD values of 1,010±0,755 m (100% data), 1,031±0,819 m (50% data), dan 1,020±0,845 m (25% data). The prioritized sub-PHU for restoration is determined based on the level of degradation. Ranking the sub-PHU condition for each parameter is a quick solution for identifying the level of degradation. Water balance analysis has a close relationship with sub-PHU damage. Evidence and distribution of damaged areas can be identified based on soil-wetness-index, vegetation-density-index, and fire-history in recent years. Sub-PHU 16, 15, and 14 were the worst in Kahayan-Sebangau PHU. Sub-PHU 4 is the worst in Pulau Tebing Tinggi PHU. And in Mempawah-Peniti PHU, the worst is sub-PHU 1, which must be prioritized.

Kata Kunci : gambut terdegradasi, prediksi ketebalan gambut, LiDAR gambut, area prioritas