Laporkan Masalah

"Santri Waria" Studi Biografis Shinta Ratri sebagai Pemimpin Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta dalam Menegosiasikan Identitas Gender

PRIMISTA SUKMA D, Muhammad Najib Azca, M.A., Ph.D

2022 | Skripsi | S1 SOSIOLOGI

Penelitian ini mengeksplorasi pengalaman hidup Shinta Ratri dari sebelum dan sesudah Shinta menjadi waria. Di Kotagede, Yogyakarta, aktivitas keagamaan para waria terintegrasi di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang dipimpin oleh Shinta Ratri. Bukan hanya sebagai tokoh yang menginisiasi terbentuknya organisasi kaum waria di Yogyakarta, Shinta Ratri juga melibatkan dirinya sebagai pemimpin dalam suatu perkumpulan waria yang berbasis agama. Shinta Ratri berpartisipasi dalam penyediaan ruang bagi para waria untuk mempelajari ilmu agama serta berkumpul dengan sesamanya. Penelitian ini juga mengeksplorasi berbagai praktik negosiasi yang Shinta lakukan dalam hidupnya sebagai seorang waria. Penelitiaan menggunakan konsep Saba Mahmood sebagai pisau analisisnya. Ketiga konsep yang ditawarkan Saba Mahmood diantaranya konsep norma (norms), agensi (agency), dan tubuh (embodiement). Berdasarkan data yang ditemukan, penelitian ini menemukan adanya berbagai praktik-praktik negosiasi yang dilakukan Shinta Ratri dalam upaya pencapaian pembentukan subjek. Pertama, negosiasi antara Shinta dengan pergolakan batinnya. Kedua, negosiasi Shinta dengan keluarganya. Ketiga, negosiasi Shinta sebagai pemimpin Pondok Pesantren Waria Al-Fatah dengan masyarakat disekitarnya. Penelitian ini juga menemukan titik balik kehidupan Shinta Ratri pada saat Ia bertemu dengan waria lainnya yang membawanya sebagai agen advokasi waria di Yogyakarta. Disisi lain, Shinta Ratri menggunakan tubuhnya dengan jilbab dan mukena sebagai waria dilihat sebagai suatu bentuk pencapaian kesalehan tertentu, tidak sebatas penggunaan simbol semata. Sebagai agen, Shinta tidak mencoba melawan norma yang ada melainkan Ia tetap hidup dalam norma namun tidak kehilangan kapasitas otonom atas dirinya.

This research studied the life experience of Shinta Ratri, prior and after she decided to be a transgender. In Kotagede, Yogyakarta, the religious practice of transgender group is concentrated at Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, led by Shinta Ratri herself. Not only as the initiator, Shinta Ratri is also involved as the leader in a religious-based transgender group (or association) in Yogyakarta. Shinta Ratri was participated on providing a space for transgender group to learn about Islam and accomodate the gatherings. This research also explore various negotation practices which has been done by Shinta as a transgender. Using Saba Mahmood concept as the gate of analysis, this research studied the three concepts from Saba Mahmood, there are: norms, agency, and embodiement. According to research findings, there are several negotiation practices that Shinta did in order to reach the subjectivity. First, the negotiation between Shinta and her inner conflict. Second, the negotiation between Shinta and her family. Third, the negotiation of Shinta as a leader of Pondok Pesantren Waria Al-Fatah with surrounding community. This research also finds the turning point of Shinta's life when she met another transgenders that brought her to be an agent to advocate transgender groups in Yogyakarta. On the other side, when Shinta Ratri wears hijab and mukena while being a transgender, it is considered as an achievement of a certain pious, rather than a symbol. As an agent, Shinta did not try to confront the exisiting norms. She live in the norms as is while keep holding her autonomy as an individual.

Kata Kunci : life history, transgender, moeslim, gender

  1. S1-2022-394678-Abstract.pdf  
  2. S1-2022-394678-bibliography.pdf  
  3. S1-2022-394678-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2022-394678-title.pdf