Laporkan Masalah

Kontestasi Memori Sosial dan Identitas Kewarganegaraan: Studi Interpretasi atas Negosiasi Kekerasan Massal 1965-1966 dan Artikulasinya sebagai Basis Kewarganegaraan Baru di Kupang, Nusa Tenggara Timur

MATTHEW ALEXANDER W, Fuji Riang Prastowo, S.Sos., M.Sc.

2022 | Skripsi | S1 SOSIOLOGI

Negosiasi terhadap narasi umum kekerasan dan pembunuhan massal tahun 1965-1966 masih berlangsung sampai saat ini demi mengikis kesalahpahaman dan stigma anti-komunis. Hal ini terjadi lantaran negara masih enggan menyelesaikan kasusnya secara yudisial dan merekognisi penyintas sebagai korban kekerasan struktural, menjadikan situasi intimidasi dan impunitas bertahan lebih lama bagi para penyintas dan keluarga mereka. Studi ini menyoroti bagaimana memori sosial berperan aktif dalam menegosiasikan kesalahpahaman dan stigma anti-komunis pada dua level, yakni keluarga dan komunitas sosial. Memori sosial dipilih sebagai titik masuk berdasarkan peran transformatifnya untuk membentuk kesadaran publik karena mengandung pengalaman personal dan struktural akan kekerasan. Sifat transformatif ini tentu tidak lepas dari aktivitas reproduksi memori secara produktif. Maka dari itu, penceritaan kembali pengalaman traumatis kepada generasi kedua dan ketiga di level keluarga serta negosiasi narasi kebenaran di level masyarakat sipil menjadi dinamika penting yang diidentifikasi dalam studi berikut. Menggunakan metode penelitian riwayat hidup (life history) dan analisis deskriptif kualitatif, dengan ruang lingkup Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, studi ini mendapati bagaimana penceritaan kembali pengalaman traumatis di masa lalu di lingkungan keluarga memupuk kepercayaan diri generasi pertama untuk bercerita lebih banyak dan bersedia bernegosiasi di dalam komunitas sosial masing-masing, sebagai cara untuk menarik dukungan ataupun berkonfrontasi dengan klaim kebenaran umum. Bagi penyintas yang masih memiliki sedikit keraguan dan memilih anonim, ini merupakan bagian dari strategi subjek untuk menghindari insiden di lingkungan sosial sekitar. Pada generasi kedua dan ketiga dari penyintas, keterbukaan orang tua mendorong mereka untuk mencari tahu lebih banyak asal-usul tragedi yang menimpa orang tua mereka dan bersedia bernegosiasi dengan generasi sebaya maupun orang lain. Ini juga terjadi pada generasi kedua dari pelaku kekerasan yang mengawalinya dengan transisi sikap setelah orang tua mengakui kesalahan di masa lalu. Dengan temuan-temuan itu, studi ini menggarisbawahi bagaimana reproduksi memori sosial secara produktif membantu penyintas serta generasi kedua dan ketiga, termasuk generasi kedua pelaku kekerasan, keluar dari trauma dan derita sosial-politik berkepanjangan, pun dengan kesalahpahaman soal kekerasan dan pembunuhan massal yang diterima dari kecil. Dari sini, secara teoretis, memori sosial memberi alternatif bagi para penyintas untuk memulihkan identitas kewarganegaraannya. Lantaran berlangsung secara terbatas pada dua level dan di luar saluran politik formal (non-struktural), reproduksi memori sosial kemudian dipahami beroperasi di akar rumput sebagai cara memulihkan identitas kewarganegaraan penyintas secara independen dari pengabaian negara.

Negotiations on the general narrative of the violence and mass killings of 1965-1966 are still ongoing today to eradicate misunderstandings and anti-communist stigma. This happens because the state is still reluctant to resolve cases judicially and recognize survivors as victims of structural violence, making situations of intimidation and impunity last longer for survivors and their families. This study highlights how social memory plays an active role in negotiating anti-communist misunderstandings and stigma at two levels: family and social community. Social memory was chosen as the entry point based on its transformative role in shaping public awareness because it contains personal and structural experiences of violence. This transformative nature certainly cannot be separated from productive memory reproduction activities. Therefore, the retelling of traumatic experiences to the second and third generations at the family level and the negotiation of truth narratives at the civil society level are important dynamics identified in the following study. Using life history research methods and qualitative descriptive analysis, with the scope of Kupang Regency, East Nusa Tenggara, this study finds how retelling of past traumatic experiences in the family environment fosters the confidence of the first generation to tell more stories and their willingness to negotiate within their respective social communities, as a way of attracting support or confronting common truth claims. For survivors who still have some doubts and choose to remain anonymous, this is part of the subject����¯�¿�½���¯���¿���½����¯�¿�½������¢����¯�¿�½������¯����¯�¿�½������¿����¯�¿�½������½����¯�¿�½������¯����¯�¿�½������¿����¯�¿�½������½s strategy to avoid incidents in the surrounding social environment. In the second and third generations of survivors, parental openness encourages them to find out more about the origins of the tragedy that befell their parents and to be willing to negotiate with their peers and other generations. This is also true for the second generation of perpetrator who begin with an attitude transition after the parents admit their past mistakes. With these findings, this study underscores how productive reproduction of social memory helps second and third-generation survivors, including second-generation perpetrators of violence, escape the trauma and prolonged socio-political suffering, even with misconceptions about violence and mass killings received since childhood. From here, theoretically, social memory provides an alternative for survivors to recover their political identity. Because it is limited to two levels and outside of formal (non-structural) political channels, the reproduction of social memory is then understood to operate at the grassroots as a way of recovering the citizenship identity of survivors independently of state neglect.

Kata Kunci : memori sosial, riwayat hidup, kekerasan massal, pembunuhan massal, anti-komunis, kewarganegaraan akar rumput

  1. S1-2022-409930-Abstract.pdf  
  2. S1-2022-409930-Bibliography.pdf  
  3. S1-2022-409930-TableofContent.pdf  
  4. S1-2022-409930-Title.pdf