Analisis Spasial Kerawanan Penyakit Antraks: Pendekatan Risiko Berbasis Ekologi dan Veteriner di Kabupaten Gunungkidul
ASMI RIZAL ABDILLAH, dr. Riris Andono Ahmad, MPH., PhD.
2021 | Tesis | MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKATLatar belakang: Antraks ditemukan di semua benua di dunia kecuali Antartika. Outbreak antraks pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1832 dan hingga saat ini sudah endemis di 11 Provinsi. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Propinsi DIY dengan status endemis antraks. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan faktor risiko ekologi dan veteriner serta distribusi dan pemodelan spasial clustering kasus antraks di Kabupaten Gunungkidul. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain matched case-control dengan pendekatan ekologi dan veteriner yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan teknik statistik pada kasus dan kontrol antraks di Kabupaten Gunungkidul tahun 2019-2020. Kriteria inklusi adalah semua orang dengan suspek atau probable atau konfirm antraks yang berdomisili di Kabupaten Gunungkidul dan diidentifikasi pada tahun 2019-2020. Kriteria eksklusinya adalah kasus antraks yang identitasnya kasus tidak tercatat dalam formulir penyelidikan epidemiologi antraks. Analisis spasial yang digunakan adalah average nearest neighbor, overlay, Split Windows Algorithm (SWA), Inverse Distance Weighting (IDW), Getis-Ord Gi*, dan buffer. Analisis multivariat menggunakan poisson regression. Hasil: Prevalensi kasus antraks di Kabupaten Gunungkidul adalah sebesar 50,84% dengan menggunakan pemeriksaan serologi, sedangkan prevalensi kontrol antraks di Kabupaten Gunungkidul adalah 100%. Distribusi kasus dan kontrol antraks paling banyak berada di Kecamatan ponjong yakni 77,68% pada periode 14-20 Desember 2019. Hasil identifikasi pola sebaran kasus dan kontrol antraks dengan menggunakan analisis average nearest neighbor adalah mengelompok (clustered). Hasil analisis yakni curah hujan berhubungan signifikan dengan kejadian antraks di Kabupaten Gunungkidul dengan nilai koefisien 0,89 (p-value=0,000; 95%CI=1,4885 - 3,9848). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa IRR curah hujan adalah sebesar 2,43 (p-value=0,000; 95%CI=1,4885 - 3,9848). Program vaksinasi ternak di Kabupaten Gunung dilakukan dengan menggunakan ring radius yang diukur dari pusat terjadinya antraks pada hewan yakni 2km, 3km, 5km, dan 10km. Terdapat dua klaster antraks dan belum ada perluasan klaster antraks di Kabupaten Gunungkidul. Kesimpulan: Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah dengan endemis antrkas yang kasusnya cenderung terjadi di musim penghujan. Pemberian edukasi secara berkala kepada masyarakat dan peningkatan mutu surveilans antraks pada manusia dan hewan serta vaksinasi ternak dapat meminimalkan kasus antraks di Kabupaten Gunungkidul.
Background: Anthrax is found on all continents of the world except Antarctica. Anthrax outbreaks first occurred in Indonesia in 1832 and until now have been endemic in 11 provinces. Gunungkidul District is one of the districts in DIY Province with an endemic status of anthrax. The study aimed to identify the relationship of ecological and veterinary risk factors as well as the distribution and spatial modeling of anthrax case clustering in Gunungkidul District. Methods: This study uses matched case-control design with ecological and veterinary approaches integrated with Geographic Information Systems (GIS) and statistical techniques on anthrax cases and controls in Gunungkidul District in 2019-2020. The inclusion criteria are all people with suspects or probable or confirmed anthrax domiciled in Gunungkidul District and identified in 2019-2020. The exclusion criteria is an anthrax case whose identity is not recorded in the anthrax epidemiological investigation form. Spatial analysis used is an average nearest neighbor, overlay, Split Windows Algorithm (SWA), Inverse Distance Weighting (IDW), Getis-Ord Gi*, and buffer. The multivariate analysis uses Poisson regression. Results: The prevalence of anthrax cases in Gunungkidul District is 50.84% using serological examination, while the anthrax control in Gunungkidul District is 100%. The distribution of cases and control of anthrax mostly in the Ponjong subdistrict was 77.68% in 14-20 December 2019. Identification of case and control anthrax distribution patterns using average nearest neighbor analysis are clustered. Rainfall is significantly related to anthrax events in Gunungkidul District with a coefficient value of 0.89 (p-value = 0.000; 95% CI = 1.4885 - 3.9848). The results of the analysis also showed that the rainfall IRR was 2.43 (p-value=0.000; 95%CI=1.4885 - 3.9848). The livestock vaccination program in Gunungkidul District is carried out using a ring radius measured from the center of anthrax in animals, namely 2km, 3km, 5km, and 10km. There are two anthrax clusters and has been no expansion of anthrax clusters in Gunungkidul District. Conclusion: Gunungkidul District is an endemic area of anthrax whose cases tend to occur in the rainy season. Providing regular education to the community, improving the quality of anthrax surveillance in humans and animals, and vaccination of livestock can minimize anthrax cases in Gunungkidul District.
Kata Kunci : Antraks, Distribusi Spasial, Prevalensi, Surveilans, Veteriner