Laporkan Masalah

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MENUJU KEDAULATAN PANGAN ( Studi Kasus Desa Delanggu, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah)

JERY QADAVI, Suripto, Dr.,S.I.P.,M.P.A

2022 | Tesis | MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pemberdayaan masyarakat Desa Delanggu, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Proses pemberdayaan di Desa Delanggu menarik utuk diteliti karena disamping sejarah Desa Delanggu yang terkenal sebagai penghasil beras Rojolele, saat ini di desa ini terdapat sebuah komunitas yang bernama Sanggar Rojolele. Komunitas ini merupakan sebuah sanggar seni budaya, yang saat ini berkembang menjadi ruang belajar dan pergerakan masyarakat dalam membahas persoalan pertanian di Desa Delanggu. Melalui penelitian ini penulis akan mendeskripsikan proses pemberdayaan yang sedang dilaksanakan dan menguraikan dampak dan hambatan yang dihadapi selama proses pemberdayaan serta implikasinya terhadap pencapaian kedaulatan pangan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan pengumpulan data sekunder. Teknik analisis data yang dilakukan meliputi mempersiapkan dan mengorganisir data, reduksi data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan.Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pemberdayaan masyarakat oleh Ife & Tesoriero (2006) dan Mardikanto & Soebiato (2019), sedangkan konsep kedaulatan pangan dijelaskan melalui teori yang dirumuskan oleh International Planning Committee (IPC) dalam Syahyuti (2011) dan Propantoko dkk (2019). Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberdayaan dilakukan melalui tiga cara yaitu pendekatan seni budaya, peningkatan keterampilan petani, dan rekayasa marketing. Temuan dilapangan menunjukan bahwa pendekatan seni budaya menjadi kunci sukses dalam menggalang partisipasi masyarakat dimana Sanggar Rojolele menjadi aktor utamanya. Ife & Tesoriero (2006) menjelaskan bahwa partisipasi dipandang sebagai unsur vital dalam pemberdayaan masyarakat. Dilihat dari aspek kedaulatan pangan, pemberdayaan yang telah berjalan telah mengarah pada empat pilar kedaulatan pangan yang dirumuskan IPC dalam Syahyuti (2011), yaitu: (1) akses terhadap sumber-sumber daya produktif; (2) sistem produksi yang ramah lingkungan; (3) hak terhadap pangan; serta (4) perdagangan dan pasar lokal yang adil. Meskipun demikian pemberdayaan yang berjalan belum mampu mewujudkan konsep kedaultan pangan yang seutuhnya. Hal ini disebabkan tidak semua indikator kedaulatan pangan yang dirumuskan Propantoko dkk (2019) tercapai dalam proses pemberdayaan ini (rasio gini tanah, kemudahan dalam mengakses permodalan, dan pengelolaan resiko). Terdapat empat hambatan utama dalam proses pemberdayaan yaitu: ketimpangan tanah yang tinggi, kelembagaan kelompok tani yang belum didukung administrasi yang baik, pemasaran beras masih tergantung mitra marketing dari luar, dan Desa Delanggu belum memiliki unit penggilingan padi sendiri.

Abstract This study aims to describe the process of community empowerment in Delanggu Village, Delanggu District, Klaten Regency, Central Java in realizing food sovereignty. The empowerment process in Delanggu Village is interesting to study because in addition to the history of Delanggu Village which is famous as a producer of Rojolele rice, currently in this village there is a community called Sanggar Rojolele. This community is an art and culture studio, which is currently developingbecome a learning space and community movement in discussing agricultural issues in Delanggu Village. Through this research, the writer will describe the empowerment process that is being implemented and describe the impacts and obstacles faced during the empowerment process and their implications for the achievement of food sovereignty. This study uses a qualitative method with a case study approach. Data was collected by observation, interviews, and secondary data collection. Data analysis techniques carried out include preparing and organizing data, data reduction, data interpretation, and drawing conclusions. The main theory used in this study is the theory of community empowerment byIfe & Tesoriero (2006)andMardikanto & Soebiato (2019), while the concept of food sovereignty is explained through a theory thatformulated byInternational Planning Committee(IPC)in Syahyuti (2011) and Propantoko et al (2019). The results of the study show that empowerment is carried outthrough three ways, namely the arts and culture approach, improving farmer skills, and marketing engineering. Findings in the field show that the cultural arts approach is the key to success in mobilizing community participation where the Rojolele Studio is the main actor. Ife & Tesoriero (2006) explain that participation is seen as a vital element in community empowerment. From the aspect of food sovereignty,The ongoing empowerment has led to the four pillars of food sovereignty formulated by IPC in Syahyuti (2011), namely: (1) access to productive resources; (2) environmentally friendly production system; (3) the right to food; and (4) fair trade and local markets. However, the ongoing empowerment has not been able to realize the concept of complete food sovereignty. This is because not all indicators of food sovereignty have been formulated Propantoko et al (2019) were achieved in this empowerment process (land Gini ratio, ease of accessing capital, and risk management).There are four main obstacles in the empowerment process, namely: high land inequality, farmer group institutions that have not been supported by good administration, rice marketing still depends on outside marketing partners, and Delanggu Village does not yet have its own rice mill unit.

Kata Kunci : Pemberdayaan masyarakat, Kedaulatan Pangan, Rojolele, Desa Delanggu, Kabupaten Klaten

  1. S2-2022-466814-abstract.pdf  
  2. S2-2022-466814-bibliography.pdf  
  3. S2-2022-466814-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2022-466814-title.pdf