Menakar Peluang Rekonsiliasi di Aceh (Studi Kasus: Rencana Fasilitasi Rekonsiliasi oleh KKR Aceh di Kabupaten Bener Meriah)

MUHAMMAD FAHRY, Diah Kusumaningrum, Ph.D

2022 | Tesis | MAGISTER KETAHANAN NASIONAL

Studi tentang rekonsiliasi meningkat pasca perhatian terhadap keadilan transisi diakhir dekade Abad ke Sembilan Belas. Salah satu mekanisme untuk mencapai rekonsiliasi ialah melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Komisi ini bertujuan untuk menelusuri kejadian pada masa konflik di sebuah wilayah dengan mekanisme yang paling sering digunakan yaitu: Pengungkapan kebenaran, penyembuhan, dan rekonsiliasi itu sendiri. Komisi ini biasanya dibentuk melalui inisiatif pemerintah pada tingkatan nasional maupun wilayah. Pada konteks Aceh, pembentukan KKR merupakan amanat dari nota kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia pada tahun 2005 yang kemudian dituangkan pada Undang-undang Pemerintah Indonesia Tahun 2006 dan Qanun Pemerintah Aceh Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Pembentukan KKR di Aceh. Laporan periode KKR Aceh tahun 2020 menyebutkan bahwa KKR Aceh sedang mempersiapkan rencana fasilitasi rekonsiliasi di Bener Meriah. Agenda rekonsiliasi di Bener Meriah sekaligus menjadi agenda perdana rekonsiliasi yang berdasarkan peran dari KKR Aceh. Tulisan ini menganalisis fenomena rencana rekonsiliasi di Bener Meriah menggunakan sudut pandang studi perdamaian dan resolusi konflik. Pada wilayah Bener Meriah, konflik yang terjadi tidak hanya pada konteks GAM dan Pemerintah Republik Indonesia saja. Namun, juga terjadi pada etnis yang ada disana, yaitu: Gayo, Jawa, dan Aceh. Kehadiran KKR Aceh memberikan harapan pada masyarakat di Bener Meriah untuk bersatu kembali pasca hancurnya bangunan kohesi sosial masyarakat di sana.

The study of reconciliation increased after attention to transitional justice increased at the end of the decade of the Nineteenth Century. One of the mechanisms for achieving reconciliation is through the establishment of a Truth and Reconciliation Commission (KKR). The Commission aims to trace events during times of conflict in a region with the most frequently used mechanisms: Disclosure of truth, healing, and reconciliation itself. This commission is usually formed through government initiatives at the national and regional levels. In the context of Aceh, the establishment of KKR is the mandate of the memorandum of understanding between the Free Aceh Movement and the Government of Indonesia in 2005 which was then outlined in the Indonesian Government Law of 2006 and Qanun of the Government of Aceh Number 17 of 2013 concerning the Establishment of KKR in Aceh. The report of the KKR Aceh period in 2020 mentions that KKR Aceh is preparing a reconciliation facilitation plan in Bener Meriah. The reconciliation agenda in Bener Meriah is also the first agenda of reconciliation based on the role of KKR Aceh. This paper analyzes the phenomenon of reconciliation plans in Bener Meriah using the point of view of peace studies and conflict resolution. In the Bener Meriah region, the conflict that occurred is not only in the context of GAM and the Government of the Republic of Indonesia. However, it also occurs in the ethnicities there, namely: Gayo, Java, and Aceh. The presence of KKR Aceh gives hope to the community in Bener Meriah to reunite after the destruction of the community's social cohesion building there.

Kata Kunci : Studi perdamaian dan resolusi konflik, Rekonsiliasi, KKR Aceh, Bener Meriah.