Laporkan Masalah

SULAPPA EPPA SEBAGAI BASIS TATA RUANG PERMUKIMAN KOMUNITAS TOWANI-TOLOTANG DI WANUA AMPARITA Kecamatan Tellu LimpoE, Kabupaten Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan

MASHURI, D.Eng. Ir. Ahmad Sarwadi, M.Eng., IPM; Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MURP, Ph.D; Ardhya Nareswari, S.T., M.T., Ph.D

2022 | Disertasi | DOKTOR ARSITEKTUR

Keragaman dalam bahasa, agama, suku, adat dan kepercayaan yang melimpah menjadikan Indonesia terkenal tidak hanya kaya dalam hal sumber daya alam, namun juga dalam hal keanekaragaman budaya dan istiadat. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan terhadap suku dan kepercayaan di Indonesia menunjukkan bahwa nilai-nilai dan gagasan dalam suku dan kepercayaan menjadi sumber dalam menata ruang permukimannya. Komuniats Towani-Tolotang yang bermukim di Wanua Amparita adalah salah satu komunitas yang masih mempertahankan kepercayaan lokal yaitu kepercayaan sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan.Beberapa penelitian terhadap komunitas ini belum mengungkap hubungan interelasi antar ruang dalam permukimannya. Fenomena ritual adat, makam, bukit, dan orientasi rumah yang ditemukan dilapangan memunculkan pertanyaan penelitian yakni apa hakekat tata ruang komunitas Towani-Tolotang di Wanua Amparita yang harus ditemukan jawabannya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi secara mendalam dan mengungkap teori lokal tentang tata permukiman dataran dalam ekosistem persawahan berdasarkan evidensi komunitas Towani-Tolotang di Wanua Amparita. Fenomena Wanua Amaprita diyakini memiliki realitas ganda, sehingga untuk dapat menggali makna dibalik dua realitas tersebut digunakan paradigma fenomenologi. Metode fenomenologi dimulai dengan melakukan grandtour sebagai langka awal dalam menggali fenomena dan dilanjutkan dengan minitour sebagai pendalamannya. Analisis induktif yang dilakukan secara terus menerus hingga menghasilkan kebenaran yang tertinggi melalui reduksi transendental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sulappa eppa (empat unsur, sisi, orientasi) menjadi basis dalam tata ruang permukiman komunitas Towani-Tolotang di Wanua Amparita sebagai bentuk kepatuhan kepada leluhur dan Dewata SeuwaE. Terdapat empat unsur,sisi, orientasi yang menjadi pedoman dalam penataan ruang permukiman komunitas Towani-Tolotang, yaitu tompo (terbit) diwakili oleh unsur api yang bermakna keberanian, labu (terbenam) diwakili oleh unsur air yang bermakna kesucian, ulu (atas) diwakili oleh unsur angin yang bermakna kebesaran, dan toddang (bawah) diwakili oleh unsur tanah yang bermakna kekuatan magis yang melandasi tiga konsep, yaitu (1) sipulung (tempat berkumpul), (2) toriolota (kosmologi), dan (3) marellau (sakral-profan). Konsep sipulung mengatur tatanan tempat berkumpul dalam skala makro (wanua) yaitu makam I Pabbere dan bulu Loa; skala meso (lingkungan) yaitu hunian para uwatta, uwa dan wija-wija, dan skala mikro (rumah) yaitu rakkeang-watang pola-awa bola, dan lontang risalieng-lontang ritengnga-lontang rilaleng. Konsep toriolota mengatur tatana ruang permukiman dalam skala makro (wanua) yaitu makam I Pabbere dan bulu Loa adalah orientasi sakral karena berada pada arah labu (terbenam) yang bermakna kesucian, permukiman komunitas Towani-Tolotang adalah orientasi profan karena berada pada arah tompo (terbit) yang bermakna keberanian; skala meso (lingkungan) menempatkan hunian para uwata dan uwa sebagai orientasi sakral karena berada pada arah ulu (atas) yang bermakna kekuasaan, hunian wija-wija sebagai orientasi profan karena berada pada arah toddang ( bawah) yang bermakna kekuatan magis; skala mikro (rumah) menempatkan orientasi rumah ke arah tompo-labu (terbit-terbenam). Konsep marellau mengatur tatanan ruang permukiman dalam konteks ruang sakral-profan dalam skala makro,meso,dan mikro. Skala makro, makam I Pabbere dan bulu Loa berada pada ruang sakral arah labu (terbenam), permukiman Towani-Tolotang berada pada ruang profan arah tompo (terbit); skala meso, hunian para uwatta dan uwa berada pada ruang sakral pada arah ulu (atas), hunian wija-wija pada ruang profan pada arah toddang (bawah); skala mikro, rakkeang, watang-pola, lontang risaliweng dan lontang ritengnga sebagai ruang sakral, awa-bola sebagai ruang profan. Secara teoritk Sulappa Eppa merupakan teori permukiman dataran dalam ekosistem persawahan dengan ciri relasi sosial-simbolik-spasial spiritual (sosio-symbolic-spiritual spatial).

The abundance of diversity in language, religion, ethnicity, customs, and beliefs makes Indonesia famous in natural resources and cultural diversity. Some of the research results on ethnic groups and beliefs in Indonesia show that the values and ideas of ethnic groups and beliefs are the sources of spatial planning for their settlements. The Towani-Tolotang community who live in Wanua Amparita is one of the communities that still maintain local beliefs, namely beliefs before the arrival of Islam in South Sulawesi. Several studies on this community have not revealed the interrelationships between spaces in their settlements. The phenomenon of traditional rituals, tombs, hills, and house orientations found in the field raises research questions that must be discovered; what is the nature of the spatial layout of the Towani-Tolotang community in Wanua Amparita? The purpose of this study is to explore in-depth and reveal local theories about plains settlements in the rice field ecosystem based on the evidence of the Towani-Tolotang community in Wanua Amparita. The phenomenon of Wanua Amaprita is believed to have a dual reality. The phenomenological paradigm is considered appropriate to explore the meaning behind the two realities. The phenomenological method starts with a grand tour as an initial step in exploring the phenomenon and continues with a mini-tour as a deepening phase. Inductive analysis is carried out continuously to produce the highest truth through transcendental reduction. The results shows that sulappa eppa (four elements, sides, orientation) became the basis in the spatial layout of the Towani-Tolotang community in Wanua Amparita as a form of obedience to ancestors and the Gods of SeuwaE. Four elements, sides, orientations that serve as guidelines in spatial planning for the Towani-Tolotang community settlements, namely tompo (rising) represented by the fire element, which means courage, labu (sunset) represented by the water element, which means holiness, Ulu (top) is represented by the wind element, which means greatness, and toddang (bottom) is represented by the earth element which means magical power. They underlie three concepts encompassing (1) sipulung (a gathering place), (2) toriolota (cosmology), and (3) marellau (sacred-profane). The sipulung concept regulates the arrangement of gathering places on a macro (wanua) scale, namely the tomb of I Pabbere and Bulu Loa, meso (environment), namely the dwelling of the uwatta, uwa and wija-wija, and micro (house) namely rakkeang-watang pola-awa bola, and lontang risalieng-lontang ritengnga-lontang rilaleng. The toriolota concept regulates the spatial arrangement of settlements on a macro scale (wanua), namely the tomb of I Pabbere and Bulu Loa is a sacred orientation because it is in the direction of the labe (sunset), which means holiness, the Towani-Tolotang community settlement is a profane orientation because it is in the direction of tompo (rising) which means bravery; the meso (environmental) scale places the dwellings of the uwatta and uwa as sacred orientations because they are in the direction of the ulu (upper) which means greatness, the dwellings of wija-wija as profane orientation because they are in the direction of toddang (bottom) which means magical power; the micro scale (house) places the orientation of the house towards tompo-labu (rise-sunset). The concept of marellau regulates the spatial arrangement of settlements in the context of sacred-profane space on a macro, meso, and micro scale. On a macro scale, the tombs of I Pabbere and Bulu Loa are in the sacred space in the direction of the labu (sunset). The Towani-Tolotang settlement is in the profane room in the direction of the tompo (rising); meso scale, the dwellings of the uwa'ta and uwa' are in the sacred space in the ulu direction (above). In addition, the wija-wija dwellings is in the profane space in the toddang direction (bottom); micro scale, rakkeang, watang-pola, lontang risaliweng and lontang ritengnga as sacred space, awa-bola as profane space. Theoretically, Sulappa Eppa is a theory of plains settlement in a rice field ecosystem with the characteristics of socio-symbolic-spiritual spatial relations.

Kata Kunci : Wanua Amparita, Sipulung, Toriolota, Marellau, Sulappa' Eppa

  1. 1. S3-2022-405421-title.pdf.pdf  
  2. 2. S3-2022-405421-tableofcontent.pdf.pdf  
  3. 3. S3-2022-405421-abstract.pdf.pdf  
  4. 6. S3-2022-405421-bibliography.pdf.pdf  
  5. S3-2022-405421-abstract.pdf.pdf  
  6. S3-2022-405421-bibliography.pdf.pdf  
  7. S3-2022-405421-tableofcontent.pdf.pdf  
  8. S3-2022-405421-title.pdf.pdf