Laporkan Masalah

KEBIJAKAN MARITIM KOLONIAL ATAS SUMBER DAYA KEPULAUAN ARU 1893-1949

RANGGA ARDIA RASYID, Dr. Agus Suwignyo, M.A.

2021 | Skripsi | S1 SEJARAH

Kepulauan Aru yang terletak di bagian Maluku Selatan memiliki keunikan tersendiri dalam sejarahnya di antara kepulauan rempah-rempah. Berbeda dengan wilayah Ternate, Tidore atau Ambon, interaksi yang terjadi di Kepulauan Aru dibangun atas hasil perairan di sekitarnya; mutiara, kulit tiram mutiara, dan teripang. Sumber daya yang telah lama menghubungkan Aru dengan pedagang dari Makassar, Gorom, Seram, dan Tiongkok, juga berhasil mengundang perhatian perusahaan mutiara Australia di akhir abad ke-19. Industri mutiara Australia yang telah ada sejak 1860an talah memperluas operasinya ke perairan Kepulauan Aru. Namun Hindia Belanda yang telah merintis kekuasaannya sejak masa VOC (Vereenigde Oost Indishce Compagnie) di Aru, melihatnya sebagai pelanggaran batas negara. Tiba-tiba sumber daya Aru menciptakan polemik yang direspon pemerintah kolonial dengan mengeluarkan Ordonansi Mutiara 1893 No.261. Ordonansi ini adalah kebijakan pertama pemerintah kolonial tentang industri mutiara di Hindia Belanda. Meski Ordonansi 1893 No.261 melarang pengambilan sumber daya laut tanpa seizin Hindia Belanda, hanya 12 tahun setelahnya pemerintah kolonial mengizinkan perusahaan Australia yang didirikan di Hindia Belanda, Celebes Trading Company, untuk mengambil mutiara. Menjadi perusahaan asing pertama yang diizinkan secara ekslusif mengeksploitasi perairan Aru. Perspektif baru pemerintah kolonial mengenai sumber daya alam tersebut menjadi awal mulai dari perjalanan industri ekstraktif di Kepulauan Aru. Penelitian ini bertujuan untuk memahami kebijakan pemerintah kolonial terkait sumber daya alam di Kepulauan Aru sepnjang periode 1893-1949. Dengan sumber primer berupa arsip kolonial, maka akan terlihat hubungan sumber daya alam dalam pembentukan sejarah kolonial di Kepulauan Aru. Penelitian ini juga akan menggunakan sumber sekunder seperti buku dan jurnal untuk lebih melancarkan penjelasan kerangka konseptualnya.

The Aru Islands, situated southeast from the main Moluccas Islands, has long been the main source for unique exotic commodities. Differing from the proper islands of Banda, Ternate, or Tidore, the Aru Islands mainly produce exotic marine-based commodities such as pearshell, pearl, and edible sea cucumber called teripang. With such commodities, various traders from Makassar, Gorom, Seram, and China had sojourned the islands since the early days of tradings in Eastern Indonesia. This exotic trade experienced huge growth throughout the 19th century and invited foreign ships from Australia to search the waters for pearshells. With their vastly superior equipment and a robust industry dating back to the 1860s, the Netherlands East Indies administration in the Southern Moluccas saw these foreign ships as a direct threat to the colonial claim of the islands. A claim that had existed since the days of the VOC (Vereenigde Oost Indishce Compagnie). To counter the Australian trespassers, the Netherlands Indies published Ordinance No. 261 in 1893, forbidding any foreign enterprise to search within the 3 mile limit for mother-of-pearl, pearshell, and teripang. This drastic measure was then amended in the 1900s to allow the search of such sea products by private enterprises. The sudden change in the Netherlands Indies attitude toward such activities made the Australian-based company, Celebes Trading Company, to successfully apply an exclusive concession in the Aru Islands. Through colonial archives, this study aims to pinpoint the reasons and motives behind colonial policy regarding marine-based resources in Aru Islands and to understand the power of natural resources in shaping the islands history

Kata Kunci : Kepulauan Aru, Hindia Belanda, sumber daya alam, mutiara.

  1. S1-2021-415006-abstract.pdf  
  2. S1-2021-415006-bibliography.pdf  
  3. S1-2021-415006-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2021-415006-title.pdf