Laporkan Masalah

Kebijakan Formulasi Mengenai Keadaan Tertentu Sebagai Alasan Pemberatan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi

M TAKDIR AL MUBARAQ, Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M.(HR)., Ph.D

2021 | Tesis | MAGISTER ILMU HUKUM

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis legal reasoning unsur keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPK dijadikan sebagai pemberatan pidana mati, implikasi yang ditimbulkan kebijakan formulasi Pasal 2 ayat (2) UU PTPK terhadap penegakan hukum dan reformulasi keadaan tertentu sebagai alasan pemberatan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di masa mendatang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap responden dan narasumber dan data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduksi dan induksi secara bergantian. Penelitian ini mempunyai tiga kesimpulan. Pertama, legal reasoning unsur keadaaan tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) UU PTPK dijadikan sebagai pemberatan pidana mati adalah: 1) memberikan pelajaran bagi calon pelaku korupsi, 2) melihat akibat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi dan 3) perbuatan korupsi dilakukan dalam keadaan khusus. Kedua, implikasi yang ditimbulkan kebijakan formulasi Pasal 2 ayat (2) UU PTPK terhadap penegakan hukum adalah: 1) pemberatan pidana mati tidak dapat diberlakukan pada tindak pidana korupsi dimasa bencana non alam karena KPK bertindak hanya berdasarkan apa yang ditentukan oleh undang-undang, 2) pemberatan pidana mati hanya berlaku pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) sehingga pengulangan tindak pidana korupsi diluar dari Pasal 2 ayat (2) tidak dapat diberikan pemberatan pidana, 3) kesamaan unsur tindak pidana pada Pasal 2 dan Pasal 3 seringkali digunakan oleh terdakwa untuk mendapatkan hukuman yang lebih rendah. Ketiga, reformulasi mengenai keadaan tertentu sebagai alasan pemberatan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi dimasa mendatang adalah: 1) penambahan frasa bencana non alam terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU PTPK, 2) Pidana penjara seumur hidup dan membayar uang pengganti senilai sama dengan nilai kerugian yang ditimbulkan sebagai pemberatan pidana.

This study aims to analyze certain legal reasoning in certain circumstances in Article 2 paragraph (2) of the Indonesian Corruption Law as a weighting for the death penalty, the implementation of the criminal policy of Article 2 paragraph (2) of the Indonesion Corruption Law on law enforcement by the KPK and reformulation of disaster situations not natural as the reason for the weighting of the death penalty for perpetrators of criminal acts of corruption in the future. This research is a type empirical normative research that uses primary data and secondary data. Primary data is obtained from interviews with respondents and sources and secondary data consists of primary, secondary and tertiary legal materials. The data analysis used descriptive qualitative with alternate deduction and induction conclucions. This study has three conclusions. First, legal reasoning elements of certain circumstances in Article 2 paragraph (2) of the Indonesian Corruption Law used as a weighting for the death penalty are: 1) providing lessons for potential perpetrators of corruption, 2) seeing the consequences of acts of corruption and 3) acts of corruption are carried out in special circumstances. Second, the implications of the criminal policy of Article 2 paragraph (2) of the Indonesian Corruption Law on law enforcement are: 1) the weighting of the death penalty cannot be applied to criminal acts of corruption during non-natural disasters because the KPK acts only based on what is determined by law, 2) weighting The death penalty only applies to the provisions of Article 2 paragraph (2) so that repetition of criminal acts of corruption outside of Article 2 paragraph (2) cannot be given a criminal weight, 3) the similarity of elements of criminal acts in Article 2 and Article 3 are often used by defendants to get punishment the lower one. Third, reformulation regarding certain circumtances as the reason for the weighting of the death penalty for perpetrators of criminal acts of corruption in the future: 1) the addition of the phrase non-natural disaster to the explanation of Article 2 paragraph (2) in the Indonesian Corruption Law, 2) Imprisonment for life and paying money in proportion to the value of the loss incurred as a punishment weighting.

Kata Kunci : Kebijakan Formulasi, Tindak Pidana Korupsi, Pidana Mati, Keadaan Tertentu, Pemberatan Pidana

  1. S2-2021-448114-abstract.pdf  
  2. S2-2021-448114-bibliography.pdf  
  3. S2-2021-448114-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2021-448114-title.pdf