Museum Garam di Sumenep dengan Pendekatan Arsitektur Hybrid
MUHAMMAD AZIZ R, Nabila Afif, ST., M. Arch.
2020 | Skripsi | S1 ARSITEKTURGaram merupakan barang yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah panjang mengenai seluk beluk garam sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Diketahui sejak 6050 tahun yang lalu garam menjadi barang penting, terutama bagi Bangsa Mesir Kuno. Sementara itu sejarah garam di Indonesia berawal dari Madura yang sudah mengenal garam lebih dari 500 tahun. Sejarah panjang garam di Indonesia mulai dari era kerajaan, kolonial, kemerdekaan, hingga masa sekarang telah menjadikan garam sebagai komoditas strategis dan politik karena menyangkut kepentingan bangsa dan konsumsi masyarakat. Namun, saat ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa Bangsa Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan garam nasional secara swasembada. Produksi garam dalam negeri selalu tidak dapat memenuhi kebutuhan nasional, hal ini membuat negara sangat mengandalkan impor dari negara lain. Saat ini pemerintah mengupayakan dengan menginisiasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) garam di Sumenep untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan komoditas garam di Indonesia. Sebagai salah satu Kabupaten penghasil garam terbesar di Madura dan Indonesia, Sumenep memiliki potensi daya tarik sebagai daerah wisata industri garam. Hal ini menjadi nilai tambah dari rencana pembentukan KEK garam di Sumenep, dimana di dalam zonasi KEK terdapat zona pendidikan dan rekreasi. Hal ini melatar belakangi perencanaan Museum Garam di Sumenep sebagai fasilitas pendidikan dan rekreasi KEK garam. Diharapkan dengan adanya museum ini mampu menguggah kesadaran dan optimisme para pemangku kepentingan terkait keberlangsungan komoditas garam di Indonesia, baik itu petani, pemilik pabrik, menteri, presiden, hingga masyarakat pada umumnya. Bangunan museum dikategorikan sebagai bangunan sosial budaya yang berfungsi untuk memelihara dan menjaga benda-benda yang memiliki nilai sejarah dan budaya. Museum sebagai wadah edukasi dan rekreasi memiliki standar bangunan terkait dengan display pameran, keamanan, aksesibilitas, dan pencahayaan. Permasalahan museum di Indonesia diantaranya adalah rendahnya ketertarikan pengunjung terhadap museum. Museum masih dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai sesuatu yang kuno. Oleh karena itu pendekatan arsitektur hybrid digunakan untuk memecahkan beberapa persoalan yang ada. Melalui pendekatan arsitektur hybrid bangunan didesain dengan mengangkat kembali arsitektur masa lalu untuk diolah kembali karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah dapat diterima oleh masyarakat. Penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang berbeda mampu menciptakan bangunan yang kontekstual dan unik, hal ini cerminan dari arsitektur post-modern. Terciptanya interaksi sosial yang baru sebagai dampak dari penerapan pendekatan arsitektur hybrid diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi museum untuk mampu mempertahankan daya tarik pengunjung museum. Penerapan arsitektur hybrid yang dilakukan secara menyeluruh menciptakan bangunan yang kontekstual, aksesibel, fleksibilitas fisik dan penggunaan publik yang inovatif.
The long history of salt has been going on for thousands of years. Since 6050 years ago, salt became an important item, especially for the Ancient Egyptians. Meanwhile, the history of salt in Indonesia was originated from Madura, which has known salt for more than 500 years. The long history of salt in Indonesia which started from the era of monarchies, colonialism, independence, until now, has made salt as a strategical and political commodity because it involves nation's importance and public consumption. However, today we face the fact that Indonesia, the country with the second longest coastline in the world, is unable to meet the national need for salt independently. Domestic salt production always unable to meet national needs, which makes this country rely heavily on imports from other countries. Currently, the government is trying to initiate a Salt Special Economic Zone (SEZ)in Sumenep to accelerate the growth and development of salt commodities in Indoneisa. As one of the largest salt producer districts in Madura and Indonesia, Sumenep has a potential attraction as a salt industry tourism. This could be an additional value of the plan to form a salt SEZ in Sumenep, which in the SEZ zoning, there are an educational and recreation zone. This becomes the background for the planning of the Salt Museum in Sumenep as the educational facility and salt-SEZ recreation. Expectation already set that this museum will be able to raise the awareness and optimism of the stakeholders regarding the sustainability of salt commodities in Indonesia, starting from for the farmers, factory owners, ministers, president, to public as general. The museum is categorized as a socio-cultural building which function is to maintain and protect objects which have historical and cultural values. The museum as a medium of education and recreation has its building standards related to exhibition displays, securities, accessibilities, and lighting. One of the problems related to museums in Indonesia is visitor's low interest to them. Museum being underestimated and considered as archaic thing or building. Therefore, the hybrid architectural approach is used to solve several existing problems. Through the hybrid architectural approach, the building will be designed by bringing back the architecture of the past to be reprocessed because the values contained in it have been accepted by the society. Merging two or more different cultures can create a unique and contextual building, as the reflection of post-modern architecture. The creation of new social interactions as a result of the application of the hybrid architectural approach is expected to increase added-values for the museum to be able to preserve the attraction of museum visitors. The application of hybrid architecture that is carried out thoroughly created a contextual, accessible, physically flexible, and innovative public use building.
Kata Kunci : Kawasan Ekonomi Khusus garam, Museum garam, arsitektur hybrid, daya tarik pengunjung, penggabungan kebudayaan