Laporkan Masalah

Green Islam sebagai Counter Discourse dalam Mempromosikan Gaya Hidup Ramah Lingkungan (Studi di Pesantren Ath Thariq Garut Jawa Barat)

AHMAD SIHABUL MILLAH, Prof Dr Suharko dan Hakimul Ikhwan, Ph.D

2021 | Disertasi | DOKTOR SOSIOLOGI

Studi keterkaitan Islam dan lingkungan sudah banyak dilakukan. Namun, kebanyakan studi yang sudah ada masih didominasi oleh wacana-wacana yang melihat hubungan sistem normatif Islam dengan lingkungan. Penelitian ini lebih melihat gerakan ekologi pesantren berbasis nilai-nilai Islam atau Green Islam sebagai wacana tandingan (counter discourse) dan perjuangan hegemonik (hegemonic struggle) terhadap discourse ekologi menurut masyarakat kapitalis lanjut (termasuk pemerintah) yang memaknai dan memperlakukan lingkungan hanya sebatas sebagai pemenuhan kebutuhan manusia. Untuk mengungkap hal di atas, riset ini memilih masyarakat pesantren At-Thariq Garut Jawa Barat sebagai case-nya dengan memfokuskan pada tiga hal: konteks sosial ekologis yang melatari munculnya gerakan Green Islam; konstruksi pengetahuan masyarakat pesantren terkait Islam dan lingkungan; praktik-praktek Green Islam oleh masyarakat pesantren. Tiga fokus tersebut, diungkap dengan riset kualitatif dengan metode analisis discourse (discourse analysis) post strukturalis perspektif Laclau dan Mouffe. Lokasi penelitian di Sukagalih Kecamatan Tarogong Kidul Garut Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data primer (wawancara, observasi) dan data sekunder (dokumen, materi-materi audio visual). Ada tiga temuan riset. Pertama, konteks sosio ekologis yang melatarbelakangi gerakan Green Islam yang dilakukan masyarakat pesantren adalah; pertemuan dua arus aktivis (Ibang Lukmanurdin dan Nissa Wargadipura); praktik penciptaan batas (praktek antroposentrisme antagonistik dan praktek antagonisme pengetahuan reduksionis); dan kerusakan ekologis. Kedua, ada tiga konstruksi makna lingkungan dan Islam menurut masyarakat pesantren. a) kesetaraan manusia dan lingkungan; b) mengedepankan nilai spiritualitas Islam (Tauhid, Khalifah,Rahmatan lil Alamin, Amal Shaleh, dan Shodaqoh) dalam berinteraksi dengan lingkungan; dan c) kearifan lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan. Discourse ekologi tersebut merupakan counter discourse ekologi menurut kapitalisme lanjut yang memperlakukan lingkungan secara subordinat, untuk kepentingan manusia semata. Ketiga, berbasis discourse di atas, masyarakat pesantren melakukan perjuangan hegemonik (hegemonic struggle) melalui praktek agroekologi dan konsumsi hijau sebagai ikhtiar mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan. Upaya ini merupakan bentuk konter hegemoni terhadap praktik hegemoni kapitalisme lanjut (termasuk pemerintah) yang cenderung eksploitatif terhadap lingkungan. Dalam melakukan perjuangan hegemonik, masyarakat pesantren memiliki identitas yang terbelah: terkadang bersebrangan dan terkadang bekerjasama dengan pemerintah. Pun dengan media sosial. Rantai kesamaan (chain of equivalence) yang mereka perjuangkan adalah kepedulian dan penyelamatan bumi, manusia dan makhluk hidup di dalamnya. Oleh sebab itu, representasi gerakan dilakukan secara komunal (Kiai, bu Nyai, dan pengajar), tidak hanya satu individu sebagaimana yang dibayangkan Laclau dan Mouffe. Dari hasil temuan tersebut, terlihat keterbatasan teori Green Islam yang belum bisa dioperasionalkan secara langsung, sebab masih bersifat normatif doktrinal. Sebagai alternatifnya, peneliti mengusulkan integralisasi Green Islam. Integralisasi merupakan metode yang diperkenalkan Kuntowijoyo dalam mengembangkan teori sosial profetik. Sementara, kritik terhadap teori Laclau dan Mouffe pada keharusan representasi individu yang menjadi pemimpin dalam menyuarakan tuntutan dalam gerakan sosial. Sebagai alternatifnya, peneliti mengusulkan representasi kepemimpinan kharismatik-kolegial. Konsep kharismatik diadopsi dari Weber. Sedangkan konsep kolegial diadopsi dari Singh

A lot of studies on relationship between Islam and the environment have been conducted. However, most of the existing studies are still dominated by issues that focus on the relationship between Islamic normative systems and the environment. This study emphasizes on ecological movements of pesantren (Islamic boarding school) based on Green Islam as a counter discourse and a hegemonic struggle against ecological discourse according to advanced capitalist society (including the government) who defines and treats the environment only as fulfilments of human needs. Therefore, this study chooses a community of Pesantren Ath-Thaariq Garut, West Java as a case study by focusing on three points: socio-ecological contexts that underly the Green Islam movement, construction of knowledge of pesantren community about Islam and the environment, Green Islamic practices by the pesantren community. The three points were observed by qualitative research using a post-structuralist method of discourse analysis by Laclau and Mouffe's perspective. The location of this study was at Sukagalih, Tarogong Kidul, Garut, West Java. Its Data were obtained by collecting primary data (interviews and observations) and secondary data (documents and audio-visual materials). This study obtained three findings. Firstly, socio-ecological contexts behind the Green Islam movement of the pesantren community were a meeting of two currents of activists (Ibang Lukmanurdin and Nissa Wargadipura), practices of creating boundaries (practices of antagonistic anthropocentrism and practices of antagonism of reductionist knowledge), and environmental crises. Secondly, there were three meaning constructions of the environment and Islam according to the pesantren community. Those were a) equality between human and the environment, b) emphasizing on Islamic spirituality (Tawhid, Khalifah, Rahmatan lil Alamin, Amal Salih, and Shodaqoh) in interacting with the environment, and c) local wisdom in interacting with the environment. The ecological discourse is a counter to ecological discourse based on capitalism treating the environment in subordinative ways only for human benefits. Thirdly, based on the discourse above, the pesantren community had practiced a hegemonic struggle through agroecological practices and green consumption as efforts to promote environmentally friendly lifestyles. Those efforts are forms of a counter hegemony against the hegemonic practices of advanced capitalists (including the government) who tend to be exploitative to the environment. In performing the hegemonic struggle, the pesantren community had a divided identity, sometimes opposing and sometimes cooperating with the government, as well as in social media. The chain of equivalence that they struggle for is caring and saving the earth, humans and other creatures in the earth. Therefore, the representation of the movement is done communally (Kiai, Nyai, and the teacher; it is not just one individual as Laclau and Mouffe imagined. Based on these findings, it can be seen that limitations of the Green Islam theory cannot be operationalized directly because it is still doctrinally normative. As an alternative, the researcher proposes an integration of Green Islam. Integration is a method introduced by Kuntowijoyo in developing a prophetic social theory. Meanwhile, a critic of Laclau and Mouffe's theory is on the necessity of representing individuals who are leaders in voicing demands in social movements. As an alternative, the researcher proposes a charismatic-collegial leadership representation. The charismatic concept was adopted from Weber, and the collegial concept was adopted from Singh.

Kata Kunci : Green Islam, counter discourse, gerakan sosial, dan pesantren

  1. S3-2021-389901-abstract.pdf  
  2. S3-2021-389901-bibliography.pdf  
  3. S3-2021-389901-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2021-389901-title.pdf