Laporkan Masalah

POLA PROMOSI JABATAN BIROKRASI DI KABUPATEN ENDE, KABUPATEN SUMBA TIMUR DAN KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN : KOMBINASI PENDEKATAN LEGAL FORMAL DAN PENDEKATAN KULTURAL

SEVERINUS MAU, DR.A.G. SUBARSONO, M.Si., M.A ; DR.YUYUN PURBOKUSUMO, M.Si

2021 | Disertasi | DOKTOR MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Studi arus utama birokrasi cenderung melihat sistem merit dalam promosi jabatan birokrasi tidak pernah bisa lepas dari pemahaman tentang tipe ideal birokrasi. Bahkan secara teoretis selalu disebutkan bahwa sistem merit merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan tipe ideal birokrasi. Penelitian ini berfokus pada penjelasan mengenai pertautan antara paradigma pemerintah pusat yang menekankan pengembangan SDM berbasis sistem merit dalam penyelenggaraan birokrasi dan paradigma pemerintah lokal yang cenderung memperhatikan konteks dan setting budaya yang berbeda serta karakteristik sistem nilai dan budaya yang ada pada masyarakatnya termasuk juga berbagai macam faktor lain yang ada di lingkungan birokrasi. Problematisasi penelitian ini diawali oleh argumentasi mengenai ketidakefektifan kebijakan sistem merit dalam promosi jabatan birokrasi di daerah. Kokohnya nilai-nilai lokal tradisional Mosalaki, Marapu dan Nekaf Mese Ansaof Mese, dan pelbagai hambatan kultural lainnya yang ada di masyarakat yang menjadi kelompok sasaran kebijakan ini ditengarai sebagai penyebab ketidakefektifan kebijakan tersebut. Secara empiris, topik ini penting untuk dikaji karena Indonesia sebagai negara yang berkarakter plural dengan berbagai macam suku bangsa dan budaya membutuhkan pendekatan yang berbeda ketika akan mengembangkan konsep administrasi publik barat. Sejauh ini masih banyak kebijakan publik (termasuk kebijakan promosi jabatan berbasis sistem merit) yang dianggap belum efektif dalam implementasinya. Ketidakefektifan penerapan sistem merit pada birokrasi lokal dilihat sebagai sebuah konsep kebijakan yang dibangun dalam administrasi publik yang belum mengakar di dalam kultur masyarakat lokal. Nilai tentang meritokrasi yang mengedepankan kompetisi dan menghilangkan aspek nepotisme, bisa saja bertentangan dengan nilai lokal Mosalaki, Marapu dan Nekaf Mese Ansaof Mese yang lebih menonjolkan solidaritas etnis dan mengutamakan keseimbangan yang harmoni dalam masyarakat, bekerja bersama dan nilai lokal lainnya seperti strata sosial yang dianggap sebagai nilai positif yang kuat mengakar dalam masyarakat lokal. Sementara pada dimensi teoretik, kajian ini memungkinkan adanya perspektif yang berbeda tentang apa dan bagaimana mengelola birokrasi dalam konteks masyarakat prismatik yang diwarnai dengan pluralitas kelas sosial, ras, etnik, bahasa, agama dan aliran serta gender, menjadi birokrasi yang profesional dengan tanpa mengabaikan nilai-nilai lokal setempat. Pada konteks ini daerah dan faktor ekologisnya menjadi episentrum dalam pengembangan suatu kebijakan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu, penelitian ini menjawab pertanyaan : Mengapa pendekatan karakteristik sistem nilai dan budaya (Mosalaki, Marapu dan Nekaf Mese Ansaof Mese) berkembang kuat dalam birokrasi yang berbasis sistem merit di Kabupaten Ende, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi grounded. Analisis dilakukan melalui wawancara dan observasi secara langsung di lapangan. Informan penelitian ini adalah Bupati, Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah, para pejabat Eselon II dan III, para mantan pejabat daerah (Bupati, Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah dan para pejabat Eselon II dan III purna tugas ), tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh politik, tokoh budaya dan juga tokoh pemuda, mahasiswa dan juga LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) serta organisasi masyarakat lainnya dan beberapa warga masyarakat. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pola pendekatan kultural lebih cenderung digunakan dalam kebijakan promosi jabatan birokrasi disamping ada juga pendekatan legal formal berbasis sistem merit dalam konteks sangat terbatas. Kuatnya karakteristik sistem nilai dan budaya lokal maka penerapan affirmative action policy dalam birokrasi masyarakat prismatik adalah model jalan tengah yang ditawarkan sebagai temuan baru dalam penelitian ini. Bahwa disamping menggunakan sistem merit dalam kebijakan promosi jabatan birokrasi tetapi juga perlu ada affirmative action policy yang berbasiskan pada kultur lokal yang kuat dalam masyarakat. Sistem promosi yang asimetrik (dalam arti tidak bisa diperlakukan seragam dalam konteks masyarakat yang pluralistik sebagaimana di Indonesia) ini penting untuk mengakomodir dinamika kontekstual di daerah. Oleh karena itu, jalan tengah yang dipakai sebagai wujud social equity sebagaimana yang dianjurkan oleh Frederickson (2010) maka sistem merit kemudian di kombinasikan dengan sistem yang berbasiskan pada karakterisik nilai dan budaya lokal. Dalam konteks penelitian ini, dengan menggunakan affirmative action policy, sistem merit dapat dikolaborasikan dengan varian Mosalaki di Kabupaten Ende, varian Marapu di Kabupaten Sumba Timur, dan varian Nekaf Mese Ansaof Mese di Kabupaten Timor Tengah Selatan guna mendapatkan calon pemimpin dan pemimpin yang tidak saja memiliki kompetensi dan kemampuan manajerial sebagaimana syarat dalam sistem merit tapi juga calon pemimpin dan pemimpin yang adaptif dan kontekstual sesuai dengan konteks lokalitas dengan segala potensi yang dimiliki setiap daerah. Kebijakan promosi jabatan birokrasi yang mempertimpangkan affirmative policy disamping sistem merit justru memperkuat block equalities/persamaan kelompok terkait konteks keadilan sosial sebagaimana yang dikatakan oleh Frederckson (2010). Dengan melihat konteks dan kondisi tersebut, kebijakan sistem merit sebagai sistem tunggal dalam manajemen birokrasi di Indonesia yang berlaku secara sentralistik, belum dapat diterapkan secara utuh/penuh dalam konteks masyarakat prismatik sebagaimana di Kabupaten Ende, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.

The mainstream of bureaucracy studies tends to observe the merit system in the promotion of bureaucratic positions as inseparable from definitions about the ideal type of bureaucracy. Even theoretically speaking, it is constantly mentioned that the merit system is an absolute condition for achieving the ideal type of bureaucracy. The current research focuses on elaborating the linkage between the central government������¢���¯���¿���½���¯���¿���½s paradigm, which emphasizes merit-based human resource development in bureaucratic administration, and the local government������¢���¯���¿���½���¯���¿���½s paradigm, which tends to pay attention to the varying cultural setting and context along with the unique cultural and value systems inherent in the community, including also the numerous other existing factors within the bureaucratic environment. The problem statement of the current research begins with the argument concerning the ineffectiveness of merit system policy in the promotion of bureaucratic positions in the regions. The resilience of Mosalaki, Marapu, and Nekaf Mese Ansaof Mese traditional local values and various other cultural constraints found in communities that are targeted by this policy have been considered as causal factors of such ineffectiveness in the policy. Empirically speaking, this is a significant topic of study since Indonesia is a country with pluralistic characteristics and various types of ethnicities and cultures, which require different approaches when planning to develop a Western public administration concept. Thus far, there are still many public policies (including the merit-based promotion policy) considered ineffective in their implementation. The ineffectiveness of applying a merit system in local bureaucracy is seen as policy concept developed within a public administration that has not been strongly rooted in the local community������¢���¯���¿���½���¯���¿���½s culture. Meritocratic values that prioritize competition and eliminate nepotistic aspects, may contradict local values of Mosalaki, Marapu, and Nekaf Mese Ansaof Mese, which emphasize ethnic solidarity and prioritize harmonious balance in the community, they are applied in synchrony with other local values like social strata, which are considered as positive values deeply rooted in the local community. Meanwhile in the theoretical dimension, this study offers a different perspective on how to manage bureaucracy, in the context of a prismatic society decorated by various pluralities pertaining to social classes, race, ethnicity, language, religion and belief, as well as gender, so that a professional bureaucracy is developed without undermining local values. In this context, the region and its ecological factors serve as an epicenter for developing a policy in the public������¢���¯���¿���½���¯���¿���½s interest. Therefore, this study aims to answer the following questions: Why is the local culture and value system (Mosalaki, Marapu, and Nekaf Mese Ansaof Mese) approach strongly developed within a merit-based bureaucracy in Ende Regency, East Sumba Regency, and South Central Timor Regency in East Nusa Tenggara Province? The current research used the qualitative method with grounded theory. Analyses were done through interviews and direct observations. The informants in the research included Regents, Vice Regents, and Regional Secretaries, Echelon II and III officials, and former regional officials (retired Regents, Vice Regents, and Regional Secretaries, Echelon II and III officials), community figures, religious figures, cultural figures, and youth figures, as well students and nongovernment organizations (NGOs) along with other social organizations and some members of the community. Research results indicate that a cultural approach is more likely to be used in policies relating to the promotion of bureaucratic position, although the merit-based formal legal approach is also employed in very limited context. Due to its strong local culture and value system the implementation of affirmative action policy in the bureaucracy of prismatic society is a middle ground or compromise offered as a new finding in the present study. In addition to using the merit system in the policy for promoting bureaucratic position, affirmative action policy based on the community������¢���¯���¿���½���¯���¿���½s strong local culture is also required. An asymmetric (meaning that it cannot be uniformly implemented within the context of a pluralistic society as found in Indonesia) promotion system is crucial for accommodating the contextual dynamics in the regions. Consequently, the middle way or compromise that can be used as a manifestation of social equity, as proposed by Frederickson (2010), is to combine the merit system and local culture and value based system. In the context of this research, by using affirmative action policy, the merit system can be combined with the Mosalaki variant in Ende Regency, the Marapu variant in East Sumba Regency, and the Nekaf Mese Ansaof Mese variant in South Central Timor Regency in order to obtain leaders and candidates who not only posses the managerial ability and competence required by the merit system but also those who are adaptive and aligned with the local context and all the potentials that each region has. A policy for the promotion of bureaucratic position that considers affirmative policy and the merit system will in fact strengthen block equalities in the context of social justice, as stated by Frederickson (2010). By observing such context and conditions, the merit system policy as the only system that centralistically applies in Indonesia������¢���¯���¿���½���¯���¿���½s bureaucratic management cannot yet be entirely applied in the context of prismatic society, as are the cases shown in Ende Regency, East Sumba Regency, and South Central Timor Regency.

Kata Kunci : birokrasi, sistem merit, affirmative action policy, social equity, promosi jabatan, kebijakan publik.

  1. S3-2021-389906-abstract.pdf  
  2. S3-2021-389906-bibliography.pdf  
  3. S3-2021-389906-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2021-389906-title.pdf