Laporkan Masalah

PELAKSANAAN PENEMUAN KASUS HIV DIANTARA PASIEN TB PADA PUSKESMAS DI KABUPATEN GARUT

LUTHVA LUVIANDANI P, dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D, FRSPH; Dr. dr. Dwi Handono S, M.Kes

2021 | Tesis | MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

Latar Belakang: Indonesia merupakan negara dengan kasus tuberkulosis tertinggi ketiga di dunia menurut WHO tahun 2018, selain mempunyai beban TB yang tinggi juga memiliki beban TB-HIV. Di Indonesia jumlah kasus TB-HIV tahun 2019 sebanyak 11.117 kasus. Upaya yang dilakukan untuk pengendalian TB-HIV salah satunya dengan melakukan konseling dan tes HIV diantara pasien TB. Adanya peningkatan jumlah kasus TB dan kasus TB dengan positif HIV yang terlaporkan di Kabupaten Garut, namun kasus TB yang terdokumentasi tes HIV pada tahun 2019 masih sangat kecil yaitu sebanyak 666 (18.92%) kasus, memungkinkan adanya pasien TB lain yang belum diketahui status HIV nya. Tujuan: Mengetahui pelaksanaan dan hambatan dalam pelaksanaan konseling dan tes HIV untuk meningkatkan pelayanan kolaborasi TB-HIV pada puskesmas di Kabupaten Garut. Metode: Jenis penelitian kualitatif menggunakan pendekatan studi kasus deskriptif dengan multiple holistic design. Penelitian dilakukan pada 6 puskesmas (dengan cakupan tes HIV tinggi, sedang, dan rendah) di Kabupaten Garut. Instrumen penelitian menggunakan pedoman wawancara dan lembar checklist. Pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dan wawancara mendalam kepada 18 informan terdiri dari 12 orang petugas TB/HIV, dan 6 orang pasien TB. Hasil: Faktor pendorong pada puskesmas cakupan tinggi adalah fasilitas memadai, tidak ada kesulitan komunikasi, adanya motivasi, koordinasi, strategi khusus, dan pelatihan. Hambatan utama pada puskesmas cakupan sedang adalah beban menawarkan tes HIV, dan beban tambahan. Hambatan utama pada puskesmas dengan cakupan rendah dari perspektif petugas adalah kesulitan komunikasi, belum pelatihan, petugas segan menawarkan tes HIV, dan beban tambahan. Sedangkan dari perspektif pasien adalah persepsi tidak merasa berisiko HIV, tes HIV tidak penting, dan takut mengetahui hasil tes. Kesimpulan: Terdapat satu puskesmas dengan cakupan rendah yang belum melakukan secara rutin penawaran tes HIV dikarenakan petugas hanya melihat berdasarkan ada tidaknya risiko HIV. Petugas yang sudah rutin melakukan tes HIV tetapi tidak memadai karena masih kurangnya koordinasi dan komunikasi antar petugas di puskesmas. Belum adanya pelatihan TB-HIV, dan kurangnya pengawasan untuk monev TB-HIV, sehingga memerlukan dukungan dan perhatian yang lebih dari Pengelola Program TB dan HIV Dinas Kesehatan Kabupaten Garut untuk meningkatkan pelaksanaan KT HIV di puskesmas.

Background: Indonesia is the country with the third highest tuberculosis case in the world according to WHO in 2018, in addition to having a high TB burden, it also has a TB-HIV burden. In Indonesia, the number of TB-HIV cases in 2019 was 11,117 cases. One of the efforts made to control TB-HIV is by conducting HIV counseling and tests (HCT) among TB patients. There has been an increase in the number of TB cases and HIV positive TB cases reported in Garut District, but TB cases documented by HIV testing in 2019 are still very small, namely 666 (18.92%) cases, allowing for other TB patients whose HIV status is unknown. Objectives: To find out the implementation and barriers of HCT from provider and TB patients perspective at Primary Health Centers (PHC) in Garut District Methods: This type of qualitative research uses a descriptive case study approach with multiple holistic designs. The study was conducted at the Department of Health and 6 primary health centers (with high, moderate, and low HIV test coverage) in Garut District. The research instrument used interview guidelines and sheets checklist. Data was collected by documentation and in-depth interviews with 18 informants consisting of 12 TB/HIV officers and 6 TB patients. Results: The driving factors in PHC with high coverage are adequate facilities, no communication difficulties, motivation, coordination, special strategies, and training. The main barriers in PHC with moderate coverage are the burden of offering HIV testing, and the additional burden. The main barriers in PHC with low coverage from the perspective of officers are communication difficulties, lack of training, reluctant to offer HIV tests, and additional burdens. Meanwhile, from the patient's perspective, the perception are that they do not feel at risk of HIV, HIV testing is not important, and the fear of knowing the test results. Conclusion: There is one primary health center with low coverage that does not routinely offer HIV testing because it is only seen based on the presence or absence of HIV risk. Officers who routinely carry out HIV tests but are inadequate due to lack of coordination and communication between officers at the primary health centers. There is no TB-HIV training, and lack of supervision for TB-HIV monitoring and evaluation, so that it requires more support and attention from the TB and HIV Program Managers at the Garut District Health Office to improve the implementation of HCT in primary health centers.

Kata Kunci : konseling dan tes HIV, pasien TB, puskesmas

  1. S2-2021-448495-abstract.pdf  
  2. S2-2021-448495-bibliography.pdf  
  3. S2-2021-448495-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2021-448495-title.pdf