MENJADI SEORANG QUEER MUSLIM Studi Life History Negosiasi Perubahan Identitas Gender Amar Alfikar di Tengah Masyarakat Muslim
ABDULLAH FAQIH, Fina Itriyati, Ph.D.
2021 | Skripsi | S1 SOSIOLOGIPenelitian ini mengeksplorasi pengalaman hidup Amar Alfikar dalam menegosiasikan perubahan identitas gendernya sebagai seorang queer di tengah masyarakat Muslim. Saya menggunakan metode penelitian life-history untuk memetakan trajektori kehidupannya dan untuk menemukan titik balik pengalaman kebertubuhannya. Melalui observasi terlibat, saya mengamati langsung kehidupan sehari-hari Amar Alfikar, mengikuti aktivitasnya di media sosial Twitter, Instagram, dan Facebook, serta berbagai forum diskusi yang dihadirinya. Dengan menggunakan pisau analisis norma, agensi, dan embodiment yang dirumuskan oleh Saba Mahmood (2005), saya melihat bagaimana negosiasi identitas queer Amar Alfikar di tengah masyarakat Muslim tidak terjadi dalam kerangka oposisi biner, melainkan dalam kerangka yang lebih dialektis. Penelitian ini mengajukan beberapa argumentasi. Pertama, menjadi seorang queer Muslim merupakan proses menjadi (becoming) dan proses pembentukan diri (self-making) yang berlangsung di sepanjang trajektori kehidupannya. Proses tersebut dimulai dari munculnya pergolakan antara identitas gender dengan identitas seksualnya yang kemudian mengalami tarik-menarik dengan situasi sosial-budaya-agama di sekitarnya. Kedua, titik balik pengalaman kebertubuhan Amar Alfikar adalah ketika ia berjumpa dengan sejumlah kelompok pendukung (support group) dan narasi (tafsir) Islam humanis dalam memandang keberagaman gender dan seksualitas (queer-allies) serta privilese atau kelas sosial yang dimilikinya, yaitu sebagai keluarga pemilik pondok pesantren, dukungan keluarga batih, dan akses terhadap pendidikan. Ketiga, untuk menegosiasikan perubahan identitas gendernya, agensi Amar Alfikar bekerja bukan untuk memilih antara menjadi queer atau Muslim, melainkan memilih untuk menjadi keduanya: queer sekaligus Muslim. Islam dan queer ia tempatkan bukan sebagai struktur dan norma yang salah satunya harus ditumbangkan, melainkan sebagai dua hal yang dapat dihidupi sekaligus. Amar Alfikar menggunakan tubuhnya sebagai medium untuk menghidupi keduanya, yaitu dengan melakukan serangkaian operasi dan terapi hormon, mengenakan atribut-atribut yang menyimbolkan kesalehan seorang lelaki Muslim, dan mempromosikan narasi Islam humanis (dakwah) dalam kehidupan kesehariannya.
This study explores Amar Alfikar's life experience in negotiating a change in his gender identity as a queer in a Muslim society. I conducted life history research methods to find the turning point of his bodily experience. Through engaging observations, I directly observed Amar Alfikar's daily life, followed his activities on Twitter, Instagram, and Facebook, as well as the various online-based discussions he attended. Using Saba Mahmood's (2005) notions of norms, agency, and embodiment as an analytical tool, I saw how the negotiation of Amar Alfikar's identity as a queer in the Muslim community does not occur within the framework of binary opposition, but in a more dialectical framework. This study proposes several arguments. First, being a queer Muslim is a process of becoming and a process of self-making that takes place along the trajectory of life. The process started with the emergence of the upheaval in gender identity and sexuality which caused Amar Alfikar to experience an internal tug-of-war due to the socio-cultural-religious circumstance around him. Second, the turning point of Amar Alfikar's bodily experience was when he met with a number of support groups, humanist Islamic narratives (tafsir) regarding gender diversity and sexuality (queer-allies) and class social dimension (privileges in accessing higher education and family support). Third, to negotiate a change in his gender identity, Amar Alfikar's intended not to choose between being a queer or a Muslim, but choosing to be both queer and Muslim. He places Islam and queer not as structures and norms where one of which must be overthrown, but as two things that can be lived at once. Amar Alfikar uses his body as a medium to support them both by performing surgery and hormone therapy, wearing attributes (symbols) that reflect the piety of a Muslim man, and promoting humanist Islamic narrative (dakwah) in his daily life.
Kata Kunci : Agensi, Gender, Life History, Muslim, Queer