Tantangan Perempuan sebagai Agen Perubahan dan Perdamaian dalam Eradikasi Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) di Liberia dan Sierra Leone
COK MARLENE PUTRI, Dr. Muhammad Rum, IMAS
2021 | Skripsi | S1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFemale genital mutilation/cutting (FGM/C) merupakan isu yang lazim ditemukan di banyak negara. Dalam beberapa dekade terakhir, gerakan sosial untuk mengeradikasi dan mengkriminalisasikan praktik FGM/C semakin meluas. Gerakan sosial ini didukung pula oleh tekanan organisasi dan perjanjian internasional yang menuntut peran negara-negara dalam menandatangani, meratifikasi, dan mengimplementasikan larangan FGM/C dalam konstitusinya. Namun, Liberia dan Sierra Leone merupakan dua negara yang masih belum melarang dan membentuk legislasi anti-FGM/C khusus. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan kerangka teoritis Teori Segitiga Kekerasan Johan Galtung dan Performativitas Gender Judith Butler, penelitian ini menyimpulkan bahwa rendahnya tekad dan komitmen politik kedua pemerintahan tersebut disebabkan oleh dua faktor. Faktor kultural menemukan bahwa FGM/C berfungsi sebagai praktik sosial penentu yang membentuk identitas perempuan dan bahwa para praktisi FGM/C merupakan otoritas tertinggi yang bertanggung jawab menegaskan relasi sosial antar perempuan dan laki-laki yang timpang. Sedangkan pada faktor struktural, para praktisi menggunakan otoritas dan privilese-nya sebagai pemimpin tradisional dalam struktur patriarki untuk membangun pengaruh sosio-politik dan melindungi keberlanjutan praktik tradisional tersebut melalui eksploitasi perempuan junior.
Female genital mutilation/cutting (FGM/C) is a prevalent issue in many countries. In the last decades, the movement that demands for the eradication and criminalization of the practice has been gaining influence. Backed by various international organizations and its treaties, many countries have signed, ratified, and implemented a law that criminalizes said practice. However, Sierra Leone are two West African countries that have yet to criminalize and establish specific regulations in their constitution. Using a qualitative method of research and the theoretical framework of triangle of violence by Johan Galtung and the gender performativity by Judith Butler, this research concludes that the lack of political will from the governments is due to two factors. In the cultural violence side, FGM/C is the deciding action that constructs the female gender identity and the practitioners are the highest authority in establishing the gendered social relations between men and women. In the structural violence side, these unequal social relations have given room for FGM/C practitioners in Liberia and Sierra Leone as traditional leaders and elites to use their authority and privilege inside a patriarchal system by exploiting subordinate women and working together with political elites, which gives them political and social leverage to maintain their traditional practices.
Kata Kunci : Mutilasi Genital Perempuan, Kekerasan Struktural, Kekerasan Kultural, Masyarakat Sande, Liberia, Sierra Leone / Female Genital Mutilation/Cutting, Structural Violence, Cultural Violence, Sande Society, Liberia, Sierra Leone