SELF IDENTITY KOMUNITAS KECANTIKAN PLUS SIZE: ANALISIS AKTIVITAS KOMUNITAS PLUS SIZE DI SURABAYA

AYLA KARINA BUDITA, Prof. Dr. Partini, S.U.

2020 | Tesis | MAGISTER SOSIOLOGI

Kecantikan perempuan tidak hanya dinilai berdasarkan paras, melainkan juga dinilai berdasarkan ukuran tubuhnya. Citra tubuh ideal perempuan yang langsing dan proporsional disebarkan secara massif melalui pengetahuan, teknologi serta kebudayaan pop. Seseorang dengan paras cantik, tubuh ideal tentu lebih memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Namun berbeda halnya dengan para perempuan yang dianggap tidak cantik karena memiliki ukuran tubuh yang tidak ideal, khususnya gendut. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa orang dengan kelebihan berat badan umumumnya pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan karena ukuran tubuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana perempuan Plus Size membangun identitas dirinya, membangun identitas kolektifnya di tengah benturan konstruksi standar tubuh ideal dengan menggunakan teori Self Identity milik Anthonny Giddens, relasi kuasa dalam mitos kecantikan serta Teori Gerakan Sosial Baru Berprespektif Identitas. Penelitian ini menggunakan metode analisis desriptif kualitatif fenomenologi. Instrumen pengumpulan datanya berasal dari wawancara dan observasi. Hampir semua orang gemuk merasa tidak diterima oleh masyarakat. Oleh karenanya pengakuan akan identitas para perempuan plus size ini menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan. Kebebasan perempuan Plus size akan identitas kecantikannya dibatasi oleh narasi besar standar tubuh ideal. Kebutuhan untuk diterima, kebutuhan untuk diakui dan hasrat memiliki tubuh ideal mendorong mereka melakukan diet ketat, olah raga teratur serta berkonsultasi dengan dokter ahli gizi. Kebutuhan untuk berbagi mengenai perasaan insecurenya, keinginan untuk mengubah stigma mengenai gendut melahirkan ide untuk membentuk komunitas. Ketidakmampuan untuk mencapai identitas impiannya memunculkan pilihan identitas alternatif yang baru yang ditunjukkan melalui pesona karakter dan inner beauty. Namun keberlakuan identitas kolektif baru sebatas pada anggota komunitas saja, gerakan counter hegemoni kecantikan Plus Size Surabaya ini masih mengalami dinamika. Hal tersebut karena tidak adanya dukungan dari stakeholder, lembaga-lembaga formal yang mengkonstruksi mengenai inner beauty. Meskipun gender telah berubah, maskulinitas dan feminitas telah berubah, ironisnya standar kecantikan masih tetap didominasi oleh rezim kontestasi yang menawarkan ukuran kecantikan yang sama ala barat yang langsing, berkulit putih, serta proporsional.

Women's beauty is not only judged by appearance but also based on body size. The ideal body image of a woman who is slim, and proportional is spread massively through knowledge, technology, and pop culture. Someone with a beautiful face, ideal body certainly has a more special place in the hearts of society. However, it is different from women who are considered not beautiful because they have a body size that is not ideal, especially fat. Facts on the ground show that people who are overweight generally have received unpleasant treatment because of their size. This study aims to explain how Plus Size women build their own identity, build their collective identity amid the collision of the ideal body standard construction using Anthony Giddens' Self Identity theory, power relations in beauty myths, and the New Social Movement Theory with Identity Perspective. This study used a phenomenological qualitative descriptive analysis method. The data collection instruments came from interviews and observations. Almost all fat or obese people feel unacceptable by society. Therefore, recognition of the identity of plus size women is something that is very much needed. Plus size women's freedom to identify their beauty is limited by the big narrative ideal body standards. The need for acceptance, the need to be recognized, and the desire to have an ideal body encourage them to adopt a strict diet, exercise regularly, and consult a nutritionist. The need to share her feelings about insecurity, the desire to change the stigma about being fat gave birth to the idea of forming a community. The inability to achieve the identity of his dreams leads to a new alternative identity choice that is shown through character charm and inner beauty. However, the enforcement of collective identity is only limited to community members, the Surabaya Plus Size beauty hegemony counter-movement is still experiencing dynamics. This is because there is no support from stakeholders, formal institutions that construct inner beauty. Even though gender has changed, masculinity and femininity have changed, ironically the standard of beauty is still dominated by a contestation regime that offers the same measure of western beauty that is slim, has white skin, proportional.

Kata Kunci : Plus Size, Standar Tubuh Ideal, Identitas Diri, Identitas Kolektif, Gerakan