ETNOBOTANI KELOR DI MASYARAKAT WOLIO

WA ODE WINESTY SOFYANI, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil., ;Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, MA.,

2020 | Disertasi | DOKTOR ILMU-ILMU HUMANIORA

Penelitian ini bertujuan menjelaskan etnobotani kelor di masyarakat Wolio. Berdasarkan hasil kajian pustaka, sekalipun penelitian mengenai tanaman kelor telah banyak dilakukan, namun kajian etnobotani kelor dalam disiplin antropologi masih jarang dilakukan. Adanya kelor culture sebagaimana bukti adanya sistem klasifikasi tanaman kelor (Moringa oleifera Lam.), adanya praktik-praktik mengenai kelor yang telah lama berlangsung, dan adanya pandangan masyarakat Wolio mengenai kelor yang berbeda dengan pandangan masyarakat lain, hal ini menarik untuk dikaji terlebih telah menjadi bagian dari folklor masyarakat Wolio. Untuk memahami etnobotani kelor di masyarakat Wolio, penelitian ini menggunakan paradigma etnobotani, asumsi-asumsi etnobotani, teori-teori etnobotani, teori folklor, dan beberapa teori lainnya. Penelitian ini dilakukan di Baubau, Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode etnografi, karena menggunakan teknik: observasi partisipasi, dan wawancara mendalam. Selain teknik tersebut juga menggunakan studi pustaka, dan Focus Group Discussion (FGD). Analisa data dilakukan secara kualitatif dengan menekankan hubungan semantik dalam domain-domain etnobotani kelor di masyarakat Wolio. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut: Pertama, sistem klasifikasi kelor pada masyarakat Wolio dibuat karena ada perbedaan warna tangkai pada dua jenis kelor yang ada yaitu merah dan putih. Dimensi warna, ukuran, betuk, dan rasa masing-masing kelor selain kaya simbol juga sarat makna. Kedua, praktik-praktik mengenai kelor di kalangan masyarakat Wolio pada dasarnya mempunyai banyak fungsi, sehingga melahirkan kelor culture. Selanjutnya, kelor culture yang sejak lama berlangsung telah melahirkan beragam jenis folklor kelor, yang pada dasarnya memproyeksikan dan merefleksikan kehidupan dan dunia masyarakat Wolio. Ketiga, pandangan masyarakat Wolio mengenai kelor culture sebagaimana klasifikasikan kelor merah dan putih sebagai simbol perempuan dan laki-laki membuktikan bila dimensi warna dihadirkan guna mengonstruksi gender yang beroposisi, dan menata relasi gender yang saling melengkapi. Adanya mitos dan sejumlah tabu kelor, di satu sisi merefleksikan bagaimana kekhawatiran akan bahaya yang disebabkan oleh kelor. Akan tetapi di sisi lain adalah juga refleksi rasa hormat yang tinggi kepada kelor yang selama ini telah berjasa menjadi pohon kehidupan. Pada akhirnya kelor yang telah banyak menginspirasi masyarakat Wolio bukan saja mampu menata relasi gender dan mengontrol masyarakat, akan tetapi ikut berpartisipasi menebar nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam hidup sehari-hari masyarakat Wolio.

This researched aimed at describing the kelor ethnobotany among the Wolio society. Based on the literature study, despite the numerous previous researches, ethnobotanical studies on kelor in the anthropological study have been rarely conducted. The kelor culture as evidenced in the classification system for kelor (Moringa oleifera Lam.) trees, the long-existing practices related to the tree and the Wolio societys views on the tree, which are different from the views of other societies, are interesting to research. Moreover, the views have been part of the Wolio society�s folklore. To explore the kelor ethnobotany among the Wolio society, this research used ethnobotanical paradigms, assumptions and theories as well as ethnobotanical theories, folklore theories and some others. This research was conducted in Baubau, in the island of Buton, which is part of Southeast Sulawesi Province. The ethnographical method was used to collect the data by employing the techniques of participatory observation and in-depth interviews. In addition, a library study and Focus Group Discussion (FGD) were conducted. The data was qualitatively analyzed by emphasizing the semantic relations in the kelor ethnobotanical domains among the Wolio society. Based on the research findings, following are the conclusions of this study. First, the kelor classification system among the Wolio society has been made because of the different colours of the stalk of the tree: red and white. The dimension of their colours, sizes, forms and tastes are rich of symbols and meanings. Second, the practices related to the tree among the Wolio society basically have various functions, which have created the kelor culture. Further, the long-exicting kelor culture has produced various types of kelor folklores, which basically project and reflect the lifed and the world of the Wolio society. Third, the Wolio society�s views on the kelor culture, as shown in the distinction of red and white kelor as the symbols of women and men, prove that the colour dimensions has existed to contruct the opposing genders and to structure mutually complementing gender relations. The existence of myths and taboos related to the tree, on one hand, reflects the worries of the possible dangers caused by the tree. On the other hand, it also reflects high respect on the tree, which has for long functioned as the tree of life. Finally, the tree not only has much inspired the Wolio society to effectively structure the gender relations and to control the society but also has had a participatory role in spreading the high values which have served as the guidelines in the daily life of the Wolio society.

Kata Kunci : kelor (Moringa oleifera Lam.), etnobotani, klasifikasi, kelor culture, folklor, gender, makna, nilai.