Laporkan Masalah

Komunitas Pertanian di Kota Semarang, 1880-an-1940-an

ARIF AKHYAT, Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A.; Dr. Sri Margana

2020 | Disertasi | DOKTOR ILMU-ILMU HUMANIORA

Disertasi yang berjudul Komunitas Petani di Kota Semarang 1880an-1940-an ini akan menjelaskan perubahan komunitas petani di Semarang ketika terjadi proses transmogrifikasi. Disertasi ini mendasarkan pada konsep the end of Peasantry Elson yang digunakan untuk menjelaskan sejarah komunitas pertanian kota. Sebagai sejarah agraria, maka semua penjelasan dalam disertasi ini menggunakan metode sejarah yang mendasarkan pada analisis prosesual. Proses transmogrifikasi yang mengakibatkan munculnya komersialisasi pertanian memberikan dampak yang luas bagi komunitas pertanian dalam menangkap peluang pasar. Petani masuk pada ekonomi pasar melalui sistem intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Industrialisasi kemudian dijadikan sebagai basis untuk memperkuat proses komersialisasi berbasis pertanian. Sarana transportasi, administrasi, dan ruang modern disiapkan untuk memenuhi kebutuhan industri pertanian. Proses komersialisasi pertanian yang dibarengi dengan modernisasi ruang kota tampaknya tidak berjalan seimbang. Pengusahaan pertanian yang kemudian dilakukan oleh Cina, Belanda dan Bumiputra dengan penguasaan lahan-lahan produktif menghadapi persoalan yang dilematis. Satu sisi, memberikan peluang petani untuk mengakses sumber ekonomi baru, tetapi di sisi lain, terjadi proses marjinalisasi dan subordinasi. Komunitas pertanian ini kemudian terjebak melalui dua sebab sekaligus, yaitu sebab pertama, ketika petani menjadi buruh tani dan itu artinya masuk pada perangkap subordinasi. Sebab kedua, petani harus kehilangan lahan akibat alih tangan, baik melalui penjualan, gadai maupun sewa. Pada kondisi terjepit, petani mencoba bangkit melalui alih pekerjaan dengan memanfaatkan peluang yang ditawarkan kota. Peluang di industri dan modernisasi kota seolah menjadi peluang baru. Akibat keterbatasan-keterbatasan, baik keahlian maupun pendidikan serta budaya agraris dengan apa yang disebut etika subsisten, petani ini tidak pernah beranjak dan hanya mengalami perpindahan lokus sumber ekonomi semata. Petani gagal memanfaatkan peluang guna menaikkan status dan melakukan mobilitas vertikal. Petani tetap petani, walaupun berada pada ruang yang mengalami perubahan. Namun, melalui tradisi agraris yang dipertahankan, justru keberadaan petani dengan tradisi agrarisnya mampu melakukan pendomestikasi tradisi-tradisi besar transnasional, termasuk agama.

The dissertation entitled Peasant Communities in Semarang City 1880s-1940s explains the changes in the peasant community in Semarang during the transmogrification process. This dissertation is based on Elson's concept of the end of Peasantry which is used to explain the history of the urban peasant community. As agrarian history, all explanations in this dissertation use historical methods that are based on a processual analysis. The transmogrification process that resulted in the emergence of agricultural commercialization had a broad impact on the agricultural community in capturing market opportunities. Peasant involve the market economy based on the agricultural intensification and extensification. Industrialization was then used as a basis to strengthen the agriculture-based commercialization process. Transportation, administration, and modern space are prepared to meet the needs of the agricultural industry. The process of agricultural commercialization coupled with the modernization does not seem to be balanced. Agricultural exploitation which was then carried out by China, Dutch and Bumiputra with the mastery of productive lands faced a dilemma. On one hand, it gives opportunities for peasant to access new economic resources, but on the other hand, there are process of marginalization and subordination. The agricultural community is then trapped through two causes at once, the first, when peasant convert to agricultural laborers and that means entering into the trap of subordination. The second , peasant must lose the land due to sales, pawn and rent means entering into the trap of marginalization. In a tight squeeze, peasant tries to get up through job transfer by taking advantage of opportunities offered by the city. The industrial economy and modernization in the city seem to be the new opportunities. Due to some limitations, both expertise and education as well as "agrarian culture" with what is called subsistence ethics, these peasant never move to a higher class structure and only experience the displacement of the locus of economic resources alone. Peasant fail to take advantage of opportunities to raise their status and carry out vertical mobility. Peasant remain peasant, even though they are in a space that is changing. However, through the maintained agrarian tradition, the existence of peasant and their agrarian traditions is able to domesticate the major transnational traditions, including religion.

Kata Kunci : Komunitas Pertanian, Semarang, Modernisasi, etika subsisten.

  1. S3-2020-389907-abstract.pdf  
  2. S3-2020-389907-bibliography.pdf  
  3. S3-2020-389907-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2020-389907-title.pdf