Laporkan Masalah

TANAH SEBAGAI INDENTITAS DIRI : DI BALIK PENOLAKAN PENJUALAN KEPEMILIKAN TANAH TEMPAT TINGGAL DALAM RANGKA PEMBANGUNAN YOGYAKARTA INTERNATIONAL AIRPORT (STUDI DI DESA GLAGAH, KECAMATAN TEMON, KULON PROGO)

ISNA AMALIA HAKIMAH, Prof. Dr. Susetiawan, S.U.

2020 | Skripsi | S1 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

Isu dan konflik perebutan hak atas kepemilikan tanah tidak akan pernah selesai selagi manusia masih tinggal di bumi. Kepemilikan tanah menjadi salah satu sumber daya bagi sebagian manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu kasus yang dilatarbelakangi oleh isu kepemilikan tanah adalah pembangunan bandara baru di Kabupaten Kulon Progo; Yogyakarta International Airport. Pembangunan bandara baru tersebut merupakan respon dari wacana over capacity Bandara Internasional Adisucipto yang hanya memiliki kapasitas untuk melayani 1,2 juta penumpang per tahun dan jumlah tersebut terus meningkat setiap tahunnya. Pembangunan YIA diwarnai dengan penolakan penjualan tanah dan lahan yang cukup panjang, tercatat sejak tahun 2012 penolakan telah dilakukan oleh masyarakat dari enam desa terdampak. Awal tahun 2019 pengerjaan pembangunan YIA sudah hampir selesai dan sebagian warga yang menolak untuk menjual kepemilikan lahan dan tanah tempat tinggal mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung atas PP Nomor 13 tahun 2017 tentang RTRW Nasional yang dianggap bertentangan dengan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai wujud bahwa penolakan masih belum padam, kemudian gugatan ini ditolak oleh MA pada akhir tahun. Persistensi penolakan untuk menjual kepemilikan lahan dan tanah tempat tinggal ini memicu pertanyaan akan apa di balik penolakan sebagian warga Desa Glagah untuk menjual lahan dan tanah tempat tinggal dalam rangka pembangunan YIA? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Teknik pengambilan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam dan live in. Penelitian ini berusaha mencari apa yang menjadi alasan sebagian warga Desa Glagah melakukan penolakan untuk menjual kepemilikan lahan dan tanah tempat tinggal mereka dalam rangka pembangunan YIA. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tanah dimaknai sebagai identitas yang melekat pada diri dan tanah juga merupakan sumber bagi subsistensi yang telah dimiliki oleh sebagian warga Desa Glagah yang menolak untuk menjual lahan dan tanah tempat tinggal. Kelindan dari pemaknaan tanah sebagai identitas dan sumber subsistensi menciptakaan keamanan sosial serta ekonomi bagi sebagian warga Desa Glagah tersebut sehingga mempertahankan kepemilikan lahan dan tanah tempat tinggal menjadi pilihan paling rasional bagi mereka daripada harus kehilangan identitas sebagai jati diri dan menjalani hidup tak menentu akibat dari runtuhnya subsistensi yang telah mereka miliki karena telah menjual kepemilikan lahan dan tanah tempat tinggal tersebut kepada PT Angkasa Pura I.

Issues and conflicts over the right of the land possession will not resolved while humans still live on earth. Because, holding the right of land possession is one of source for some people so they can fulfill their needs by farming, developing some assets on it, renting it out, or many other ways. The construction of New Yogyakarta International Airport is one of conflict caused by the right of land possession. This new international airport was built because of The Adisucipto International Airport capacity is overload, about 1,2 million passengers for a year while in the 2018 the passengers reached 8.4 million. The trade resistance of the right of land possession in YIA construction was a long rejection, recorded starting in 2012 by the peoples of six villages that affected by the YIA's construction until the very end of 2019. Early 2019 the process of the YIA construction almost completed, the people that still rejected to selling off their right of land possession filed a judicial review to MA for PP Nomor 13 tahun 2017 tentang RTRW Nasional that was presumed contradictory to the UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang and UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. This judicial review lawsuit was a symbol that showed the trade resistance of the right of land possession was still on fire. Unfortunately, at the end of the year MA rejected the lawsuit. The persistence showed by some Glagah village's peoples that still resist selling off their right of land possession has triggered a simple question; what is the truth behind the trade resistance of the right of land possession in YIA construction? The research method used in this research is descriptive qualitative. The data collection techniques used in this research is observation, depth interview and live in. This research aims to find the truly reasons behind the trade resistance of the right of land possession in YIA construction by the some Glagah village's peoples. This research finds that are land interpreted as an identity that embedded to theirself. Moreover, land is the resource of their subsistence. These two different interpretations had tightly twisted then raised the social-economic security for them. Therefore, defending their right land possession becomes the most rational choice for them compared to losing their identity and life uncertainly due to the collapse of their subsistence.

Kata Kunci : identitas, petani, YIA, NYIA, subsistensi, identitas petani, pilihan rasional identity, peasant, peasant identity, YIA, NYIA, subsistence, rational choice

  1. S1-2020-384230-abstract.pdf  
  2. S1-2020-384230-bibliography.pdf  
  3. S1-2020-384230-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2020-384230-title.pdf